Menanti Sunset
Oleh Ricky Syah R
Dalam hidup, semua orang ingin mencari kebahagiaan. Bahkan di kota ini pun semua orang mencari kebahagian, namun tak ada yang bisa menjamin hidupnya bisa bahagia kapan pun ia suka. Tak ada.
Semua orang di sini bagaikan mesin, yang terus berjalan mencari bahagia. Pagi hari ia bangun, dan langsung pergi entah kemana hingga pulang saat senja tiba. Sebagian orang berkata ia berkerja. Saat aku bertanya untuk apa berkerja, ia menjawab biar hidup tidak miskin, biar hidup banyak uang, kaya, dan bahagia. Semua orang yang aku temui, semuanya menjawab demikian. Kalian tahu. Bila dipersentasekan berapa banyak orang yang tidak mencari kebahagiaan itu, hanya nol koma sekian persen, dari seluruh penduduk bumi ini. Dan di antara mereka termasuk aku yang tidak ingin mencari bahagia itu. Dan kalau dipersentasekan lagi untuk penduduk kota ini, mungkin hanya akulah satu-satunya yang tak mencari dan mengejar si bahagia tersebut. Nah, kalian pasti bertanya kenapa aku berkata seperti ini dan mungkin menganggap aku ini gila, bukan?
Aku tidak menyalahkan pendapat kalian tentang hal itu. Karena semua itu pendapat kalian. Dan pendapat, wajar saja berbeda dari setiap diri manusia. Semua pemikiranku memang terlihat seperti orang bodoh, bahkan tolol, atau mungkin kalian berpikir aku tidak waras. Sebab, menginginkan hal yang banyak dihindari semua orang.
“Aku memang tak mencari kebahagian itu, tapi aku mencari ketenangan. Sebab, ketenangan akan bisa membawa kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan tidak bisa membawa ketenangan. Itulah sebab aku tak mengejar kebahagiaan. Namun mengejar ketenangan.” Seperti itulah jawaban atas pertanyaan Jojo kepadaku tentang kebahagiaan.
***
Langit di atas laut biru telah melukis semburat merah. Burung-burung senja pulang ke rumah. Formasi perahu nelayan membentuk siluet indah. Aku masih di sini tak sedang mengejar kebahagiaan. Tapi masih dengan prinsip hidupku. Aku belum lagi menemukan ketenangan itu yang bisa membawa kebahagiaan. Telah seharian aku berjalan mengitari kota ini, namun nihil, tak ada apa-apa. Hampa.
Lelah sudah aku berpikir untuk menemukan ketenangan. Hingga akhirnya aku berdiri di sebuah pantai indah, memandang hamparan laut merah, mataku masih loyo tak berarah, sampai akhirnya mata ini terfokus pada satu betuk bulat di atas laut sana. Bentuknya sangat indah. Sungguh malah. Sejenak aku terpana, sejenak juga semua masalah sirna.
“Betapa indahnya sunset itu. Sungguh Tuhan Maha Kuasa,” bisikku dalam hati sembari terus memandang bentuk bulat nan mempesona di atas sana. Perlahan bagai ratu ia tenggelam di mulut petang, perlahan juga rasa kagumku hilang, hingga senandung azan berkumandang.
“Apa kau telah menemukan ketenanganmu itu?” Jojo lagi-lagi menanyaiku. Dan aku, hanya diam membisu. Aku tak hirau pertanyaannya. Aku lagi kalut. Sebab, hari ini bagai hari mati dalam hidupku. Berjalan terus seperti mesin yang menginjak aspal, bermandi matahari seharian, melihat berbagai bentuk manusia yang tak sama rupa, sifat, bahkan cara jalannya.
“Sebenarnya, apa sih yang kau cari di dunia ini?” lagi dan lagi Jojo bertanya. Lagi dan lagi juga aku diam bak semula.
“Di, aku ini sahabatmu. Sepatutnya lah aku harus tahu kehidupanmu. Apa susahnya kau bicara, dan bilang padaku tentang hidupmu. Mana tahu aku bisa bantu. Akhir-akhir ini kau lebih banyak diam dari pada sebelumnya. Ceritalah kawan,” Jojo mencoba melunakkan hatiku untuk bicara.
“Tidak semua kehidupan pribadiku harus kau tahu!”
Aku bersuara. Namun sepertinya kata-kataku tajam, hingga Jojo diam. Ia seperti merasa bersalah atas pertanyaanya.
“Aku tidak apa-apa Jo. Aku hanya tak ingin sama seperti mereka. Mencari bahagia bagai mesin kerja tanpa jeda. Aku ingin ketenangan, dan itu belum aku dapatkan,” aku berkata lembut pada Jojo namun tetap dengan paras lesu, dan Jojo masih diam tak bicara. Mungkin ia paham maksud perkataanku bermula.
***
Jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan angka lima. Dan itu berarti sore mendekat. Aku tinggalkan kerlap-kerlip dunia yang membuatku tak mengerti. Aku menuju tempat kemarin. Tempat saat aku merasa sesuatu yang berbeda.
Di tempat itu, dengan laut berseru semu, camar lagi dan lagi berformasi indah menari, buih menghempaskan putih-putih. Aku menatap kosong tanpa tujuan. Entah apa. Pikiranku melayang ke awang. Aku seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi apa itu? Aku tak tahu.
Tiga puluh menit berlalu, aku masih diam membisu. Memandang hambar ke diriku. Dan, tiba-tiba hatiku damai entah pasal apa. Aku merasa ada sesuatu yang selama ini aku cari akan hadir.
“Apakah ini ketenangan yang ku cari slama ini?” aku bertanya sendiri.
Sunset itu telah muncul. Ia tersenyum manis kepadaku. Dan aku pun merasa tenang tak menentu. Mungkin inilah jawaban atas pertanyaan Jojo dan tentu juga pertanyaan yang selama ini ada di hatiku.
Sunset itu telah membuatku tenang. Dan ia membuat aku nyaman. Sepertinya inilah akhir dari cerita penantiannku. Sesuatu yang aku cari, sesuatu yang aku nanti, kini telah dapat aku temui. Inilah arti sebenarnya, ketenangan dan bahagia akan berpihak kepadanya.
Sejatinya, ketenangan selalu ada di diri kita. Hanya saja manusia sibuk dengan egonya, menjadi mesin yang berkerja tanpa jeda. Ketenangan telah aku dapatkan, dan bahagia telah aku temukan.
Ku hantar seulas senyum pada sunset yang ingin tenggelam di sudut sana. Lalu aku pergi berlalu. Kalian tahu aku hendak kemana? aku akan berkata pada mereka, “Carilah ketenangan, baru kau akan mendapatkan kebahagiaan,” juga aku akan bercerita pada Jojo, bahwa aku telah menemukan hal yang aku cari selama ini.
Biodata Penulis
Ricky Syah R, adalah nama pena dari Ricky Syahrani. Saat ini ia tercatat sebagai Mahasiswa semester tujuh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dapat dihubungi melalui email: [email protected]