Beranda Feature Sisi Lain Kota Sabang

Sisi Lain Kota Sabang

Ist

Mella Agustia [AM] | DETaK

Berbicara tentang kota Sabang, kota yang menjadi titik awal dari wilayah Indonesia, pasti kita sebagai warga negara Indonesia tidak asing lagi dengan sebutan kota Sabang, siapa yang tidak kenal dengan keindahan kota Sabang yang kerap memukau wisatawan dari dalam maupun luar kota.

Selain keindahan yang disajikan, kota Sabang juga pernah menjadi bagian dari salah satu lagu nasional yang berjudul “SABANG-MERAUKE”. Kota yang sering dijuluki dengan surga dipenghujung Nusantara ini menyajikan dengan indah pesona laut dan gunungnya, terutama pesona bawah lautnya.

IKLAN
loading...


Kota Sabang bisa dikatakan sebagai kota yang sangat kecil, karena hanya memiliki 2 kecamatan saja, yaitu Kecamatan Suka Karya Dan Kecamatan Suka Jaya. Namun tetap sampai saat ini kota Sabang menjadi salah satu primadona dari wisata yang ada di Indonesia terutama di Aceh sendiri.

Untuk menuju ke kota indah ini kita harus menempuh perjalan air, yaitu menaiki kapal dari pelabuhan Ulee Lhee Banda Aceh. Perjalan yang ditempuh juga tidak terlalu lama hanya sekitar 2 jam saja jika menggunakan kapal biasa, jika menggunakan kapal cepat hanya berkisar 1 jam saja.

Tiket yang dibandrol untuk ke Sabang juga terbilang murah, untuk kelas ekonomi hanya perlu membayar 31.000 rupiah perorang dan untuk motor hanya perlu membayar 37.000 saja, untuk kelas VIP cukup membayar 60.000 saja perorang.

Jajaran pantai dan pegunungan yang menemani perjalan indah wisatawan menjadi nilai plus bagi kota ini, “kecil namun luar biasa memanjakan mata” begitulah kira-kira slogan yang dapat kita sematkan untuk kota Sabang ini.

Disepanjang bibir pantai pondok-podok makan berjejeran, pedagang kaki lima pun bertaburan, banyak juga toko-toko yang menjual cendramata dan sebagainya. Namun siapa sangka dari keindahan yang disuguhkan oleh kota kecil ini terdapat beberapa sisi lain yang patut dipertanyakan.

Hayana Yasmin yang merupakan seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya ia ke Sabang, sudah sejak lama direncanakan hanya saja karena pandemi melanda jadi rencananya tersebut harus ditunda terlebih dahulu.

“Sebenarnya saya sudah lama berencana untuk berlibur ke sabang dengan teman-teman kampus hanya untuk refreshing saja atau sekedar menenangkan pikiran dari tugas kuliah yang menumpuk, namun pandemi datang jadi liburannya kami tunda dulu, nah sekarang baru deh kesampaian ke Sabang,” ujar Hayana.

Ivo Laila Raihani, sebagai temannya juga menambahkan Sabang memang merupakan pilihan yang cocok untuk menenangkan pikiran namun ada bebepa hal yang unik atau terbilang aneh.

“Sabang ini indah namun ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, di Sabang pada pagi hari sampai pukul 12.00 WIB semua orang beraktivitas seperti biasa, semua warung dan toko dibuka, hanya saja dari pukul 13.00-18.00 WIB semuanya ditutup, persis seperti kota tanpa penghuni, namun menjelang magrib semuanya kembali dibuka,” ujarnya.

“Kemudian di Sabang juga tidak terdapat lampu merah, mungkin karena penduduknya yang tidak terlalu padat, kami juga pernah menanyakan kepada teman kami Nurul Zakia Ulva mengenai hal-hal yang ada dikota Sabang ini, karena kebetulan dia memang anak Sabang. Namun katanya, dia juga tidak tahu pasti mengenai semua hal yang ada di Sabang,” tutup Hayana dan Ivo.

Siapa sangka kota memiliki pesona nan indah ini ternyata menyimpan sisi lain didalamnya, mungkin ini merupakan suatu tradisi atau mungkin ada hal yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat sekitar, bahwa membuka toko atau berjualan pada siang menjelang sore itu tidak diperbolehkan.

Inilah yang menjadi budaya dan ciri khas dimasing-masing daerah, setiap kota atau daerah pasti mempunyai keunikan, adat serta tradisi yang diwarisi secara turun-temurun hingga ke anak cucunya kelak.[]

Editor: Della Novia Sandra