Oleh Ryan Aswinsyah Putra | DETaK
Ketika kita membuka mata saat fajar tiba dengan semburat merahnya, apa hal pertama yang terlintas dalam kepala kita? Rutinitas harian telah menanti? Seragam sekolah? Ceramah pagi dari guru killer untuk kesekian kalinya kita bermalas-malasan? Atau ujian mendadak dari mata kuliah yang sangat tidak kita sukai? Dan rencana untuk bolos lagi, mungkin? Pagi-pagi sebelum ini bisa jadi adalah beberapa hal itu yang terpikirkan. Namun, bagaimana jika suatu pagi kita terbangun dengan pikiran gundah? Gundah karena hari ini adalah awal pagi dimana keputusan penting yang menentukan masa depan remaja kita sedang menanti. Aku yakin, semua orang pernah berhadapan dengan awal pagi seperti itu. Pagi yang mendebarkan. Tentu saja, mereka yang cukup intelek juga pasti menyebutnya pagi mendebarkan. Bagiku sendiri, malah terdengar mengerikan. Andaipun hari itu adalah hari paling buruk dari seluruh hari buruk yang telah kita lalui selama jatah hidup kita, namun yakinlah, tidak semua hari buruk berujung tak menyenangkan. Kita tak pernah tahu seperti apa hari kita akan berujung bukan? Sama halnya ketika kita mulai membaca halaman pertama sebuah roman, kita tak pernah tahu bagaimana akhir kisahnya. Begitulah layaknya hari. Kita tak akan tahu apa yang akan terjadi hari ini, kemana langkah membawa kita, dimana kita terdampar, dan siapa yang bakal kita temui…
***
Aku bersandar lemah di sini. Di bangku semen berlapis keramik yang berada di sebuah taman. Taman kecil yang tak jauh dari gerbang masuk kota ini. Taman teduh yang tak jua meneduhkan hatiku. Mataku menerawang kosong di antara banyak anak yang bergerak ke sana kemari dalam pantauan ayah serta ibu mereka. Tidak ada yang sebayaku sore ini, tak ada remaja yang sering kulihat kerap kali melintasi taman ini, tak ada pemuda-pemudi yang berkelakar dengan laptop di pangkuan –anak kuliahan, juga tak ada pasangan pria-wanita yang duduk berdekatan sembari menatap penuh arti satu sama lain. Semuanya lebih muda bertahun-tahun dariku dan lebih tua bertahun-tahun pula dariku. Anak-anak dan orang tua.
Aku tidak suka kesini. Setidaknya sejak aku benci perosotan, ayunan atau rangka besi warna-warni, aku tak pernah kemari lagi sejak itu. Aku lebih suka menghabiskan waktu di bilik warnet yang pengap, rental play station yang ribut, atau sesekali di bibir pantai bersama sebungkus rokok jika rasa malas untuk tidur di kelas kumat. Namun sore ini, kakiku membawaku memasukinya, bukan tanpa sebab.
Aku kembali menatap kertas di tanganku, entah yang ke-berapa kali sejak kuterima hampir satu jam lalu. Hanya secarik kertas saja namun mampu menghadirkan mimpi buruk. Tidak, ini bukan mimpi buruk. Kenyataan yang mengerikan, itu dia. Amplopnya entah kemana, sepertinya jatuh dan terinjak di lantai.
Aku sudah tahu sejak pertama menerima amplop itu, bahkan sebelum membuka dan mengeluarkan isinya. Aku sadar bahwa nomorku tak akan kutemui di dalamnya. Tak akan tercantum bersama sekian deretan banyak nomor beruntung di dalamnya. Tidak, kecuali mereka salah ketik atau aku cukup pintar. Nyatanya aku tak sepintar itu. Juga tidak seberuntung yang kuharapkan. Namun entah apa yang mendorongku untuk melihatnya lagi di sini. Bodoh, melihatnya di taman ini sekarang tak akan merubah kenyataan. Nomor jahanam itu tak akan muncul tiba-tiba di kertas ini. Terimalah nasibmu. Kertas ini mengejekku.
Aku menghembuskan nafas. Nafas penyesalan mungkin. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Tapi itu lebih baik, daripada tak pernah menyesal sama sekali. Kulipat kembali kertas itu, sama seperti lipatan sebelumnya. Tak berubah. Sama seperti isinya.
Aku mendongak, menatap kerindangan hijau daun pohon di atas kepalaku. Tidak banyak pohon di taman ini, mungkin hanya ada puluhan. Pohon-pohon ini tumbuh melingkar di sekeliling taman dan satu deret memanjang di pertengahannya. Pohon yang seragam. Sangat sejuk. Cabang rindang seluruh pohon mampu menutup taman kecil ini dari sinar matahari. Pohon yang baik. Aku tak tahu entah apa namanya. Di sini orang-orang menyebutnya Pokok Asan. Aku yakin bukan itu nama sebenarnya. Nama botaninya pasti bukan Pokok Asan. Namun apa peduliku? Ada hal lain yang lebih menyita semua kepedulianku. Lagipula, kita tidak akan masuk neraka gara-gara tak tahu nama sebatang pohon, bukan?
Mataku masih menatap warna kuning semarak bunganya yang menyita perhatianku. Indah. Kami juga punya Sakura di sini, Sakura kuning Kota Petro Dolar di Taman Riyadhah -jika aku boleh menyebutnya begitu. Kota Petro Dolar, julukan lama kota ini ketika dia dielu-elukan karena gas alam di perutnya. Namun kini tak lagi, kota ini sudah ringkih dan terbungkuk.
