Pergeseran telah berlangsung perlahan–lahan menuju periode yang sangat mengejutkan, ketika perkembangan gerakan sosial yang dulunya mengatasnamakan sebuah tujuan utama untuk mendapatkan hak dan keadilan yang sebenarnya. Periode yang mulai kesulitan untuk menemukan sebuah komitmen pada garis gerakan pun mulai ternodai dengan kepentingan para penguasa untuk mendapatkan hasrat nafsunya.
Pusat–pusat konsentrasi gerakan dapat tergambarkan pada salah satu universitas kebanggaan rakyat aceh yang disebut Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sebagai Jantong Hatee Rakyat Aceh. Perkembangan gerakan yang sudah berproses dari era reformasi hingga perdamaian Aceh saat ini, Unsyiah yang menjadi salah satu motor gerakan mahasiswa saat ini pun tidak lagi menampakan suatu komitmen dari tujuan yang dulunya diharapkan.
Secara konsisten gerakan– gerakan mahasiswa di Unsyiah adalah suatu proses perubahan, sebagai tindakan yang terencanakan, gerakan–gerakan yang mengekspresikan suatu sifat sukarela dan juga tergambarkan suatu integritas baru dalam mengembangkan kondisi sosial di kampus dan masyarakat.
Nah, kondisi yang tergambarkan dalam konsisten gerakan itulah yang telah punah dari dunia pendidikan Unsyiah. Dengan terlahirnya suatu kondisi yang mulai lari pada tujuan gerakan mahasiswa Unsyiah tersebut akan mempengaruhi suatu dinamika yang sulit untuk menemukan suatu komitmen dan konsisten dalam mencari kesungguhan proses perubahan.
Bukanlah kondisi yang baik pada saat kepentingan penguasa Unsyiah yang dulunya bersumber untuk menindas hak dan keadilan itu mulai berbalik arah pada gerakan mengrekrut orang–orang yang katanya berani berkorban untuk menjaga konsistensi gerakan mahasiswa.
Gerakan penguasa Unsyiah itu mulai perlahan–lahan menampakan pencitraan yang indah bagi kroni–kroni yang dulu melawan penguasa Unsyiah. Kroni–kroni melawan penguasa Unsyiah itu pun telah masuk pada era baru dalam gerakan yaitu “hadiah” perubahan gerakan.
Adanya suatu kroni yang mulai memainkan suatu kondisi di universitas kebanggaan rakyat aceh yaitu Unsyiah, yang terpusatkannya kekuatan baru pada tingkat gerakan mahasiswa mulai terinspirasi penguasa untuk mengrekrut gerakan–gerakan mahasiswa di Unsyiah agar mulai masuk pada gerbong kepentingan sang penguasa Unsyiah di ranah politik 2011 yang lebih nyata. Era baru itulah yang kemudian membuat mahasiswa lain mempertanyakan ada apa dengan perubahan baru ini? Apakah ini yang katanya dulu idealisme dalam berkomitmen menjaga garakan perubahan mahasiswa.
Era pada tahap baru ini merupakan pergeseran yang sangat alamiah bagi manusia sosial. Bukan saja kroni–kroni yang dulunya meneriakkan hak dan keadilan mahasiswa, tapi lebih sangat memprihatinkan adalah ketika para akademisi yang merupakan orang–orang yang seharusnya mengajar untuk mendidik mahasiswa menjadi kader–kader yang sadar akan keadaan sosial dan masyarakat, itu pun mulai direkrut oleh penguasa Unsyiah.
Perekrutan yang dilakukan penguasa Unsyiah itu adalah suatu gaya-gaya politik praktis yang sedang disusun pada tataran pendidikan dengan tujuan agar tercapainya hasrat nafsu penguasa Unsyiah dalam melanjutkan kekuasaan yang lebih nyata pada pemilihan gubernur 2011 ini. Realitas yang sangat ironis inilah yang kemudian menjadi suatu gambaran bagi Unsyiah ke depannya yaitu akan ada penguasa-penguasa yang kuat dan rakus dalam membangun pendidikan, akan ada penguasa–penguasa yang lari dari komitmen membangun tujuan Negara ini. Kader–kader bangsa yang bereuforia dengan kenikmatan dari daging–daging penguasa akan punah serta akan terbangun juga suatu pendidikan sandiwara di negara ini.
Penguasa Unsyiah yang mulai percaya diri dengan gaya politik perekrutan itu pun mulai langgeng dengan kondisi Unsyiah yang stabil dan tanpa pergolakan yang dulu sering dilakukan oleh para mahasiswa untuk menuntut hak dan keadilan mahasiswa.
Nah, kemana mereka yang dulu percaya akan gerakan itu? Apakah mereka telah masuk pada kroni–kroni yang mendapatkan “hadiah” perubahan gerakan atau mereka telah tergeser dengan dinamika perekrutan politik sang penguasa Unsyiah? Kondisi gerakan Unsyiah seperti inilah yang akan menjadi pilihan dalam menjawab pertanyaan–pertanyaan tersebut.
Dedy Zulwansyah
Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah dan Ketua Divisi Kajian dan Analisis Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK)