Siaran Pers | DETaK
Darussalam- Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Unsyiah melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Unsyiah mengadakan Dialog Akademia tentang pro dan kontra pelaksanaan hukuman cambuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan mengambil sub tema “Suatu Upaya Mencari Solusi dan Mengakhiri Polemik” yang bertempat di ruang Balai Senat Rektor Unsyiah Lt. 2 Gedung KPA pada Kamis, 3 Mei 2018.
Tujuan diselenggarakan dialog akademia tersebut adalah sebagai wujud manifestasi dan dedikasi pengabdian Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala sebagai jantung hati rakyat Aceh.
IKLAN
loading...
|
“Pengabdian tersebut dalam bentuk memberikan layanan bantuan hukum sekaligus merespon dan memberikan solusi hukum terhadap berbagai polemik hukum yang muncul, baik dalam skala regional maupun skala nasional,” tegas Kurniawan S selaku Ketua PSIP Unsyiah dan Ketua LKBH FH Unsyiah.
Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber ahli dalam bidangnya, yaitu Rusydi Ali Muhammad (Guru Besar UIN Ar Raniry), M. Daud Hasbi (Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin), Hasbi Amiruddin (Wakil Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Orwil Aceh), Musannif (Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh), Syukri Muhammad Yusuf, dan M. Din (Pakar Hukum Pidana FH Unsyiah).
Dialog akademia ini dibuka oleh Wakil Rektor III Unsyiah, Alfiansyah Yuliannur. Dalam Sambutannya, Alfiansyah menyampaikan bahwa kegiatan dialog akademia ini menjadi strategis dan bermanfaat tidak hanya bagi insan kampus melainkan juga bagi jajaran Pemerintahan Aceh.
“Bermanfaat dalam upaya mencari solusi sekaligus mengakhiri polemik terkait pemindahan pelaksanaan hukuman cambuk ke dalam LAPAS/RUTAN sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 5 Tahun 2018,” sambutnya.
Rusydi Ali Muhammad mengatakan bahwa pelaksanaan Uqubat cambuk yang dilaksanakan selama ini di halaman mesjid lebih banyak mudarat daripada manfaat.
“Pelaksanaan eksekusi Uqubat cambuk di halaman mesjid yang dilakukan selama ini membuka akses sangat luas disaksikan bagi yang tidak layak menyaksikannya, seperti anak-anak serta pengabadian dalam bentuk rekaman video maupun foto,” tegasnya.
Musannif mengatakan bahwa ketentuan mengenai tempat pelaksanaan Uqubat cambuk yang berlaku di Aceh saat ini pada hakikatnya sudah diatur jauh hari sebelumnya dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yaitu dilaksanakan di tempat terbuka dan dapat disaksikan oleh para hadirin.
“Bilamana Pemerintah Aceh berpendapat bahwa perlu dilakukannya pemindahan pelaksanaan Uqubat cambuk dari yang semula dilakukan di tempat terbuka dipindahkan ke dalam LAPAS/RUTAN dengan berbagai pertimbangan dan alasan apapun, maka seyogyanya hal tersebut masihlah merupakan materi muatan Qanun Aceh bukan kewenangan jenis produk hukum berupa Pergub. Dengan demikian, konsekuensi yuridisnya adalah rencana pemindahan pelaksanaan Uqubat cambuk ke dalam LAPAS/RUTAN oleh Gubernur Aceh diwajibkan dibahas bersama serta wajib mendapat persetujuan bersama antara Legislatif (DPR Aceh) dengan Eksekutif (Gubernur Aceh),” lanjutnya.
Adapun M. Din berpendapat bahwa berdasarkan prinsip hukum, hakikat pemidanaan bagi seseorang merupakan suatu Ultimum Remedium yaitu sebagai upaya akhir.
“Terlebih dahulu mestilah dilakukan berbagai upaya persuasif dan pembinaan bagi para pelaku,” terangnya.[]
Editor: Herry Anugerah