Aku masih menatap kerimbunan hijau-kuning di atasku, hijau kerapatan daun dan kuningnya bunga. Sesekali angin meniup menggerakkan dahan dan meluruhkan bunga-bunga kuning itu dari ujung tangkainya, membuat tanah di bawah sini tertutupi dengan warna kuning. Harumnya lembut mula-mula, namun aku tahu akan jadi sedikit menyengat bila jumlah yang gugur semakin banyak dan terinjak kaki-kaki berkasut para pengunjung taman. Kupejamkan mata, membayangkan andai aku adalah sebatang pohon. Aku ingin menjadi Pokok Asan saja, meneduhkan dan punya bunga kuning indah di pucuk sana. Selama hidup hanya perlu berdiri kokoh di satu tempat, menumbuhkan banyak daun, berbunga di musim bunga dan bertahan dari tiupan angin di kala badai. Itu saja. Tak ada tuntutan, tak ada ultimatum, tak ada sanksi, dan tentu saja tak disambangi penyesalan. Tapi kenyataannya adalah, aku tak diciptakan sebagai sebatang pohon. Tidak sebagai Sakura di negeri Jepang, tidak pula sebagai Pokok Asan di Taman Riyadhah.
“Assalamualaikum…”
Aku membuka mata, kuturunkan wajahku dari posisi mendongak. Kini menatap satu sosok yang berdiri di hadapanku. Sekilas tatap, aku langsung tau kalau remaja lelaki ini adalah santri. Pakaian yang dikenakannya memberitahukan identitasnya demikian. Celana kain warna gelap, kemeja panjang kerah cina berwarna tak kalah gelap dari celananya, dan tentu saja peci haji warna putih bersih. Sebuah ransel menempel di punggungnya. Taman ini baru saja kedatangan pengunjung baru, calon ulama negeri ini sepuluh atau belasan tahun mendatang.
“Assalamualaikum…” Alis lebatnya nyaris bertemu.
Aku sadar jika orang sudah mendoakan kesejahteraanku hingga dua kali.
“Waalaikumsalam..” Balasku.
“Ini Taman Riyadhah?”
Dari mana dia datang? Aku diam, menatap penuh heran pada sosok sebaya di depanku.
“Aku harus memastikan kalau aku tak menunggu di tempat yang salah. Apa benar ini tamannya?” Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman. Aku membetulkan posisi dudukku, tak lagi menyandar asal-asalan.
“Benar. Kamu datang ke tempat yang tepat. Ini memang Taman Riyadhah.” Apa dia tak melihat nama taman ini yang tertulis besar-besar di pagar sana? Dia tersenyum. Menawan. Tapi maaf saja, aku tak pernah suka cowok berkopiah.
“Boleh aku menunggu bersamamu?” Dia menunjuk sisi kosong di sampingku.
Kenapa harus bersamaku? Masih ada begitu banyak bangku kosong di dalam sini. Mengapa harus memilih bangkuku? Tak bisakah aku punya waktu untuk bersunyi diri menimbang-nimbang masalahku tanpa ditemani orang asing yang bahkan tak bisa membaca nama taman ini?
“Ya, tak masalah. Lagipula hanya menunggu, duduklah selama yang kamu perlukan.” Nyatanya aku tak melarangnya meski aku sangat berharap dia memilih bangku lain. Aku menggeser sedikit sebagai tanda aku mempersilakannya. Semoga nada tak suka dalam kalimatku tadi tak menyinggungnya. Dia menghempaskan tubuhnya di sampingku. Aromanya segar. Apakah para santri memang dikaruniai bau yang harum? Mungkin iya. Mereka belajar agama. Tentu disayang Tuhan. Salah satu bentuk kesayangan itu mungkin dengan mengganti bau keringat mereka dengan bau harum seperti yang baru saja kuhirup.
“Namanya tak begitu jelas lagi di luar sana. Ada huruf yang sudah tanggal. Jadi aku harus bertanya untuk memastikan jika aku memang sudah di Taman Riyadhah.” Nada bicaranya sangat bersahabat. “Ini kali pertama aku kemari, berkunjung ke tempat famili. Sepupuku akan menjemputku di sini begitu pengajiannya selesai. Beberapa kali dia sudah pernah mengunjungiku, kini giliranku. Dia sepupuku paling baik…”
Ternyata dia bisa dan telah membaca nama taman ini di luar sana. Tetapi, apa aku terlihat mau tahu? Apa yang membuatnya memutuskan bahwa aku perlu mendengar kisah kunjungannya kemari? Saat ini aku tak mau tahu apa-apa, hariku sudah terlalu porak-poranda untuk ditambah cerita tak jelas dari orang asing yang tak bisa mengusik selangkanganku. Kuangkat sebelah alisku dengan tatapan ‘aku-tak-peduli’ untuknya. Namun dia malah tersenyum. “Teduh ya di dalam sini. Andai aku tinggal di sekitar kota ini, pasti tiap hari akan kemari…” Kembali dia memandang berkeliling. “Apa sudah lama huruf I di pagar sana hilang?” Dia menunjuk ke arah selatan taman. “Keadaannya juga sudah agak kusam ya, catnya sudah terkelupas. Apa mereka yang di dinas pertamanan menunggu hurufnya rontok semua hingga tak terbaca lagi baru dipugar? Seharusnya mereka segera memperbaruinya.”
Baiklah. Sepertinya pandanganku kurang menegaskan pesan yang berusaha kukirimkan untuknya, bahwa aku tak mau tahu dan tak peduli dengannya. Sekarang dia malah berceloteh menilai kinerja dinas pertamanan kotaku, hanya karena Taman Riyadhah kehilangan huruf I di dinding semen berlapis keramik di sebelah selatan sana? Santri yang kritis, bisa jadi dia santri paling pintar di pondoknya. Namun aku tak tertarik. Aku merespon kalimatnya dengan desahan tanpa minat. Obrolannya sangat tidak penting bagiku. Jika tak memikirkan kesopanan, ingin aku menyuruhnya pindah ke bangku yang lain atau aku yang bergerak meninggalkan bangku ini. Tapi sisa tata krama yang masih kupunya menahanku untuk tak sekurang ajar itu. Dan aku tak mau permisi pulang, pikiranku masih butuh tempat seteduh ini sebelum membawa kehebohan untuk seisi rumah.
Dari ekor mataku, aku melihat Si Santri Kritis di sampingku mulai menggulung lengan kemeja gelapnya hingga sebatas siku. Melirik jam tangannya sebentar lalu memandangku. “Kamu asli warga Kota Lhokseumawe, ya?”
