Opini | DETaK
Kata penggusuran kerap kita dengar beberapa waktu belakangan, khususnya bagi masyarakat di sekitar Kopelma Darussalam. Musababnya, tak dapat dilepaskan dari langkah birokrasi Universitas Syiah Kuala (USK) di bawah kepemimpinan Samsul Rizal yang menggusur rumah dinas dosen USK yang berada di sektor timur, sektor selatan, dan sebagainya.
Penggusuran tersebut dilakukan demi mewujudkan kepentingan umum, yaitu pembangunan dan pengembangan Universitas Syiah Kuala. Bahkan, sejak tanggal 26 November 2020 lalu, Rektor USK telah melayangkan surat kepada penghuninya bahwa akan ada pembangunan fasilitas pendidikan Fakultas KIP dan Hukum selaras dengan Master Plan 2021. Akan tetapi, beberapa dosen yang mendapat surat tersebut menolak rumah mereka digusur oleh rektor.
IKLAN
loading...
|
Sebenarnya milik siapa rumah dinas tersebut? jika kita mengacu pada sertifikat atau akta, rumah dinas tersebut merupakan milik negara melalui Kemendikbud atas nama USK. Rumah dosen yang ditempati haruslah melalui proses izin untuk menghuni, dalam hal ini ada banyak rumah dosen yang sudah dihuni lebih daripada 20 tahun, izin menghuni rumah negara dapat dicabut apabila ada kebutuhan untuk pembangunan, pengembangan, serta kepentingan negara lain yang bersifat untuk kampus USK. Kepentingan pembangunan ini, yaitu salah satunya untuk merelokasi prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang selama ini bertempat di Lampeuneurut, Aceh Besar, yang letaknya jauh dari Gedung Kampus Utama di Darussalam.
Beberapa temuan di lapangan menyatakan bahwasannya ada beberapa rumah dinas yang menjadi kos-kosan, tempat bisnis, dan sebagainya. Jika ditinjau dari peraturan yang telah disepakati bahkan untuk mengubah bentuk tidak boleh dilakukan sedikitpun, apalagi menjadi ajang komersial. Hal inilah yang membuat janggal atas persoalan ni.
Perihal ini, seyogyanya direspon baik oleh seluruh stakeholder mengingat prioritas pembangunan kampus USK demi terwujudkan kemajuan Aceh di masa depan. Oleh karena itu, jangan sampai ada unsur intrikpolitik dari polemik ini terkhususnya seperti lembaga DPRA yang berwacana akan menyurati dan memanggil Rektorat USK, sementara secara prosedural kita memahami USK merupakan perangkat Pemerintah Pusat. DPRA tidak memiliki kewenangan untuk memanggil dan tidak elok untuk memprioritaskan hal ini, sementara permasalahan krusial seperti kemiskinan Aceh bahkan DPRA gagap dalam menyikapinya.
Selain itu, kehadiran Forum Warga Kopelma Darussalam yang seharusnya menjadi wadah mediasi antara pihak USK dengan masyarakat malah terkesan provokatif. Untuk itu, besar harapan saya selaku mahasiswa yang sedang menimba ilmu di kampus USK agar semuanya dapat diselesaikan secara persuasif dan yang terpenting harus berjalan sesuai dengan rulenya dan tetap menjunjung tinggi hukum positif.
Penulis adalah T. Muhammad Shandoya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. Ia juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa USK.
Editor: Cut Siti Raihan