Oleh Sarah
Langit melihat Awan sangat cemas. Langit tak tahu mengapa, ia hanya yakin, Awan sedang kesal. Berkali-kali awan menatap ke bawah, memandang hamparan padi yang sudah menguning. Lalu melihat mesjid-mesjid yang dipenuhi jama’ah pada saf pertamanya saja. Awan menggeleng, matanya terpejam. Langit mulai khawatir dan mencoba menenangkan Awan.
Tapi kali ini berbeda, indahnya awan pada langit yang biru tak membuat Awan ceria manakala biasanya. Sang Awan selalu ingin merubah warnanya menjadi abu-abu bahkan hitam. Tapi Langit sekuat tenaga merayu agar awan tak melakukan itu.
“Kau kenapa Putih? Stop marah-marahmu itu?” Ucap Langit pada Putih, panggilan sayangnya pada Awan.
“Aku sebal Lang. Kau lihatlah kelakuan makhluk berbaju itu. tak sesuai dengan fitrah. Mereka adalah sosok yang paling sempurna yang Allah Cipta, tapi secuilpun sikap mereka tak nampak sempurna.”
“Manusia manakah yang kau maksud Putih?”
“Manusia itu Lang.” Sambil menunjuk pada salah satu kawasan bumi yang masih terhampar tanah luas.
“Kenapa mereka rupanya?”
“Masak kau tak tau, Lihat mereka itu, makhluk yang masih Muda tapi sudah pikun!”
Langit terdiam. Bingung.
“Padahal luka panjang bertahun-tahun telah mencoretkan kisah buram di hati mereka. Tapi mereka lupa. Padahal air bah raksasa yang hapir menyamai tinggiku pula telah menyita hidup mereka, tapi mereka lupa. Pikun itu namanya.”
Langit kembali mencerna kata-kata membara yang terlontar dari bibir Awan. Menimang-nimang apakah makhluk yang diceritakan Awan itu benar-benar pikun? Tak sempat Langit mencari jawaban, Awan sudah menampakkan wajah merahnya. Dia memandang sesuatu. Langit mengikuti arah matanya. Terlihat dua sejoli terduduk mesra di bebatuan pantai. Keduanya saling menggenggam tangan. Makhluk yang berambut pendek itu memandang si makhluk berkerudung. Yang dipandangnya hanya tersenyum malu.
“Dua sejoli itu. kau lihat? Mereka juga pikun. Padahal mereka jelas tau, tanah mereka adalah serambinya Mekah. Islam pertama masuk di Indonesia itu di tanah mereka. Tak malu mereka seperti itu. Pikun itu namanya.”
Langit terlihat kembali berpikir. Otaknya benar-benar berpikir keras kali ini. Dia harus tau apa yang di maksud Awan. Lagi-lagi sebelum Langit mendapat hipotesa jawaban semua kata-kata Awan. Awan sudah berwarna abu-abu. Tanda dia benar-benar marah.
“Kau Lihat lang. Di sana!” Awan menunjuk ke arah pedesaan. Makhluk tua renta sedang menanak nasi. Oh bukan, sedang membuat bubur yang sangat cair hampir seperti air dalam perapian. Dia meniup api yang mulai padam. Tangan hitamnya mengusap keningnya yang berkeringat. Polesan hitam kayu bakar membekas mewakili duka sang tua renta di keningnya. Dia terlihat sedih memandang guci di dapurnya. Bisa ditebak. Dia pasti kehabisan beras.
“Sayang sekali makhluk itu.” Ujar Langit terharu.
“Sayang! Tapi lihat di bagian itu Lang.” kembali Awan menunjuk belahan bumi yang berbeda. tak jauh dari gubuk si tua renta. Terlihat seorang berpakaian hijau keabu-abuan sedang makan siang. Orang itu terlihat sangat santai mengunyah potongan daging rendang dalam mulutnya. Mengkoyak, mennggigit dan Hap masuk ke dalam perutnya. Dia melihat jam tangan berkilau yang terpakai rapi di pergelangan tangannya. Jarum pendek pada jam tangan itu sudah berpose di angka dua, sedang jarum panjang mendarat di angka 6. Orang itu masih saja terlihat santai. Padahal jelas meja kerjanya harus diduduki semenjak setengah jam yang lalu.