Kupandang dia, sedikit lebih lama dari pandangan tersirat pesan-ku sebelumnya. Seperti tadi, wajahnya masih ceria dan terkesan bebas masalah. Matanya jernih, alisnya lebat hitam, hidungnya tinggi, bibirnya cerah bebas nikotin –kebanyakan santri memang tak kenal rokok, garis rahangnya tegas, dagunya ditutupi bulu tipis –begitu tipis hingga tak bisa menyamarkan belahan samar di sana. Sudahkah kesebutkan betapa bersih dan bercahayanya wajahnya? Ya, wajahnya pasti selalu dibasuh air setiap adzan menyerunya. Aneh, evaluasi tatapanku kali ini mulai menyimpang. Semakin lama aku menatapnya dadaku semakin bergemuruh. Apa prinsipku terhadap lelaki berkopiah telah berevolusi? Aku menunduk sambil menenangkan gemuruh dadaku
“Hey, kamu belum menjawabku.” Dia menjenguk lebih maju ke wajahku, membuatku segera mengangkat pandangan padanya.
“Apa itu penting?”
“Apanya?”
Perkiraanku salah, dia tak sepintar yang kukira.
“Pertanyaanmu, apa itu penting?”
“Ohh…” Dia memamerkan giginya yang berderet rapi padaku, juga putih tanpa noda nikotin. “Kamu gak perlu menjawab jika merasa keberatan…”
Dengan tangan kiri, dia menarik peci haji dari puncak kepala. Rambutnya langsung mendominasi sisi kepalanya. Untuk ukuran seorang santri, menurutku dia terlalu high class. Rambutnya persis bintang iklan shampoo pria. Ikal bergelombang dan memahkotai kepalanya dengan begitu sempurna. Tak begitu kentara saat peci masih bertengger menutupi ikal itu. Dengan tangan kanan dia mengacak kepala. Membuat rambut gelapnya sedikit berantakan.
“Aku hanya berusaha ramah…” Ujarnya kemudian setelah selesai ber-improvisasi dengan kepalanya. Berusaha ramah? Apa aslinya dia tak ramah?
“Tak mengapa jika kamu tak ingin berbicara, aku hanya akan duduk di sini menunggu sepupuku muncul.” Dia memasukkan peci hajinya dalam saku celana kainnya dan mulai duduk tenang. Aku mendesah. Haruskah aku diam saja? Otakku membisikkan sesuatu. Seburuk apapun sikap yang kupunya, sengeri apapun masalah yang sedang menimpaku, tak seharusnya aku mendiamkan seorang santri. Apalagi dia baru pertama kali kemari, bukan? Sudah sepantasnya dia mendapatkan kesan yang baik untuk kunjungan pertamanya, walau hanya dari orang yang sebangku dengannya di sebuah taman. Semoga ini dicatat sebagai ibadahku.
“Orang tuaku sama-sama asli Kutacane. Keluargaku pindah kemari setelah abangku lulus SMP. Aku lahir dan besar di sini, juga adik perempuanku.” Sungguh, ini kalimat paling pribadi-ku untuk orang asing sejauh ini. Seharusnya aku tak perlu menyinggung asal-usulku, cukup menjawab ‘ya’ saja untuk pertanyaannya tadi. Kulihat dia tersenyum.
“Semoga kamu tak merasa terpaksa menjawabnya.”
Terpaksakah aku? Sepertinya tidak.
“Kamu sendiri, darimana asalmu? Rasanya aneh berjumpa dengan orang yang baru pertama kali kemari.” Dia tertawa.
“Kenyataannya aku memang baru pertama kali kemari.” Tangannya melepaskan tali ransel dari kedua bahu lalu menyandarkannya pada bangku di sebelahnya. Dia beringsut lebih rapat ke arahku setelah sisa ruang kosong bangku kami diambil alih ranselnya. “Aku berangkat dari Meulaboh semalam, melepas lelah di Mesjid Raya Baiturahman hingga waktu dhuha lalu naik bus dari terminal Lueng Bata menuju kemari lewat jam sepuluh pagi tadi.” Aku mangangguk, paham kalau dia baru saja menempuh enam jam lebih perjalanannya dari Banda Aceh kemari.
“Kamu asli Meulaboh?”
“He eh. Orang-orang menyebutnya Melbourne. Tau?” Aku tertawa. Tawa pertamaku setelah melihat isi kertas yang masih kugenggam. “Tentu, aku sering mendengar lelucon itu.”
“Padahal jauh sekali beda lafalnya.”
“Tapi itu terdengar keren. Pernah kamu bayangkan bila ada orang asing bertanya ‘Where have you come from?’ lalu kita menjawab ‘Melbourne?’ pasti si orang asing akan ternganga bermenit-menit membayangkan betapa jauhnya tempat asal kita.” Semoga bahasa inggrisku tak salah kali ini. Aku membatin. Dia terpingkal. “Yang lebih parahnya adalah bila Si Orang Asing membayangkan bagaimana seorang turis Melbourne punya tampang pribumi. itu mengelikan.” Dia kembali tertawa.
“Jadi, dari semalam kamu belum mandi?” Tanyaku beberapa saat setelah tawanya berhenti. Dia memberi cengirannya untukku. Aku langsung tahu jawabannya.
“Hanya sikat gigi saja sejauh ini.” Wajahnya sedikit merah. Malukah dia? Tapi aku salut, dia jujur mengakui.
“Sangat terlihat ya?” Dia memandang pada dirinya sendiri, juga mengendus-ngendus bajunya.
Aku menggeleng. “Gak. Justru kamu terlihat cukup bersih dari orang yang sudah mandi hingga tiga kali hari ini.” Karena kamu tak absen bersuci. Kalimat lanjutanku itu hanya menggaung dalam hatiku.
