Oleh Maulana
Indonesia adalah negara yang makmur akan hasil alam dan makmur akan rakyat tentunya. Artinya makmur dalam menciptakan keturunan. Hal ini didasari oleh posisi jumlah penduduk Indonesia berada di tingkat keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Proses pengembangan negara ini juga semakin lama semakin menunjukkan progress yang positif dari hari ke hari, waktu ke waktu, dan masa ke masa.
Konteks realita budaya kekinian Indonesia tidak patut lagi di pandang sebelah mata. Pemikiran masyarakat Indonesia sudah mulai relevan akan perkembangan zaman saat ini. Masyarakat Indonesia sudah mulai keluar dari frame (bingkai) berpikir pragmatis atau pemikiran “kun fayakun”.
Masyarakat hari ini sudah mulai bisa membaca dan menganalisis keadaan yang terjadi pada konteks kekinian. Korelasi yang sangat mendasar adalah dikala kita menuju ajang pesta demokrasi (pemilihan umum) 9 Aril 2014 mendatang. Masyarakat sudah bisa membaca yang mana pihak pro dan mana pihak yang kontra. Pro-Kontra disini adalah pro kepada rakyat, atau kontra terhadap rakyat, yang hanya mementingkan bargening position kubu tersebut.
Sungguh ironi memang dikala pertarungan shahih ini, di bumbui oleh amarah dan emosi yang kurang terkendali oleh beberapa pihak untuk menuju ke “kursi panas” berikutnya. Hal ini tentu menimbulkan efek yang kurang indah di mata masyarakat, apalagi masyarakat Aceh. Seperti kita ketahui masyarakat Aceh atau “Serambi Mekkah” pernah dilanda konflik berkepanjangan. Kondisi inilah yang mengingatkan kembali memori masyarakat Aceh akan masa kelam itu. Dimana pada saat itu banyak korban yang berguguran baik itu mati sebagai “binatang, maupun mati sebagai pahlawan”.
Hari ini kita bisa melihat realita dengan jelas, bahwa telah terjadi Psychological Warfare (perang urat saraf), yang sangat alot antara “Merah vs Orange”. Tentunya mengingatkan kita ketika perhelatan akbar Piala Dunia 2010 lalu, antara Spanyol vs Belanda. Keduanya sama-sama menggunakan baju kebesarannya, merah dan orange. Dalam ajang itu keluarlah Spanyol sebagai pemegang. Berjaya dengan mengawinkan piala Dunia serta piala Euro, dan menasbihkan Spanyol sebagai raja dunia sepakbola.
Analogi tersebut tentunya dapat menjadi bahan rujukan antara kedua partai yang akan saling bertarung di pemilu 2014 yang akan datang. Sama-sama menggunakan bendera yang berlandaskan warna kebanggaan (merah & putih). Kondisi menempatkan kita sebagai tumbal perasaan “trauma” yang terus menyelimuti kehidupan masyarakat di Aceh saat ini.
Pemerintah Aceh baru-baru ini membuat suatu gebrakan yaitu dengan mendeklarasikan “pemilu damai, katanya!”. Seyogyanya hal ini dapat menjadi tonggak guna menuju pemilu yang bermartabat, jujur, dan adil. Dengan hal tersebut maka kita akan mendapati sosok pemimpin yang baik pula. Namun yang kita takutkan adalah deklarasi ini hanya sebatas deklarasi yang tidak di aktualisasikan secara holistik (menerapkan ) dalam kehidupan berdemokrasi nantinya.
Sungguh kita sangat menantikan sosok pemimpin yang pro rakyat dan mementingkan aspirasi rakyat itu sendiri. Bukan hanya pemimpin yang hanya aktif bersuara lantang dengan janji-janji bagai ilalang, bukan hanya sosok pemimpin yang menguasai media untuk menaikkan citra, tapi sosok pemimpin yang memang benar-benar adil dan jujur. Bagaimana yang kita dambakan bersama saat Islam masih di bawah kekhalifan Umar bin Khattab. Ironis memang ketika melihat perjalan hidup bangsa Indonesia saat ini, yang mana dengan kondisi kependudukan 98% umat muslim namun konteks yang dijalankan adalah sistem “kafir”. Maka dari itu peran kita sebagai rakyat adalah untuk memilih pemimpin dengan nurani yang kita punyai.
Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kepada kita hal yang benar dan akan selalu menjadi benar dan yang salah akan tetap menjadi salah. Mari sama-sama kita berdo’a kepada Allah SWT untuk menjadikan Indonesia negara yang makmur dan menjadi negara yang dijauhkan bala dan bencana.[]
Editor: Murti Ali Lingga