Judul film: The Social Dilemma (2020)
Sutradara: Jeff Orlowski
Skenario: Jeff Orlowski, Vickie Curtis, Davis Coombe
Produser: Larissa Rhodes
Produksi eksekutif: Laurie David, Heather Reisman, Lynda Weinman, Bruce Heavin, Hallee Adelman, Ryan Ahrens, Jill Ahrens, Ben Renzo, Linda A. Cornfield, David J. Cornfield dan Ivy Herman.
Durasi: 1 Jam 33 menit
Mulai Tayang: 9 September 2020
Pemain: Barbara Gehring, Catalina Garayoa, Chris grundy, Kara Hayward, Skyler Gisondo, Sophia Hammons, Tristan Harris, Vic Alejandro, Vincent Karthesier, Shoshana Zuboff, Renee DiResta dan Aza Raskin.
Ada ekspektasi yang tak terduga terhadap film The Social Dilemma. Apalagi saat tahu sutradaranya adalah Jeff Orlowski. Jeff pernah memenangkan penghargaan Emmy untuk film dokumenter populer lainnya yaitu film Chasing Ice ditahun 2012 dan Chasing Coral ditahun 2017. Dan pada ajang Boulder Internasional Film Festival tahun 2020, The Social Dilemma mendapat penghargaan dalam kategori Impact Film Award.
Film ini diangkat dari kisah perjalanan bagaimana aktivitas teknologi industri beroperasi dengan para pakar tekonologi yang mengeksplorasi sisi lain dari dampak penggunaan jejaring sosial bagi manusia. Film dokumentar ini secara keseluruhan menceritakan tentang dampak berbahaya atau sisi gelap dari media sosial dan dunia maya dengan berbagai platform yang mereka cipatakan sendiri. Para desainer telah mempengaruhi dan memantau psikologi pengguna sehingga segala hal negatif yang terjadi secara spontan bukanlah sebuah “bencana”, tetapi memang telah diatur dan direncakan.
IKLAN
loading...
|
Tristan Harris adalah seorang mantan ahli etika desain Google dan salah satu pendiri Center For Humate Technology (tim gmail) mengatakan salah satu kelemahan manusia adalah “bad forecasting” seperti kegagalan manusia dalam melakukan atau bertindak dalam prediksi atas langkah yang diambilnya. Banyak orang berpikir bahwa Google hanyalah kotak pencaharian dan Facebook hanyalah tempat untuk menulis status, melihat kabar teman dan informasi baru, tetapi sebenarnya mereka tidak menyadari bahwa mereka (di media sosial) bersaing untuk memikat perhatian pengguna.
Film ini juga menggambarkan bahaya dari “kegilaan” masyarakat dalam menggunakan media sosial yang bisa mempengaruhi perilaku manusia, cara berpikir dan jati diri di dunia digital atau internet. Mereka merancangnya semenarik mungkin sehingga hal ini membuat manusia semakin terikat dengan dunia digital. Selain itu munculnya AI (Artificial Intelligence) dan machine learning membuat kinerja plaltform digital menciptakan “adiksi” yang membawa buih-buih persepsi sehingga memicu kecenderungan manusia teralihkan. AI mengetahui apa yang disukai oleh manusia, secara natural hal ini akan membuat manusia merasa lebih nyaman dan terus menatap layar. AI mampu memanipulasi perilaku manusia yang dibuat oleh perusahaan ini. Kini AI telah menjelma menjadi lebih cerdas dari manusia
Film ini juga memperlihatkan bagaimana sistem algoritma media sosial itu bekerja. Selama ini media sosial bukanlah sebuah alat yang menunggu untuk digunakan tetapi ia sudah mengetahuinya dari setiap tindakan manusia saat menggunakan internet. Mereka memantau dan merekam pengguna dengan sangat hati-hati sampai dengan waktu berapa lama pun kita melihatnya. Kita merasa diawasi, dlacak dan diukur oleh teknologi itu sendiri.