Dia tersipu sambil kembali memberiku seulas senyumnya. “Apa aku bau?” Merasa tak yakin dengan penciumannya sendiri, sekarang dia beringsut merapat padaku sambil memberi lengan bajunya untuk hidungku. Dia terlalu mudah akrab dengan orang yang baru dijumpai. Inikah yang disebutnya dengan ‘berusaha ramah’? Aku mengendus juga lengannya, untuk menghormatinya tentu saja. Seperti yang kukatakan saat awal kemunculannya, dia harum. Begitu pula hasil penciumanku kali ini. Dia masih seharum tadi. “Kamu sama sekali tak bau.” Jawabku jujur.
“Tentu, jika aku bau kamu pasti akan segera meninggalkan bangku ini sejak aku duduk tadi.” Dia nyengir lagi seraya kembali ke posisi duduknya semula. Aku memutar bola mata. Untuk ukuran seorang santri, lelaki ini terlalu banyak bicara. Tapi tunggu, mengapa kini aku malah merasa menyenanginya? Senang dia banyak bicara. Bahkan aku mulai merasa terhibur. Persoalan besar yang ada di kertas dalam genggamanku saat ini sedikit banyak tak lagi membuat suram suasana hatiku. Santri ini penyebabnya.
“Kertas apa itu?” Dia menunjuk tangan kiriku dimana kertas itu kugenggam.
Aku mendesah. “Bukan apa-apa.” Kumasukkan kertas berlipat itu dalam saku celanaku. Sepertinya wajahku kembali mendung.
“Bukan hidup namanya jika bebas dari masalah…” Apa dia melihat perubahan riak wajahku? Dan menyimpulkan bahwa aku sedang terlibat masalah?
“Setuju.” Aku berdehem. Kualihkan obrolan. “Apa yang mengantarmu jauh-jauh dari Melbourne datang berkunjung kemari?” Aku menatapnya.
“Ta’aruf?” Dia terpingkal lagi.
“Kamu sungguh lucu.” Dia menggeleng-gelengkan kepala, merasa geli sendiri dengan pertanyaanku.
“Tau apa itu ta’aruf?”
“Temu jodoh?”
“Hemm, yah bisa dibilang begitu istilah kasarnya. Dalam islam, ta’aruf itu lebih dianjurkan ketika laki-laki muslim siap menikah. Jadi, Si Lelaki akan melihat wanita calon istrinya untuk pertama kali dan langsung memutuskan apakah ingin mengambilnya sebagai istri atau tidak pada hari itu juga. Istilah sederhananya, lihat langsung dan langsung putuskan.” Dia menatapku.
“Tentu kamu tahu kan, tak ada istilah pacaran dalam islam…” Sepertinya ini akan berkembang menjadi diskusi-diskusi religi ala santri jika aku tak segera membelokkan topiknya. Aku tak punya kemampuan dalam hal itu. salahku juga yang menyingungnya pertama kali. “Baiklah, aku mengerti. Bisa kita kembali ke pertanyaan sebelumnya?”
“Tentu. Lagipula aku kemari bukan untuk ta’aruf-an. Aku masih terlalu muda untuk itu, bisa jadi usiaku tak terpaut jauh darimu…”
“Aku tujuh belas.”
“Aku bisa melihatnya.” Dia menggerakkan dagunya padaku. “Aku masuk sembilan belas.”
Kutatap diriku sendiri dalam balutan putih dan abu-abu. Kembali aku ingat kertas yang baru saja kumasukkan dalam saku celanaku.
“Masih ingin tahu mengapa aku bisa sampai kemari?”
Aku menatapnya lagi lalu mengangguk.
“Seperti yang kusebutkan pertama kali. Aku berkunjung ke tempat familiku. Rumahnya di Darussalam, tau? Kabarnya melewati jalan menuju pantai Ujông Blang.”
Tentu saja aku tahu, mengapa dia bertanya? Seharusnya dia masih ingat keteranganku tadi, bahwa aku lahir dan besar di sini. Mustahil aku tak tahu tempat yang dia sebutkan. Aku mengangguk untuknya.
“Aku belum pernah kemari, ingin juga sekali-sekali bersilaturrahmi. Kebetulan dayahku sedang libur, pondoknya sedang direnovasi. Jadi ada kesempatan buatku untuk datang ke sini. Karena tak tahu rumah, sepupuku minta aku menunggu di Taman Riyadhah, dia akan menjemputku setelah jam ngajinya selesai… aku sudah bilang ini tadi kan?”
Ya, aku ingat dia sudah sempat menyebut itu, tapi aku belum tertarik menyimak kalimat-kalimatnya di awal tadi. Tidak setelah menatap wajahnya sedikit lebih lama. Aku mengangguk mengiyakan. “Kenapa tak naik becak saja, cukup beritahu alamatnya dan kamu akan diantar ke pintu rumah sepupumu itu.”
Dia tersenyum. “Aku sudah naik becak dari terminal bus kemari.”
“Kenapa tak naik becak sampai ke Darussalam?” Aku masih merasa aneh dengan pilihannya yang mau menunggu berlama-lama di sini, tak ada tukang becak yang tak tahu jalan ke Darusalam.
“Sepupuku memintaku menunggu di sini. Lagipula, jika sekarang aku langsung mencari rumahnya maka tetap aku akan menunggu di teras. Ibu sama bapaknya masih bekerja, dan dia anak satu-satunya masih berada di pengajiannya. Otomatis rumah kosong. Daripada aku harus susah payah nyari alamat hanya untuk bengong di teras rumah atau malah di luar pagar jika gerbangnya ternyata digembok, bukankah lebih baik aku ikut instruksi yang sudah jelas saja?”
Aku manggut-manggut. Cara berfikirnya cukup logis, praktikal. Kembali aku menganggapnya pintar. Kuberi dia sebuah senyum.
“Ya, kamu memang lebih baik menunggu di sini.” Dia mengangguk untukku.
“Semoga sepupuku datang sebelum kamu bangun dari bangku ini.” Aku tertawa. Apa ucapannya itu dapat kuartikan kalau dia secara halus memintaku untuk tetap menemaninya hingga sepupunya datang menjemput?
