Beranda Artikel Stoisisme, Filsafat Anti Baper

Stoisisme, Filsafat Anti Baper

Ilustrasi. (Marini Koto [AM]/DETaK)
loading...

Artikel | DETaK

Sering gak merasa baperan?  mudah tersinggung? Susah move-on? Atau mungkin merasa mengapa hidup sial memulu?

Jika iya, maka filosofi ini merupakan hal yang relevan dalam menghadapi situasi tersebut.

IKLAN
loading...


Stosisme atau juga disebut filosofi teras  merupakan aliran filsafat-romawi purba yang berusia lebih dari 2.300 tahun yang dicetuskan oleh pedagang bernama Zeno. Berbeda dengan aliran filsafat yang lain yang sering dianggap bahwa filsafat merupakan hal berat dan abstrak, sebaliknya stoisisme ini lebih menekannya praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

 Lalu, mengapa filosofi yang sudah berusia ribuan tahun masih popular sampai sekarang?

Stoisisme bukan merupakan ajaran mengikat atau mutlak yang tidak boleh dilanggar. Filososfi ini lebih pada keterbukaan dan memusatkan pada prinsip-prinsip dasarnya yang membantu dalam manjalani hidup yang penuh dengan ketidakpastian.

Prinsipnya dapat membantu seseorang untuk menemukan ketenangan dengan pengendalian emosi negatif seperti sedih, marah, curiga, cemburu, baper, dan lain sebagainya.  Tak hanya itu, stoisisme mengasah kebajikan seperti kebijaksanaan yakni kemampuan dalam mengambil keputusan dalam situasi apapun, memperlakukan orang lain dengan jujur, berani berbuat yang benar dan memegang prinsip yang benar, dan menahan diri dengan disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri.

Tak heran mengapa filosofi ini dianut oleh beberapa tokoh seperti Marcus Aurelius, George Washington, Thomas Jefferson, dan Nelson Mandela, bahkan memiliki komunitas yang cukup besar di internet.

Stoisime mengajarkan bahwa kebahagian berasal dari faktor internal bukan eksternal, kebahagiaan berada di tangan sendiri bukan orang lain.

Dengan ketidakpedulian atas hal di luar kendali (eksternal) seperti kekayaan, warna kulit, jabatan, popularitas, suku, opini orang lain dan berfokus pada hal yang berada dalam kendali (internal) seperti presepsi, keinginan, tujuan, dan pikiran ataupun tindakan kita sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf, Epictetus “hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang tidak berda dalam kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. karenanya, ingatlah, jika kamu menganggap hal-hal yang bagaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri … maka kamu akan meratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia.”

Saat ini sadar atau tidak, sering sekali kita hidup mengikuti pendapat orang lain, likes dan views  media sosial, bahkan saat ingin melalukan sesuatu tak jarang muncul pikiran “apa kata orang?” standar sosial masyarakat seakan melekat kuat pada diri masing-masing bahkan saat ingin melakukan sesuatu sering lupa sampai lupa untuk menjadi diri, padahal setiap orang mempunyai kebebasan atas apa yang dia inginkan. Begitu juga saat ingin melakukan sesuatu, tak jarang terlalu focus pada opini diri dan orang lain.

“Tahu gitu gak usah bantu dia, bilang terima kasih saja enggak!” hal ini sering terjadi jika orang yang diberi pertolongan tidak mengucapkan terima kasih. Dengan stoisisme mengajak untuk memikirkan kembali apa tujuan awal, yakni untuk menolong seseorang, bukan untuk mendapatkan terima kasih. Menganut stoisisme dapat menangkal rasa baper atas perlakuan orang lainyang terkadang irasional.

Begitu juga ketika ada hal yang dirasa buruk menimpa kita, tak jarang kita berlarut-larut dalam masalah, menyalahkan keadaan, dan terlalu bawa perasaan sampai lupa mencari solusi.

Nah, dalam menghadapi situasi tersebut stoisisime menganggap kejadian baik dan buruk tergantung pada interpretasi diri bagaimana melihat hal tersebut.

Filosofi ini juga menekankan pada penyelesaian masalah dan tetap berpikir logis, bagaimana memilih prioiritas untuk menanggapi kejadian di sekitar kita, mana yang penting untuk diambil serius mana yang hanya dianggap angin berlalu.

“Satu hal penting untuk selalu diingat: tingkat perhatian kita harus sebanding dengan objek perhatian kita. Sebaliknya kamu tidak memberikan kepada hal-hal remeh waktu lebih banyak dari selayaknya”-Marcus Aulerius []

Penulis bernama Marini Koto, ia merupakan salah satu anggota magang di UKM Pers DETaK Unsyiah.

Editor: Cut Siti Raihan