Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 3 : Golongan Pengabdi Para Leluhur

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 3 : Golongan Pengabdi Para Leluhur

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan (Wendi Amiria/DETaK)
loading...

Cerbung | DETaK

Kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia-

Ronald, si Pemimpin Klan Giffrod beserta cucunya, Nicolas, telah sampai di wilayah pemukiman Klan Gifford. Pemukiman mereka berada di area ujung timur kota, berbatasan langsung dengan padang rumput ilalang yang tingginya sampai dada manusia dewasa. Padang ilalang ini memisahkan antara Hutan Okigahara timur dan pemukiman kota sejauh 200 meter.
Beberapa pria menyalami Ronald. Salah satu dari mereka berkata, “Tuan, kami ikut bersedih atas apa yang menimpa keluarga anda. Mungkin malam ini kita bisa membatalkan pertemuan rutin klan dan anda bisa beristirahat dengan Nicolas di rumah.”

IKLAN
loading...


“Jangan!,” balas Ronald. “Ini adalah tradisi yang telah diamanahkan oleh nenek moyang kita untuk tetap dijaga. Sudah terjadwalkan sejak dua ratus tahun lalu bahwa setiap tanggal 1 di bulan baru, kita akan mengadakan rapat Klan Gifford. Rapat klan akan tetap kita laksanakan.”

Ronald beranggapan andai dia membatalkan rapat rutin Klan Gifford gara-gara kejadian yang menimpa keluarganya saat ini, itu menunjukan pesan bahwa bersedih atas urusan pribadi lebih penting dari pada kepentingan klan. Sebagai pemimpin, Ronald berusaha untuk mempertahankan kesakralan budaya leluhurnya.

Sementara itu di dalam salah satu rumah panggung milik Lafitters, Nicolas bersender di dinding kayu kamarnya, duduk di alas tikar, memandang ke arah api yang ada dalam kaca lampu minyak. Bocah berhidung mancung dan berambut hitam lurus itu tak bisa tidur malam ini, bukan karena memikirkan ibunya. Sejujurnya, terpikirkan sedikit. Bagaimana rasanya dipancung? Apa yang ada dalam pikiran orang gila? Apakah ibunya masih mengingat Nicolas ketika sudah gila?.

Nicolas sudah kehilangan ibunya sejak tiga bulan yang lalu, saat ibunya kabur dari Gazastan setelah ayahnya mati. Tiba-tiba kemarin dia dapat kabar bahwa ibunya telah kembali ke kota, namun sayangnya untuk dieksekusi. Itu alasan Nicolas tetap memberanikan diri pergi ke pengeksekusian. Dia ingin melihat ibunya sekali lagi setelah sekian lama, walaupun Nicolas paham, dia akan melihat pemandangan darah dan leher putus yang bisa saja memberikan rasa trauma kepada anak seusianya.

Sedih? Anak mana yang tidak sedih mengetahu ibunya meninggal, di depan matanya pula. Namun Nicolas telah lelah bersedih dan menangis, sudah dia buktikan kemarin. Nicolas meraung-raung sekuat tenaga, mengeluarkan air mata sebanyak yang dia bisa, namun keadaannya tidak berubah, tidak ada yang datang untuk mengubah nasib malangnya. Menangis adalah hal yang sia-sia, begitu juga menjalani hidup di kota ini.

Malam cukup larut hingga membuat para Laffiters dan Nicolas yang sedang melamun tertidur. Pada saat itu pula, para lelaki pemimpin rumah tangga dari Klan Gifford keluar rumah menuju ke kuil sederhana yang dibuat oleh leluhur klan yang diberi nama “Kuil Kebenaran.” Kuil ini berbentuk persegi enam, dibuat dari kayu dan beratap jerami kering. Di dalam kuil ada tikar besar yang menjadi alas duduk bagi anggota klan yang ingin beribadah. Di bagian depan kuil terdapat lukisan sebuah wajah manusia yang memiliki jenggot bersambung dengan kumis dan melebar hingga sampai jambang. Tatapannya menyala, dua alisnya turun tepat di antara dua mata. Keriput vertical muncul di bawah dahinya. Lukisan itu diyakini oleh penduduk kota sebagai perwujudan dari salah satu dewa keyakinan mereka, Hades. Di atas lukisan itu terdapat tulisan “Keluarga Gifford.”

Anggota klan tidak membuat rapat di ruangan ini, mereka berjalan ke sudut ruangan, lalu membuka pintu kayu yang terbaring di tanah. Di dalamnya sudah menunggu tangga-tangga yang mengarahkan mereka ke ruang bawah tanah.

Dua orang turun terlebih dahulu sambil membawa obor, diikuti oleh yang lain. Ruangan ini berbentuk bulat, dikelilingi dinding tanah, cukup menampung sekitar 30 orang dewasa. Dua orang tadi meletakkan obor di tempat hiasnya di bagian depan ruangan, lalu cahaya mulai mengusir sebagian kegelapan. Di antara kedua lidah api yang terus bergoyang, terlihat sebuah tulisan yang sudah sangat tua, “Keluarga Alexandria.”

Sang pemimpin klan, Ronald, duduk di depan, menghadap pada anggota klan. Satu laki-laki yang masih berdiri membuka rapat seperti biasa, “Mari kita berterima kasih kepada para leluhur yang telah mewariskan tempat ini.” Semua kepala menunduk khusyuk dalam diam, hormat mereka pada para leluhur sangat besar, bahkan melebihi para dewa sekalipun.

Setelah selesai, laki-laki itu duduk. Tuan Ronald mulai melayangkan pertanyaan yang sudah diulangnya ratusan kali, “Siapa yang ingin menyampaikan sesuatu?.”

-Bersambung-

Note : Cerita ini adalah bagian dari proyek novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email : [email protected]