“Sepertinya menunggu di sini dengan teman yang sebaya sambil berbicara apa saja lebih menyenangkan ketimbang menunggu sendirian sambil melihat balita-balita itu merangkak di tiang besi.” Dia mengangkat dagu ke arah sekumpulan bocah yang sedang memanjat rangka besi di sebelah barat taman. Dia menyebut ‘teman’? Apakah aku sudah dianggapnya sebagai teman? Mudah sekali baginya untuk memberi predikat itu pada orang yang baru dikenal. Oh tentu saja, semua muslim adalah bersaudara. Ajaran itu pasti sudah sangat diyakininya. Jadi jika semua muslim adalah saudara, mengapa harus sulit memberi label ‘teman’ yang notabene-nya tidak lebih akrab daripada sebutan saudara?
Hembusan angin meluruhkan lagi bunga-bunga kuning dari atas sana, sekaligus menerbangkan yang telah lebih dulu gugur di sekitar kakiku –juga kaki mereka yang berkunjung kemari sore ini. Aku menghirup udara, wangi bunganya masih lembut, belum menyengat. Belum banyak bunganya yang terinjak di bawah sini.
“Indah ya…” Aku menoleh padanya. Tersenyum mendapati ikal rambutnya penuh warna kuning bunga Pokok Asan yang baru saja luruh.
“Rambutmu penuh bunga…” Entah apa yang mendorongku untuk menyapukan jari-jariku di atas kepalanya.
“Mereka juga ada di kepalamu.” Dan tanpa ragu dia balas mengacak kepalaku sambil meniup-niup.
Kutarik tanganku dari kepalanya dan kembali duduk tegak. Dia melakukan hal serupa. Apa yang terjadi denganku? Lagi, apa pandanganku terhadap lelaki berkopiah telah berubah sejak saat ini? Di sampingku, dia bersenandung tak jelas sambil mengacak rambutnya untuk melenyapkan bunga-bunga kuning di sana. Aku mengikutinya membersihkan kepalaku sendiri.
Beberapa saat lamanya kami terdiam. Lalu aku ingat bungkus rokok dalam kantongku. Mungkin sebatang rokok dapat membantuku agar lebih merilekskan saraf-saraf di kepalaku untuk sementara waktu. Kukeluarkan dan kuselipkan sebatang isinya di sela bibirku. Aku yakin dia tak merokok, tapi tetap kusodorkan juga bungkus ini padanya. Aku mengeluarkan mancis dan siap menyulut gulungan nikotin di bibirku.
“Aku tak merokok, maaf.” Tolaknya sambil merangkapkan telapak tangan di depan dada. Menolak rokokku dengan kesopanan yang menurutku berlebihan, tapi pasti lumrah saja baginya.
“Tentu, rokok kan haram bagi para santri.” Ujarku sambil memasukkan bungkus itu dalam sakuku kembali dan kemudian menyalakan rokokku sendiri. Asapnya mengepul, sejauh ini masih sanggup membuat mataku perih. Tapi aku masih saja menyulut benda ini di mulutku.
“Bukan haram, tapi makruh…” Ujarnya. Kuhembuskan asap rokokku ke udara lalu menatapnya.
“Makruh itu pekerjaan yang tak disukai Allah, pekerjaan atau perkara yang dibenci. Aku tak mau dibenci…”
Beberapa saat lamanya, aktivitas merokokku terhenti. Aku takjub dengan pola pikirnya. “Lagipula, dari sisi kesehatan rokok juga dilarang kan? kamu baca bungkusnya? Di situ jelas tertera bahayanya, orang yang bisa melihat dan bisa membaca pasti sadar itu. Aneh, mengapa orang-orang tak menggubrisnya? Menggadaikan kesehatan mereka demi asap yang tak berguna, senang dengan lezat sesaat dan mengesampingkan sengsara berkepanjangan sebagai akibat yang ditimbulkan benda makruh itu…” Dia menatapku lebih lekat.
“Jadi remaja keren itu gak harus dengan rokok di bibir kan?” Dia menyindirku. “Aku juga pernah melewati fase hidup sepertimu, aku tahu betul rasanya dielukan sejawat. Bukan pria kalau tidak merokok, bukan pria kalau tidak keluar malam, bukan pria kalau tidak berganja, bukan pria kalau tidak begadang. Semua omong kosong itu…” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menelan ludah. Ada kharisma dalam suaranya yang membuatku mencampakkan rokokku ke tanah. Kuinjak bara di ujungnya dengan sepatuku.
“Kamu tak perlu melakukan itu… aku tak bermaksud mendiktemu. Ini hidupmu, kamu bertanggung jawab sepenuhnya dengan dirimu sendiri. Lagipula kita tak mengenal satu sama lain kan? aku bukan siapa-siapa bagimu, begitu juga kamu bukan siapa-siapaku…”
“Lupakan itu.” Entah mengapa, aku kurang suka dengan ujung kalimatnya barusan. Bukan siapa-siapaku, itu. Ada apa denganku? Aku merogoh saku celana dan melemparkan bungkus rokokku ke dalam tong sampah berikut mancisnya. Kulihat dia berusaha menahan tawa.
“Aku pasti baru saja dapat pahala…” Tak berhasil diam kini dia tertawa. Tawa singkat saja. Kemudian dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman. Seperti mencari sesuatu.
“Hawa pajôh ranup?”(1) Aku berpaling padanya. Tanpa menunggu jawaban dariku dia bangun dari duduknya dan menuju pada bapak-bapak penjual jajanan yang sedang berada di ujung barat taman. Ada beberapa penjual jajanan serupa di dalam sini. Mereka menjajakan sirih dan beberapa jajanan lainnya. Cara jualannya unik, persis seperti anak-anak penjual rokok keliling yang mengantung kardus dagangannya di leher. Begitu pula dengan bapak-bapak ini, mereka mengikat dagangannya dengan tali raffia, menyampirkannya di kedua bahu dan menjajakannya dengan berjalan kaki berkeliling ke seluruh tempat. Melelahkan pastinya.
