Sam tidak begitu yakin di mana ia berada. Tubuhnya terbaring tak berdaya di atas tanah yang terasa basah. Jemarinya bisa meraba rumput yang tumbuh di dekat tangannya.
Ingin sekali ia bangkit. Namun, dia tahu tidak ada gunanya mencoba. Kepalanya bagaikan sekarung paku, terlalu berat sekedar untuk diangkat satu inci dari tanah.
Napasnya yang memburu tertiup ke udara sebagai sisa-sisa kehidupan. Matanya mencoba menatap langit. Sam menyipit sebelum akhirnya bisa memandangi kanopi daun yang menutupi langit. Daun rimbun itu berasal dari pohon-pohon besar yang tampak kokoh. Ia tidak yakin matahari masih berada pada puncaknya. Atap daun itu menghalangi pandangannya seolah ingin membuatnya jadi semakin risau.
Tidak ada suara apapun yang dia dengar. Sam setengah berharap telinganya akan mendengar sesuatu. Dia ragu, harus takut atau malah bahagia jika mendengar sedikit gerisik di semak-semak yang mengelilinginya.
Kaki kirinya mati rasa. Hanya terasa denyut yang membuat pergelangannya semakin mengkhawatirkan. Tungkainya terkilir. Akhirnya Sam ingat pada hal terakhir yang dia alami.
Kalau memang Sam tidak salah ingat, beberapa saat lalu dia sedang bersama tiga temannya yang melakukan tur alam bebas di hutan Flores. Sam terpisah dari rombongan ketika ada sekelompok kera liar menyerang dari cabang-cabang pohon, hendak meraih ransel mereka yang punya banyak persediaan makanan. Nahas baginya, ia malah tergelincir ke jurang sementara temannya berlari semakin jauh.
Hampir saja ia menduga bahwa amnesia retrograde yang baru saja menimpanya bakal menghilangkan seluruh rekaman kejadian tersebut.
Sam berharap teman-temannya sadar bahwa dia menghilang. Setidaknya dia yakin menunggu tidak akan membuatnya mati walaupun ia masih cemas bakal jadi santapan karnivora tolol.
Sam memejamkan matanya. Hanya ada bayangan tiga temannya yang sedang mencari dirinya saat ini. Dengan begitu, kerisauannya berkurang.
Tiba-tiba ketenangannya terusik. Dia berharap telinganya salah dengar, tapi itu jelas-jelas suara gerisik daun tak jauh dari tempatnya terbujur.
Karena tidak mendengar teriakan namanya, Sam mau tak mau khawatir. Sayang kakinya yang terkilir sudah terlanjur tidak bisa dipakasakan.
Tubuhnya gemetaran. Suara-suara itu semakin banyak dan kian dekat. Terdengar tak lebih jauh dari selemparan batu.
Dia mencerapi setiap sisi rimba yang mampu dijangkau matanya. Dia menoleh dan melirik ke daun semak yang bergerak. Suara itu mengepungnya. Kalau ada sesuatu yang mengincarnya sekarang, sesuatu itu sedang melakukannya secara berkelompok. Kalau ia bisa berlari, tetap saja tidak ada celah.
IKLAN
loading...
|
Punggungnya menegang seakan tulang belakangnya sudah kehilanngan ruas.
Sam tidak tahu lagi mana yang lebih mengkhawatirkan atau setidaknya pantas ia pikirkan–rasa terbakar pada pergelangan kakinya atau perasaan takut yang merambatinya.
Jantungnya berdebar hebat. Dia sudah berpikir inilah akhir hayatnya. Mati sebagai santapan hewan buas yang tidak mungkin diajak kompromi.
Daun-daun makin keras bergoyang. Mendadak Sam merasakan pitam. Pandangannya menghilang, berganti jadi gelap meski matanya masih terbuka.
Seiring matanya yang mengabur, telinganya menajam. Dia menangkap suara tapak kaki yang mendekat dengan langkah yang cepat. Di sela kepasrahannya, Sam masih penasaran makhluk apa yang bakal menghabisinya.
Seakan menjawab pertanyaannya, makhluk-makhluk itu masuk ke titik pandangnya yang buram, celingak-celinguk keheranan saat menatap wajahnya.
Ketika itu Sam tahu bukan anjing hutan yang sedang menyergapnya. Yang dia lihat adalah … kera? Entahlah. Ranselnya hilang dan mereka masih mengincarnya? Keterlaluan.
