Matahari Terbit
Oleh Ramajani Sinaga
Gedung-gedung kian hari semakin mencakar langit. Acap tinggi. Lampu cahaya menghiasi warna kota metropolitan. Malam itu, seorang lelaki bertubuh tinggi bersama lima orang wanita—memenuhi nafsu birahi mereka. Persentase kaum Hawa lebih unggul jumlahnya daripada kaum Adam sekarang ini. Apa boleh buat, kini banyak kaum hawa bekerja sebagai seorang dongdot*. Roda waktu terus berjalan. Tapi dongdot semakin memenuhi setiap sudut kota, bahkan setiap lorong tempat telah dipenuhi oleh dongdot-dongdot.
Malam itu suasana tampak aneh. Berbeda seperti malam-malam sebelumnya. Udara panas membakar ibukota. Padahal angin sedang menip-niup dan menceracau pelan. Bulan dan bintang di langit tertutupi awan hitam, sebagai pertanda hujan akan menghujam bumi. Namun hujan tidak kunjung turun. Suasana gerah. Panas.
Beberapa mahasiswa pulang setelah berkoar seharian. Membawa toa. Bercita-cita memenuhi semua keinginan mereka.
Dalam malam, masih terdengar suara isak tangis bayi-bayi mungil yang terlantar. Tidak punya ibu dan bapak. Menurutku, manusia paling berdosa selain para koruptor di dunia ini adalah orang yang membuang bayi manusia. Bayi tidak berdosa. Mereka tidak tahu apa-apa. Semua tidak peduli dalam perasaan ketidak tahuan. Suara tangisan-tangisan bayi itu semakin jelas. Menggema. Semua diam seolah tidak mendengar. Buat apa memungut bayi haram, pikir mereka kala itu.
***
Azan subuh mendayu-dayu lembut dari sebuah meunasah kecil. Entah suara itu peringatan terakhir bagi seluruh manusia di bumi, supayar tidak lupa akan panggilan untuk bersujud pada Ilahi. Dan, seorang pun tidak tahu siapa orang yang sedang melantunkan azan itu. Pun orang-orang tidak akan mencari tahu. Buat apa mencari tahu? Hanya suara azan! Tapi jika konser musisi-musisi ternama dari luar negeri, pasti manusia di sini selalu ambil bagian paling depan. Tidak pernah dibelakang.
Mereka lupa akan Tuhan mereka. Lupa terhadap siapa yang memberi rezeki buat mereka. Lupa padal mereka hanya terlahir dari selangkang perempuan! Lalu perlahan, azan itu selesai. Diam. Semua menjadi hening seperti semual. Semua terlelap tidur dengan mimpi-mimpi indah. Subuh pun jadi dingin.
Matahari terbit. Tiba-tiba semua orang goyah. Seluruh media mengabarkan sebuah berita. Ya ini aneh. Sangat-sangat aneh. Bahkan, berita korupsi dan konflik menghilang tanpa jejak. Berita perselisihan KPK dengan polisi menghilang. Berita Gayes Tambunon yang sedang berlibur di Bali tapi tetap di jeruji besi lenyap sudah. Berita pendakwah yang pamer harta, berita artis-artis yang berbuat tidak senonoh, berita mahasiswa yang berbuat anarkis, berita para pemimpin ulama yang gagal menyatukan fatwa dan aliran yang berbeda, berita negeri raksasa Melayu sebagai plagiat budaya. Semua menghilang!
Sekarang, semua terbangun dari kasur-kasur empuk pagi itu. Di awali dari presiden, menteri-menteri, para pejabat negara, gubernur, para ulama, dan seluruh manusia melangkah tergopoh menghadap matahari. Seluruh mata manusia tertuju pada matahari itu. Memicing. Sunyi dan kaku. Lalu semua serentak menangis haru, mengingat Tuhan, Allah Yang Mahakuasa. Surau, meunasah, dan mesjid semua ramai. Mengingat Tuhan pencipta alam.
“Ampuni kami, Ya Allah,” kata mereka sambil menangis haru terisak-isak.
Gedung-gedung mencakar langit telah kosong. Hening. Tempat hiburan malam telah sunyi. Fenomena alam menakutkan yang telah dijanjikan akhirnya datang.
Gedung-gedung MPR dan istana presiden, sunyi dan senyap. Seluruh manusia meninggalkan aktivitas dunia. Para siswa tidak beranjak ke sekolah. Ladang-ladang kosong tanpa pekerja. Lumpur lafindo yang luasnya seperti lautan, menguap hening. Hanya burung elang sesekali tertawa dengan terbang rendah di bumi. Suara genjatan senjata bumi Palestina akhirnya usai. Bangsa Israel diam. Hari yang dijanjikan akhirnya datang. Semua takut dan pasrah. Matahari telah terbit dari ufuk barat dan berakhir di ufuk timur. Sebagai pertanda, kiamat akan tiba. Hari pembalasan dalam Alquran surat Al-Ghaasiyah (Hari pembalasan seluruh perbuatan manusia) akhirnya tiba. Tidak ada gunanya kau menangis terisak-isak kala itu, Kawan! Dan tak ada guna kau berbuat baik pada kala itu. Lebih baik dari sekarang kau berbenah diri.
* Dongdot: PSK
¹ Cerita berdasarkan tanda-tanda kiamat, (matahari akan terbit dari barat dan tenggelam di ufuk timur)
Biodata Penulis
Ramajani Sinaga, lahir di Raot Bosi, Sumatera Utara, 5 Oktober 1993. Karya-karyanya telah dibukukan, antara lain: antologi cerpen bersama “Siapakah Aku ini Tuhan” (2011), kumpulan cerita horor bersama “They Meet With My Nightmare” (2012), dan kumpulan cerpen komedi bersama “Cinta Kandas di Angkot” (2012). Karya-karyanya dimuat di Lintas Gayo, Detak Unsyiah, Suara Mahasiswa USU, Serambi Indonesia, Waspada Medan, Batak Pos, dan Medan Bisnis. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester tiga Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dapat dihubungi melalui email; [email protected]