“Nih…” Dia kembali ke bangku dan menyodorkan kantong kecil bening berisi gulungan sirih padaku.
“Jangan bilang kamu belum pernah makan ranup mameh(2) kayak gini. Kabarnya sirih bisa menenangkan loh, siapa tahu hatimu bisa lebih damai menyikapi masalahmu, setidaknya untuk saat ini saja.” Dia masih mempertahankan keyakinannya bahwa aku punya masalah.
“Dan tentu saja, ini seribu kali lebih sehat dari rokok, yang paling penting… sirih bukan barang makruh.” Dia memasukkan satu gulungan sirih dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Aku merogoh kantong itu dan mengeluarkan satu isinya untukku. Aku jarang makan sirih, menurutku sirih dan pinang adalah perkakas orang tua. Aku ingat dulu pernah satu kali makan sirih seperti ini, sirih yang di dalamnya sudah diberi pinang tumbuk yang rasanya manis lalu digulung sedemikian rupa dan disudip dengan sekerat lidi kecil agar tak tumpah. Waktu itu aku hanya iseng coba-coba mengunyahnya. Entahlah, aku tak begitu suka rasanya yang kelat-kelat manis dan efek lidah tebal setelahnya. Sekarang seseorang menawarkannya untukku.
“Kamu tak suka sirih?” Dia memperhatikanku. “Kamu tak harus makan itu jika kamu tak suka. Jangan hanya kerena tak berani menolak lantas kamu menyiksa lidahmu.” Dia masih terus mengunyah, menikmatinya. Aku memasukkan gulungan sirih itu ke mulut dan mulai mengunyahnya. Rasanya sama seperti saat aku pertama kali mengunyahnya dulu. Tapi sensasi yang kudapatkan kali ini beda, lidahku seperti menikmatinya, bahkan aku merasa familiar dengan rasa kelatnya. Aku mulai suka mengunyahnya dalam mulutku. Dia tersenyum sambil merogoh gulungan sirih berikutnya. Aku mengikuti.
Deru motor dan suara ribut riuh rendah terdengar dari arah jalan masuk kota Lhokseumawe. Aku membawa pandanganku ke arah Simpang Kuta Blang di sebelah barat sana. Cukup jelas terlihat dari dalam sini. Aku menghela nafas berat lalu menunduk dalam. Konvoi putih abu-abu penuh celemongan pilox warna-warni melintas di depan taman, sebagian lurus arah kota dan sebagian membelok memutari Taman Riyadhah kembali ke Simpang Kuta Blang untuk selanjutnya melaju ke jalan keluar kota. Aku menatap seragamku, bersih. Tak ada warna-warna seperti mereka yang baru saja selesai dari konvoi perayaan kelulusan mereka. Kantung mataku mulai berat, sesal itu kian mengganyut dalam diriku. Terlintas kembali hari-hariku sejak tiga tahun lalu, hari-hari penuh ceramah karena datang terlambat, karena kebanyakan alpa, karena tak ikut ulangan, tidur di kelas, PR yang sering tak selesai tepat waktu, nilai ujian yang selalu pas-pasan bahkan keseringan jelek, bermacam model sanksi pelanggaran atau spidol-spidol yang melayang ke mejaku, dan entah apa lagi. Ya tuhan… begitu panjang daftarnya. Aku menunduk semakin dalam.
“Kamu tak mewarnai seragammu dan ikut konvoi bersama rekan-rekanmu yang lain? Pasti itu seru, sekali seumur hidup aja kan momen coret-coret begitu?” Dia memperhatikan seragamku yang masih bersih.
“Tapi dasimu bagus, aku suka warnanya. Sayang kalau ikut dicat…” Kerongkonganku seakan tercekat. Jika aku siswi, pasti aku sudah meraung histeris sejak membuka amplop di ruang kelasku tadinya. Tapi aku seorang siswa, lelaki. Mustahil aku berair mata di sana, tidak juga di sini. Kulonggarkan dasi abu-abuku yang katanya bagus itu.
“Hei… kamu tak ikut bersama mereka?” Dia mengulang kalimat tanyanya. Aku menggeleng. “Seragam ini masih kuperlukan selama tahun ajaran depan…”
“Kamu belum kelas tiga?” Keningnya mengernyit. Aku diam.
“Kamu masih kelas satu?”
“AKU TIDAK LULUS…!!!” Aku berteriak padanya. Emosiku tak terkendali lagi. Sekeras apapun aku berusaha agar tak menangis, namun tak bisa. Aku lelaki, tapi nyatanya mataku basah.
“Aku tidak lulus… aku tidak lulus…” Dia terpana, beberapa anak di sekitarku berhenti dari aktivitas mereka dan memandangku sesaat. Teriakanku menarik perhatian mereka, tidak… teriakanku membuat mereka takut.
“Aku tak lulus…” Ulangku lirih. Berulang kali aku mengerjap untuk memupus rembesan memalukan dari bola mataku. Namun gagal, yang terjadi malah mataku semakin membuatku terlihat kekanak-kanakan. Hidungku mulai berpartisipasi memperburuk sosokku.
Lalu tiba-tiba saja aku sudah menyandar di bahunya. Aku tak sadar kapan tangannya meraih kepalaku dan membawanya ke sana.
“Selalu ada hikmah di setiap kegagalan… percayalah. Yakinkan dirimu bahwa kamu akan mewarnai seragammu tahun depan. Yakinkan itu.” Dia menepuk-nepuk punggungku perlahan. Hangat dan bersahabat. Rasanya bagai sudah mengenalnya cukup lama. “Bohong jika aku berkata turut merasakan apa yang kamu rasa sekarang, karena aku tak mungkin tahu bagaimana rasanya. Bukan aku yang mengalaminya. Tapi aku mengerti perasaanmu. Jujur, aku mengerti…”
Aku nyaman di bahunya. Tak kupedulikan beberapa pengunjung –anak dan orang tua- yang menoleh sesaat ke bangkuku dengan pandangan ingin tahu. Angin kembali meluruhkan bunga-bunga kuning di pucuk sana, menyiram aku dan dia. Kubiarkan bunga kuning itu di kepalaku, begitu juga dengannya.