Selanjutnya dia merasakan tubuhnya yang terkulai terangkat dari tanah. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, kesadarannya hilang.
***
Sam mengecap rasa pahit di lidahnya. Kerongkongannya juga terasa kering. Alhasil, dia lebih memilih mati kalau tidak dapat minum secepatnya.
Kepalanya belum membaik, tapi Sam tetap mampu berpikir. Saat ini dia sedang penasaran apa sebabnya dia masih hidup–dengan anggota tubuhnya masih lengkap.
Kakinya sudah pulih. Setidaknya dia tidak merasakan nyeri ataupun denyut yang membuatnya harus mengernyit saat menggerakkan kaki.
Matanya yang berkunang-kunang memandang berkeliling. Ia sedang berada di sebuah ruangan sempit yang remang-remang. Dindingnya terbuat dari kayu kasar yang dipasak sebisanya. Tidak ada plafon. Sam bisa langsung melihat atap yang sangat rendah yang terbuat dari susunan daun.
Tempat ini hangat dan sedikit lembab, membuatnya agak kegerahan. Udara beraroma jamur ketika masuk ke hidungnya.
Mendadak pintu terbuka. Sam mau tak mau terperanjat. Awalnya dia menyangka sekelompok orang dari salah satu suku setempat yang menolongnya, tapi yang ini–jujur saja Sam tidak menganggapnya orang kala melihatnya untuk pertama kali.
Makhluk itu pendek, mungkin tidak lebih dari 4 kaki. Tubuhnya nyaris telanjang kalau saja tidak memakai cawat lusuh itu. Rambut pirang halus tumbuh di sekujur tubuhnya, tapi tidak begitu lebat. Matanya yang bulat dan hitam itu menatap Sam dengan kaget.
Sam rasa makhluk itu juga tidak menyangka bakal mendapati tahanannya sudah sadar. Makhluk itu berlari dengan tatapan panik seakan melihat babon mengamuk.
Sam tidak yakin apa yang ia lihat barusan. Manusia? Sepertinya terlalu pendek. Lagipula makhluk itu tidak kelihatan kena sindrom apapun. Kera? Tapi tadi ia berjalan tegak. Dua kakinya jelas tidak tertekuk.
Sam mulai harap-harap cemas. Dari penampakannya, makhluk itu bisa saja orang kerdil yang katanya berbahaya. Dia ingat cerita-cerita dari penduduk desa yang mengatakan ada makhluk bernama Ebu Gogo di hutan dan mereka melakukan praktek kanibalisme.
Sebelum sempat berpikir lebih banyak, Sam kembali dihadapi sosok serupa yang kembali berdiri di depan pintu.
Yang satu ini berbeda dengan yang tadi. Ia terlihat punya rambut wajah yang lebih lebat dan beruban serta cawat yang–setidaknya–lebih baik.
Makhluk itu (dia masih ragu menyebutnya sebagai pria tua) melangkah masuk. Sam beringsut mundur, nyaris meringkuk di sudut ruangan. Seketika jantungnya berdegup kencang. Dia tidak mampu lagi menahan ketakutannya. Sam bersyukur karena menyadari dirinya belum mengompol.
“Tidak apa,” kata makhluk itu penuh wibawa. “Aku Mogu, orang kerdil Rimba Bunga.”
Sam masih membelalak meski sudah sadar apa yang ada di hadapannya adalah orang yang bisa bicara. Mungkin dialeknya memang seperti kebanyakan orang timur, tapi cara bicaranya tidak seburuk yang ia duga.
“Namamu?” tanya Mogu.
“Kau… bicara?” gagap Sam. Dia berusaha mundur seolah fakta itu akan melahap dirinya utuh-utuh.
“Belajar dari Orang Tepi Rimba. Kami mendengar mereka bicara, meniru, memahami,” jelas makhluk itu.
Mereka bukan penduduk lokal. Mereka jelas bukan dari suku setempat manapun. Perawakan, rupa, dan semuanya, berbeda. Mereka ini bukan manusia. Namun, kemampuan meniru bunyi dan memahami bahasa? Hanya ada satu penjelasan: mereka cukup cerdas. Dan mungkin pula berbahaya.
“Nama?” ulang makhluk itu.
Sam awalnya ragu menjawab, tapi akhirnya dia berkata, “Sam.”
Mogu mengangguk kemudian tersenyum. “Baiklah, Sam. Bukan hakku menjelaskan terlalu banyak. Kerena kau sudah sadar, kita harus pergi ke kepala suku.”
