-Kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia-
Rapat rutin Klan Gifford di ruang bawah tanah milik kuil klan dimulai!
“Tuan Ronald,” ucap seorang dengan suara agak bergetar, “istri saya baru saja melahirkan. Dia butuh roti dan susu lebih agar sehat dalam menyusui bayinya. Bolehkah kami meminta jatah lebih untuk persiapan musim dingin kali ini?.”
“Kita tahu persediaan makanan yang diberikan oleh pihak kerajaan pas-pasan. Jadi kita harus berhemat dan menggunakannya dengan bijak. Saya pikir kamu harus mulai memelihara ayam,” ucap salah seorang pria.
IKLAN
loading...
|
Kemudian Ronald memberikan tanggapannya. “Memastikan agar keturunan Gifford terlahir sehat juga merupakan tugas kita. Saya rasa, jika setiap keluarga menyumbang satu gelas susu dan sepotong roti saja kepada Jerry, pasti itu lebih dari cukup. Setujukah teman-teman?.”
“Baik,” sahut kebanyakan suara.
“Kamu juga harus mulai memelihara unggas, Jerry,” ucap Ronald pada pria yang mengeluh tadi. “Ada yang lain?.”
Seorang pria diujung ruangan berbicara dengan nada tinggi. “Kami mendengar kabar beberapa klan akan melayangkan protes di pertemuan kota mengenai jatah pembagian hasil panen cokelat gazastan. Adipati berencana mengambil semua jatah cokelat kita dan mengirimnya ke ibu kota.”
“Tuan Ronald! Saya menyarankan kita juga ikut langkah mereka!” seru yang lain.
Laki-laki di dekat dinding bersuara, “Kita telah menambang emas, beternak, berkebun, dan bertani untuk mereka. Sekarang mereka malah ingin merampas hak kita lagi. Dipikir kita ini budak mereka?!”
“Benar! Benar! Ini tidak adil!” Semua anggota klan serentak bersuara dalam tingkat ketinggian nada yang sama. Bukan karena sudah sering latihan akapela, tapi menurut mereka, penderitaan ini sudah dirasakan bersama dalam waktu yang panjang.
“Teman-teman,” Ronald berteriak semampunya, tak tahan dengan suara bising dan ruangan pengap di sini. Dia sebenarnya tidak nyaman membuat rapat klan di ruang bawah tanah, namun harus bagaimana, tradisi leluhur harus tetap dijalankan.
“Ini bukan permintaan adipati.” Ronald mengambil jeda sesaat, membiarkan paru-parunya beristirahat dengan lega. “Ini permintaan raja. Adipati pasti tidak punya opsi lain selain mematuhinya. Lagi pula, tanah siapa yang kita tanami cokelat? Bukan punya kita! Punya mereka! Kita tidak punya andil menentukan pilihan mereka.”
“Tapi Tuan, sebelum saya menghadiri rapat ini, istri dan anak-anak saya sangat risau. Mereka tidak henti-hentinya meminta saya untuk menyampaikan masalah ini kepada anda. Tolong usahakan, Tuan. Berbicaralah dengan adipati. Kadang kita bisa mendapatkan jatah cokelat walau sedikit,” mohon seseorang.
“Baik, aku akan ikut membicarakan hal ini di pertemuan kota, namun bukan dengan protes, melainkan dialog,” tutup Ronald. “Ada yang lain?”
Hening. Nyala obor masih tetap saling menjilat seperti awal rapat, menampakkan klan yang mematung tanpa hasrat untuk menanggapi. “Jika tidak, kita tutup pertemuan malam ini.” Ronald berjuang mengangkat tubuh lemahnya dengan sebuah tongkat kayu, diikuti oleh seluruh anggota klan lain. Mereka meninggalkan Kuil Kebenaran.
-Bersambung-
Note: Cerita ini adalah bagian dari proyek novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: [email protected]