“Kamu boleh kok menggunakan lengan bajuku untuk menyerut ingusmu…” Kudengar dia berkata setelah beberapa lama aku masih menyandar padanya.
“Toh baju ini juga sudah cukup kotor, ingat… aku tak menggantinya sejak semalam.” Aku mengangkat kepalaku dari sana. Tertawa kecil tertahan-tahan bersama sisa-sisa sedu-sedanku. Dia ikut tertawa pelan sambil melirik bahunya yang basah.
“Maaf… aku terlihat seperti anak TK ya…” Aku mengusap kedua mataku. Kembali dia tersenyum sambil menurunkan gulungan lengan bajunya. “Pernah dengar kata bijak ini… Tuhan memberi kita kegagalan agar kita sadar kodrat kita sebagai hamba, dhaif dan tak punya kuasa. Kita tak bisa meraih kesuksesan tanpa ridha-Nya, sekeras apapun kita berusaha…”
“Aku tak pernah berusaha cukup keras…”
“Aku belum selesai.”
“Maaf…”
“Dan tuhan tidak memberi kita kegagalan melainkan agar kita lebih bersyukur ketika Dia memberi kita keberhasilan. Tahu artinya apa?” Aku menggeleng pelan.
“Artinya, kita tahu bagaimana sakitnya kegagalan, karena kita telah lebih dulu merasakannya. Ketika keberhasilan atau kesuksesan kita raih di kemudian hari, tentu kita menyadari betapa nikmatnya sukses itu dan kita menjadi hamba yang pandai bersyukur. Bersyukur dengan rasa ikhlas yang meluap-luap. Itu pasti, kamu akan membuktikannya saat kamu lulus tahun depan.”
“Lalu tentangmu yang tak cukup keras berusaha, menurutku itu bukan hal yang patut disesali. Hidup selalu berdasar pada hukum sebab-akibat, kan? Kenapa banjir? Sebab sungai meluap. Kenapa kemarau? Karena hujan tak kunjung turun. Kenapa ozon menipis? Karena polusi. Itu sebab akibat. Begitu juga halnya denganmu sekarang. Mengapa kamu tak lulus, karena kamu tak cukup keras berusaha. Itu lumrah, sudah begitu aturannya hukum sebab-akibat. Tak perlu disesali. Bagaimana juga seharusnya?” Dia menatapku lekat. Aku tak tahu harus berucap apa. Semua penuturannya seakan membiusku agar hanya menyimak gerak bibirnya dan menangkap semua suara yang keluar dari sana dengan indera pendengarku untuk selanjutnya kusimpan dalam memori di batok kepalaku. Hanya itu. Mataku mengerjap-ngerjap.
“Hei, bagaimana juga seharusnya?” Dia mengulang bertanya padaku. Aku menggeleng.
“Aku tak tahu…” Dia balas menggeleng pelan untukku.
“Jadikan itu pengajaran. Itu satu-satunya hal yang bisa kita lakukan. Belajar dari pengalaman. Tentu kamu pernah dengar ujar-ujar begini, pengalaman adalah guru paling baik. Itu benar. Kamu punya pengalaman bagaimana akibat dari usahamu yang tak cukup keras menuai kegagalan tahun ini, nah… pengalaman itu akan jadi cambuk untuk mengubahmu dan menjadikanmu lebih baik lagi di tahun depan. Percayalah.”
Aku seperti baru saja keluar dari kelas pencerahan bersama narasumber paling handal di dunia. Pikiranku dan pandanganku terbuka. Aku sangat yakin, ayahku tak bisa memberiku nasehat sebegini rupa. Kupandang sosok di hadapanku dengan mata berbinar. Ingin aku memeluknya, tapi aku takut dia risih.
“Apa aku terlalu banyak berkata-kata?” Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Syukurlah…” Aku mengelesoh di tempat dudukku. Semua kalimat-kalimatnya berlompatan dalam kepalaku. Dia ikut menyandar santai di sampingku. Hari semakin beranjak senja.
Lalu bunyi ringtone hape nyaring terdengar antara kami. Bukan ringtone-ku. Kulihat dia merogoh sakunya, mengeluarkan pecinya lebih dulu dari sana diikuti hapenya kemudian.
“Sepupuku…” Ujarnya padaku. Aku mengangguk. Sadar kalau tak lama lagi aku akan segera berpisah dengannya. Dia mendekatkan benda itu ke telinga kirinya.
“Assalamualaikum… hemm, iya. Aku masih di sini kok, gak berkeliaran kemana-mana.” Kudengar dia tertawa.
“Ada nih, anak SMA, lumayan ganteng …” Dia tertawa lagi.
Siapa yang disebut anak SMA lumayan ganteng? Aku kah? Oh, aku tidak lumayan. Tapi Ya!
Dia masih berbicara di corong hapenya. “Kelas pengajianmu sudah khatam? Hemm… iya, aku tunggu. Waalaikumsalam…” Dia menyudahi obrolannya lalu memasukkan hapenya kembali.
“Sepupumu cewek?” Dia mengangguk.
“Kamu sendiri, pernah memberikan pengajian?” Dia menggeleng.
“Pengen, tapi belum ada kesempatan.” Dia menatapku. “Merasa lebih baik?” Kusunggingkan seulas senyum.
“Ya. Aku siap mengejutkan seisi rumah.” Dia tertawa.
“Jangan kuatir, aku yakin mereka akan menerimanya dengan lapang dada. Yah, walaupun bapakmu harus mengeluarkan biaya ekstra satu tahun lagi. Tapi itu akan dicatat sebagai ibadahnya kok, menafkahi keluarga itu ibadah kan bagi seorang bapak?” Aku manggut-manggut. “Terimakasih untuk semuanya ya, kamu santri pertama yang kutemui yang memberiku banyak pelajaran.”