Mogu langsung berbalik dan melangkah keluar. Sam tahu dia harus ikut.
Kakinya memang benar-benar sudah sembuh. Buktinya dia sekarang bisa berjalan keluar, menyusul Mogu yang sudah lebih dulu pergi.
Di sisinya, sosok yang pertama kali melihatnya terbangun ikut berjalan. Sam tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari makhluk itu, meski hanya melirik kecil dari ekor matanya.
“Saya punya nama Petus, kalau kaka mau tahu,” ucap makhluk itu.
Sam masih tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dengan kalimat Petus barusan, dia hanya sedikit lebih yakin kalau makhluk ini memang bisa bicara.
Yang masih membuat Sam bingung adalah ukuran mereka. Sepertinya bocah tujuh tahun masih lebih tinggi dibandingkan orang-orang ini.
“Kaka bingung sudah? Maaf saya tidak sepandai Bapa Mogu bicaranya,” katanya. “Kami ini pengawal Rimba Bunga. Kaka tahu Ebu Gogo?”
Sam menggeleng walau dia sudah dengar sedikit tentang mereka.
Petus menaikkan bahu. “Kalau kaka dengar cerita orang hutan makan orang, itulah cerita kami. Kami dikata monyet yang suka membunuh sampai diusir lebih jauh lagi sudah.”
“Jadi cerita itu … bohong?” Sam memberanikan diri bicara.
Petus mengangguk. “Kaka jangan bilang siapa-siapa to saya cerita pada kaka hal ini. Kalau kepala suku dan Bapa Mogu tahu saya bicara dengan kaka, mati saya sudah.”
Sam mengangguk. Matanya kembali tertuju ke depan. Saat itulah dia sadar mereka kembali menembus hutan. Mogu kelihatan jauh di depan, berjalan dengan langkah cepat dan gesit, menghindari kumpulan daun dari palem kecil serta sembulan akar pohon.
Setelah sekian menit berjalan, mereka tiba di sebuah bukaan. Tanah lapang berumput liar yang tidak lebih luas dari seperempat lapangan bola. Di pinggirannya–yang dekat dengan hutan–ada lima buah gubuk kayu beratap daun.
Sam tidak tahu harus terkejut sekali lagi atau sudah saatnya dia kagum. Ia melihat sebuah perkampungan kecil orang kerdil pedalaman yang hanya jadi legenda. Saat penduduk setempat bahkan peneliti berusaha mencari keberadaan mereka, Sam malah dibawa langsung ke tempat ini.
Beberapa Ebu Gogo terlihat mondar-mandir tak tentu arah, berlalu lalang tanpa alas kaki. Ada yang sedang duduk sambil makan pisang di depan gubuk, memanjat pohon sekedar untuk bergelantungan di cabangnya, bahkan mencari kutu satu sama lain.
Mogu berhenti di salah satu gubuk yang letaknya persis di antara deretan gubuk lain. Ia langsung masuk setelah menahan Sam dan Petus, menyuruh mereka menunggu di luar.
Sam tidak tahu sudah berapa menit dia berdiri kikuk di sana. Yang membuatnya merasa tidak nyaman adalah tatapan Ebu Gogo lain padanya. Sebagian kelihatan ketakutan, sebagian lagi penuh waspada.
Mogu keluar dan memberi isyarat agar Sam masuk.
Sam menundukkan kepalanya dan melangkah masuk. Yang pertama ia rasakan adalah bau busuk yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, tidak ada yang bisa dia perhatikan. Ruangan itu terlalu remang meski matahari masih bersinar.
Mogu menuntun Sam agar duduk mengahadap sesuatu yang dilihatnya sebagai siluet orang kerdil berambut gimbal serta penuh perhiasan dari tulang dan batu. Di depannya ada secawan air yang kelihatannya segar.
Mogu mulai bicara dengan bahasa yang tidak bisa Sam pahami. Selanjutnya, giliran sosok di hadapannya yang bicara–juga dengan bahasa asing.
“‘Aku La Ode, Kepala Suku Pengawal Rimba Bunga. Kudengar kau hampir mati di tengah hutan’,” ucap Mogu yang sepertinya sedang jadi penerjemah.
Sam mengangguk. La Ode bicara lagi. Sam tidak bisa menangkap satu katapun karena yang terdengar baginya hanyalah geraman. Dia berharap semoga kalimat kepala suku ini tidak mengecewakan.