Sementara itu film ini juga memunculkan stigma baru yang menarik perhatian yaitu “ if you’re not paying for the product, then you are the product”. Dalam pernyataan ini terdapat makna yang menunjukkan perubahan perilaku yang sebenarnya sudah terjadi saat ini. Media sosial bukanlah produk, kita adalah produknya. Jika kita tidak membayar untuk produk, maka kita sendiri adalah produknya. Kebanyakan pengguna media tanpa disadari di setiap situs-situs atau layanan internet menganggap layanan yang disediakan itu gratis, padahal tidak. Terdapat iklan yang membayar situs tersebut. Iklan lah yang membayar situs. Peranyaan yang timbul, mengapa pengiklan membayar perusahaan atau situs tersebut? mereka membayar untuk menampilkan iklan kepada kita. Jadi kita dibayar oleh iklan untuk menggunakan teknologi. Dalam hal ini ada bisnis baru, yaitu sebuah bisnis yang menjual kepastian dan banyak data.
Seperti yang diungkapkan oleh Shoshana Zuboff yang merupakan seorang Professor dari Harvard Business School, Harvard University, bahwa teknologi industri adalah jenis loka pasar baru saat ini. Ini lokal pasar yang belum pernah ada dalam sejarah kemanusiaan. Lokal pasar yang hanya memperdagangkan prediksi nilai saham manusia dalam skala besar dan pasar yang menghasilkan triliunan dollar yang menjadikan perusahaan internet sebagai perusahaan terkaya seperti Facebook dan Google.
Teknologi yang dirancang seperti itu akan mengancam eksistensi kemanusiaan seperti yang diungkap oleh Tristan dan Lanier. Seluruh generasi ini merasakan lebih cemas, rapuh dan tertekan dan tidak siap dalam pengambilan keputusan. Selain itu media bukan hanya mempengaruhi pikiran manusia. Teknologi mulai mengancam negara yang menganut sistem demokrasi sehingga masuk ke dalam era terburuk dalam sejarah demokrasi. Teknologi industri telah menciptakan alat untuk mengacaukan dan mengikis stuktur masyarakat. Hal ini disebut polarisasi. Artinya angka ketidakpercayaan masyarakat yang satu dengan lainnya meningkat dan menimbulkan konflik berkepanjangan antar golongan masyarakat.
Kini permasalahan dengan pelaku users dari media sosial mengalami disintegrasi yang menyebabkan generasi muda mulai dari remaja hingga dewasa melakukan percobaan bunuh diri bahkan melukai diri sendiri. Sebenarnya check and balance sangat penting dilakukan apalagi ditambah dengan hoax yang terus beredar, individu lebih sering melihat perspektif hanya di dalam pemikirannya sendiri tanpa menilai perbandingan dari informasi yang kurang disukainya.
Di samping banyak sisi negatif yang kita dapat dari film ini, namun film ini juga memberi pesan positif bahwa satu-satunya cara untuk mencegah kehancuran manusia lebih dalam lagi adalah menghentikan sistem yang merusak psikologi manusia. Karena kita tidak layak untuk diperlakukan sebagai sumber daya yang bisa diekstraksi. Alat yang sebenarnya diciptakan sudah tidak berjalan ke arah yang baik namun kita memiliki kewajiban memperbaiki kerusakan dan mulai mengatur lika-liku dalam bermedia sosial. “Matikan notifikasi”.
Teknologi akan terlahir kembali dengan berbagai manfaat jika kita mampu menghilangkan pemicu akhir untuk menggetarkan jari untuk ”mengklik” terus menerus hanya untuk membuang waktu saja. Perubahan yang lebih baik akan datang dengan mempertimbangkan sumber informasi sehingga kita akan melihat sudut pandang yang berbeda.
Peresensi adalah Agika Putri. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Syiah Kuala. Ia juga aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah.
Editor: Missanur Refasesa