“Jangan lupakan fakta kalau aku juga santri pertama yang kamu siram dengan air mata dan ingusmu.” Aku terpingkal.
“Aku minta maaf untuk itu.”
“Bukan hal besar kok. Aku senang bahuku bermanfaat untuk remaja labil sepertimu.”
“Aku bukan remaja labil.”
“Ya, memang bukan. Kamu siswa SMA yang tak lulus.”
“Itu baru benar.” Kami tertawa bersamaan. Suara klakson dari arah pintu masuk taman menyita perhatian. Kami menoleh. Seseorang melambai di sana di atas sepeda motornya.
“Aku sudah dijemput tuh…” Ujarnya padaku. Dia balas melambai pada wanita dalam balutan baju gamis putih di gerbang sana, sepupunya.
“Aku izin ya…” Dia berdiri lalu menyandang ranselnya dan mengenakan kembali peci hajinya. Aku ikut berdiri.
“Bek weuh meunan hai…(4) Aku ikut sedih nih.” Dia meledekku. Kuberanikan diri merangkulnya. Dia balas merangkulku hangat. Bahuku ditepuk-tepuknya. Sungguh aku tak rela berpisah dengannya. Tak pernah aku merasakan emosiku terlibat sedalam ini terhadap orang yang baru kujumpai pertama kali. Lama kami berpelukan, hingga hembus angin entah untuk ke berapa kalinya meluruhkan bunga-bunga kuning Pokok Asan di Taman Riyadhah ini. Kami saling melepaskan rangkulan.
“Jaga seragammu…” Dia menyentuh dasi abu-abuku yang sudah sangat kusut.
“Jangan cat dasi ini ya…” Aku tersenyum.
“Semoga liburanmu di sini menyenangkan.”
“Sebenarnya, aku tak sedang berlibur.” Aku mendesah.
“Semoga silaturrahmi-mu di sini diberkahi.”
“Amiiin…” Dia meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan seperti bila kita baru siap berdoa.
“Aku pamit ya… Assalamualaikum.” Walau berat, aku tak mungkin menahannya lebih lama lagi di dalam sini.
“Waalaikumsalam…” Dia berbalik lalu melangkah tegap menuju gerbang dimana sepupunya sudah menunggu sejak beberapa saat lalu. Rasa hampa menyingkupiku seiring dengan punggungnya yang kian menjauh. Perpisahan terjadi sudah. Dia menyeberang gerbang lalu naik ke boncengan motor sepupunya. Menoleh ke arahku lagi sambil melambaikan tangan, aku balas melambai padanya. Sepupunya membunyikan klakson satu kali untukku lalu mulai melajukan sepeda motornya. Membawa sosoknya hilang dari jarak pandangku.
Aku duduk lunglai di tempat dudukku semula. Sosoknya seakan masih tergambar jelas bersamaku. Kulirik tempat yang baru saja ditinggalkannya. Rasa hampa itu semakin menyingkupiku. Berkali aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu detil pertemuanku dengannya seperti direka ulang di kepalaku. Awal dia memberi salam untukku, kritiknya untuk taman ini yang menurutnya kurang diperhatikan, pandangannya tentang rokok, sirihnya, tangannya yang mengacak kepalaku, aku yang menyandar dan membuat basah bahunya, nasihat-nasihatnya, pelukan perpisahannya tadi dan salamnya sebelum melangkah meninggalkanku, hingga lambaiannya saat sudah di atas motor. Semuanya kukenang kembali. Seharusnya aku menanyakan namanya, seharusnya aku menyimpan nomor hapenya, seharusnya aku menawarkan diri jadi tur guide-nya disini –walaupun dia tak sedang tur, dan seharusnya aku mengatakan padanya kalau aku ingin jadi temannya. Ya, kini aku telah yakin dalam hatiku. Aku menyukai sosoknya dan menginginkan dia tak hanya sebatas orang asing yang kujumpai sepintas lalu.
Aku semakin merasa hampa. Ini kali pertama aku merasakan kehadiran seseorang yang meninggalkan kesan teramat dalam di sini. Di hatiku. Anehnya, justru kesan mendalam itu diciptakan oleh sosok santri yang hanya kukenal hitungan jam, satu jam lebih saja. Aku yakin, aku tak akan pernah melupakannya. Dalam hati, aku juga mengharapkan yang sama padanya, berharap kalau dia juga tak akan melupakanku terlalu cepat. Aku dan dia, teman tak bernama yang hanya kenal satu sore di Taman Riyadhah.
Senja mulai menyemburat jingga. Angin mulai terasa sejuk di bawah Pokok Asan. Aku bangkit dari kursiku, menepuk-nepuk seragamku dari bunga-bunga kuning yang masih bersisa. Juga mengacak kepalaku seperti yang sempat dilakukan seseorang beberapa saat lalu. Taman Riyadhah mulai ditingalkan pengunjungnya. Aku membawa langkahku menuju pintu. Berdiri sebentar di sini untuk menoleh sekali lagi pada bangku yang baru saja kutinggali. Aku tersenyum. Kulangkahkan kakiku keluar menuju jalan sibuk di sekeliling taman. Mulai hari ini, Taman Riyadhah akan jadi tempat paling kusenangi. Menggantikan bilik warnet, kamar play station atau bibir pantai seperti banyak hari yang telah kulalui. Mungkin juga aku akan mulai mencintai gulungan sirih manis, sebagai pengganti gulungan nikotinku. Dan tentu saja, saat aku berkunjung esok, aku akan duduk di bangku yang sama tempat aku melewati sedikit waktu bersama seorang santri berhati baik hari ini. Bangku yang sama di bawah Pokok Asan yang sama di dalam Taman Riyadhah… []
foot note :
(1) Logat Aceh; “Ingin makan sirih?”
(2) Istilah Aceh; Sirih manis (daun sirih yang sudah diisi pinang muda halus yang diolah bersama gula).
(3) Ustadz/ustadzah yang memimpin/memberi pengajian.
(4) Logat Aceh; “Jangan sedih gitu…”
Editor : Murti Ali Lingga