“Kau bisa liat, Makhluk itu dengan tanpa dosa mencuri waktu. Dia juga lupa. Lupa kalau semenitpun dia tidak melaksanakan kewajibannya, maka haram uang lembaran bertuliskan rupiah itu dipakainya. Pikun itu namanya kan?”
kemudian si mahkluk yang santai tadi tiba-tiba berdiri. Piringnya masih terhiasi nasi dan beberapa porongan daging kecil. Dia melihat pirignya sekilas dan pergi. Melihat itu, warna Awan semakin gelap. Awan menyebar kemana-mana hingga Langit tak bisa menampakkan keindahan birunya.
“Lihat itu kan lang. makhluk benar-benar pikun. Benar-benar lupa kalau mereka di beri ruh untuk memainkan perasaannya dengan baik. Tapi ruh itu tak mereka gunakan Lang. mereka lebih menggunakan pikiran dan egois mereka. Mereka tak bisa saling menyanyangi, seperti masa Khalifah Muhammad, Lang. mereka tak pantas menduduki tanah serambi Mekkah itu, Lang!”
Langit yang melihat perubahan emosi Awan yang semakin menjadi merasa agak takut. Tapi bila di biarkan. Awan akan megguyur tiada henti semua mkhluk itu. Awan akan mennguyur mereka hingga mereka tak sanggup mengingat lagi apa yang terjadi.
“Awan. Tunggu!” terdengar suara langit berteriak di telinga Awan.
“Kenapa lagi kau Lang? Tak usah menghentikan aku. Kau tahu sendiri tingkah mereka. Mereka lebih sibuk mengurusi diri sendiri daripada agama mereka. Mereka sudah tak menyimpan agama di hati mereka Lang. mereka menyimpannya di pikiran, mereka gabung dengan perhitungan untung rugi hingga menemukan sebuah rumus Laba tanpa sadar orang disekitarnya rugi.”
Langit kembali terdiam. Ia tak bisa mengelak semua yang diucapkan Awan. Langit hanya tertunduk. Mungkin memang harus dingatkan kembali dengan Bala. Pikir Langit. Sedang Awan mulai menjatuhkan tetes-tetes mutiara putihnya. Terutama di daerah yang banyak dihuni oleh orang pikun. Berjam-jam sudah mutiara putih bertebaran di tanah rencong. Sungai sudah penuh. Kemungkinan airnya akan meluap dan menghiasi rumah-rumah makhluk-makhluk yang katanya sempurna itu.
“Awan!” Teriak Langit pada akhirnya.
Awan terdiam. Memandang Langit dengan tajam. Sebuah pertanyaan tertulis di atas kepalanya, “ mengapa kau mencoba menghentikan aku lagi, Lang? belum mengertikah kau?”
“Awan. Kau tak berhak menghukum mereka. Sekarang LIhat! Ulahmu bukan saja akan merayapi makhluk pikun yang kau bilang. Tapi akan menyentuh tua renta dan berjuta-juta makluk tak bersalah lainnya.”
Awan mulai terdiam.
“Biarlah Tuhan yang mengurusi mereka. Kau tunggu sajalah titahnya. Dia lebih tahu daripada kita. Biarlah makhluk pikun itu dengan segudang aktivitas kepikunannya, toh nantinya semua itu juga yang akan dia ungkap di akhirat kelak.” Ucap Langit Bijak.
Akhirnya Awan kelabu telah sirna digantikan dengan putihnya hamparan kapas yang menghiasi langit Tuhan.[]
Penuli: Sarah (Mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah Angkatan 2011)
Editor : Murti Ali Linga
Comments
comments