“‘Seperti yang kau tahu’,” kata Mogu kembali menerjemahkan, “‘kami, yang disebut Ebu Gogo, sering dikabarkan berbahaya. Namun, mereka salah. Kami orang kerdil yang ditugasi menjaga Bunga titipan para leluhur’.”
Sam tidak paham amat apa maksud La Ode. “Aku senang mendengarnya. Sungguh. Membuatku tak perlu khawatir dimana aku sekarang. Masalahnya Pak La Ode, aku harus kembali secepatnya. Bagaimana agar aku bisa pergi?” tanya Sam.
Mogu kembali bicara, menerjemahkan kalimat Sam. La Ode terdiam sejenak lalu kembali bicara. Dari intonasinya, Sam yakin kepala suku ini sedang memberikan semacam instruksi.
“‘Kau boleh keluar setelah melakukan satu tugas’,” kata Mogu. Sementara La Ode terus bicara, Mogu ikut melanjutkan terjemahannya.
“‘Rimba Bunga sedang terancam. Ada sekelompok orang jangkung sepertimu yang ingin merusaknya. Tugasmu hanyalah membantu kami mengusir mereka’.”
“Mogu,” ucap Sam. “Rimba Bunga itu apa?”
“Itu sebutan kami untuk hutan Flores. Seperti yang sudah dikatakan Kepala Suku La Ode, hutan ini terancam. Ada sekelompok orang yang ingin membuka lahan. Kemungkinan mereka pendatang dan belum tahu apapun soal kami,” jelas Mogu.
Sam berpikir sejenak. Dia sebenarnya ragu bagaimana caranya menolong para Ebu Gogo ini. Bagaimanapun juga niat mereka baik–menjaga hutan yang indah ini agar tidak rusak. Lagipula mereka sudah menyelamatkan dirinya yang hampir mati lemas, dan mengobati kakinya. Sam merasa tidak enak kalau tidak bisa membalas budi kelompok orang kerdil ini.
Sam menatap Mogu dan La Ode bergantian, kemudian bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan?”
***
Sam merasakan degup jantungnya bertambah cepat tiap melewati satu meter. Dia terus berlari, menembus hutan dengan napas memburu. Sekilas dia ingat lagi bagaimana ketika ia dikejar kera lapar sepelum terperosok di jurang.
Kata Mogu dan La Ode, kalau ia berlari lurus ke arah ini, akan ada orang jangkung yang mereka maksud.
Sam tidak ditemani siapapun, bahkan Petus yang baru saja menjadi teman ngobrolnya. Mereka bilang itu terlalu berbahaya bagi Ebu. Lebih baik Sam mengikuti instruksi–sendirian, berlari lurus ke arah selatan hingga menemui sekelompok orang jangkung pendatang.
Sam cemas dia sudah keluar jalur. Dia memang seharusnya berlari lurus, tapi pohon-pohon disini tidak tumbuh seperti barisan tentara. Ia harus terus melompati akar-akar yang menyembul, sesekali tersandung dan rela bajunya tercabik ranting pohon.
Sam sudah bisa melihat pohon yang menjarang. Akhirnya dia bisa keluar. Ia sempat khawatir bakal masuk lebih dalam dan tersesat di tengah hutan.
Begitu dia keluar hutan, langsung saja Sam berada di sebuah jalan becek satu jalur. Kebetulan sekali ada dua orang yang lewat. Mereka terlihat seperti pendatang.
“Tolong!” jerit Sam pada kedua orang itu.
Sontak mereka mendekat. Dengan mata membulat, mereka memperhatikan Sam. Sam tahu dia sudah dapat perhatian. Ini saatnya dia menolong Ebu Gogo dan dirinya sendiri.
Dengan tangan kanan bergetar, Sam meraih jaket yang membalut tangan kirinya.
Rencana ini memang buruk awalnya, tapi La Ode meyakinkan dirinya bahwa hanya ini cara kalau dia ingin selamat. Butuh sedikit pengorbanan untuk melakukannya.
Sam membuka balutan jaket itu. Dengan perlahan ia memperlihatkan tangan kirinya.
Dua orang pendatang tadi langsung kaget melihatnya. Tangan kiri Sam hampir tidak lagi berbentuk. Dagingnya terkoyak dan darah menetes dari luka terbuka yang terlihat seperti bekas gigitan.
Dengan napas pendek yang keluar dari mulutnya Sam memperingatkan, “Ebu Gogo. Mereka menyerangku. Jangan masuk ke sana! Jangan masuk kalau masih mau hidup!”
END
Muhammad Ridha, anggota UKM Pers DETaK Unsyiah.