Surat Sang Perantau
Kali ini kulihat raut wajah seorang ibu begitu muram. Bibirnya bergemetar seakan ingin mengucapkan sesuatu. Namun ia tak kuasa mengutarakan, sedang air mata terus mengalir dari celah-celah pipi. Ia tahu anak semata wayangnya akan hengkang kaki dari pemukiman karena tidak kuasa mendengar coletehan-coletehan warga kampung. Kelihatannya ia sangat terpukul atas kepergian putranya itu. Belum lama kepergian suaminya yang mati karena terserang penyakit jantung akibat menanggung beban keluarga yang melemah. Dan sekarang, malah putranya yang hengkang dari rumah peninggalan suaminya.
Kurasa ibu tidak ikhlas menerima takdirnya ini. Rumah kami yang terbuat dari pelepah rumbia itu memiliki dua kamar yang biasanya setiap kamar tak akan dibiarkan kosong. Tapi malam ini, ibu malah memilih untuk mengosongkan kamarnya. Ia tidak banyak bicara dan hanya air mata saja yang mengalir pipinya dan sesekali terdengar suara isak sambil memeluk erat tubuhku.
Kali ini kepergianku hanya membawa sebongkah duka di wajah ibu. Tatapan di raut wajahku tak lepas sekejap pun dari bidik pandangannya. Ingin sekali kuurungkan niatku yang tak kuasa melihat kesedihan di wajah ibu yang telah membesarkanku dari bayi hingga dewasa ini. Namun langkahku tetap; akan meninggalkannya.
Kucium tangannya sebagai permintaan maaf serta pamit pagi itu. Dengan isak tangis yang maha kencang sambil memeluk erat tubuhku tak kuasa akupun terisak-isak. Diantarnya sampai di pintu rumah dan pesannya melayang di benakku, “jika kau merasa ada yang melahirkanmu, ia selalu menantimu.” Hanya pesan dan sebongkah duka yang kubawa pergi.
***
Ari sejawatku waktu di kampung yang sehari-hari bergembala. Ia sekarang sudah menjadi pemborong di daerahku rantau, dulu setelah kepergian ayah. Sementara aku jadi pengembala hanya untuk mencari sesuap nasi yang cukup untukku dan ibu saja. Ibu hanyalah tukang cuci dari rumah ke rumah, demi membiayai sekolahku. Aku hanya mampu menamatkan sekloah sampai SMP dikarenakan faktor ekonomi keluarga. Saban hari setelah pulang sekolah, aku dan Ari langsung ke rumah Haji Hasyim menanyakan keberadaan ternak-ternaknya karena Ari tidak jauh beda dengan ekonomi keluargaku juga.
Dulu Ari pernah bilang padaku bahwa ia akan merantau. Ia mengajakku ikut dengannya. Karena waktu itu aku masih berstatus siswa, maka kuurungkan niat tersebut. Ari memang malas pergi ke sekolah, padahal ia serba bisa dalam menguasai mata pelajaran. Ya, karena ekonomi melemah, ia terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya.
***
Sudah dua hari di rantau hanya mencari alamat pemborong itu saja. Susah juga mencari alamat di rantau ini, tidak seperti di kampung tempat yang kudiami dulu. Sebab sebulan yang lalu Ari memberikan alamat tempat ia bekerja padaku. Hingga kutemukan tempat sewajatku itu.
Hari berganti hari, minggu per minggu telah kujalani dan usia bulan hampir berakhir. Genap sudah purnama kali ini. Rindu seorang perantau telah tumbuh seribu pada seorang ibu yang di tinggal dalam kerinduan. Mulai aku melangkah dari gubuk tua, belum pernah kukabarkan berita tentangku pada ibu. Mungkin ia merasa resah memikirkan keadaan putranya ini.
Dalam rindu yang kian menggelayut, aku membatin. Kulayangkan sepucuk surat dari rantau untuk seorang ibu yang menanti kabar dari anaknya :
Banda Aceh, 29 September 2011
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
Mak! Sepuluh jari Khaidir angkat memohon ampunan darimu. Mungkin selama ini emak selalu menanyakan keadaan Khaidir. Khaidir sekarang sehat dengan doa mak. Khaidir berharap mak juga sehat dan selalu dalam lindunganNya.
Alhamdulillah sekarang Khaidir sudah dapat pekerjaan atas doanya emak. Khaidir selalu mengingat pesan emak. Tapi untuk sekarang belum sempat Khaidir tunaikan. Mak! Dalam setiap gerak yang kuperbuat, selalu saja bayanganmu yang mengikat.
Mak! Khaidir selalu merindukan emak…
Wassalam
Khaidir
Blok C, 29 September 2011
*Penulis adalah Mahasiswa Gemasastrin FKIP Unsyiah dan pegiat di Komunitas Menulis (KM) Jeuneurob