Oleh Mahfud
Nanggroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh, red) dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah (Serambi Mekkah). Hal ini didasarkan karena nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan Islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan rencong sebagai senjata tradisional diilhami dari lafadz Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kalimat untuk meresmikan diri menjadi pemeluk islam. Karena landasan tersebut Aceh diberikan hak otonomi khusus untuk mengatur daerah sesuai dengan adat-istiadat dan budaya yang ada dalam masyarakat Aceh. Salah satu hak otonomi yang paling terasa dalam masyarakat adalah penerapan syariat Islam. Syariat (legislasi) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Quran maupun dengan sunnah Rasul (Musa,1998).
Penerapan syariat Islam sudah jalan lebih dari 10 tahun. Perlahan-lahan hukum positif yang dituangkan dalam KUHP digantikan dengan hukum Allah yang terangkum dalam Al-Quran dan Hadist yang diimplementasikan oleh Dinas Syariat Islam ke dalam Qanun. Pro dan kontra dari berbagai pihak terus saja mengalir. Mereka berusaha mengkritisi, mengevaluasi dan mengajukan ide baru untuk perbaikan sistem penerapan syariat Islam ke depan.
Kita lihat realitas banyak kejanggalan dan kekurangan dari segi penerapan hukum syariat. Syariat Islam yang paling mengemuka sejak 2001 sampai sekarang adalah minuman keras atau miras (khamar), judi (maisir), zina (khalwat), dan standar pakaian muslim/muslimah. Memang minuman keras dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan perbuatan keji lain seperti pembunuhan, zina dan dosa-dosa besar lainnya. Judi dapat membawa kesengsaraan karena sifatnya untung-untungan. Begitu juga dengan pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh wanita yang merupakan aurat bagi mereka, dan khalwat akan mendorong terjadinya pemerkosaan, perzinaan serta pelecehan terhadap wanita.
Untuk mengatasi masalah dalam penerapan syariat Islam, pemerintah Aceh harus terus berbenah diri, khususnya dalam penempatan peran Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan Wilayatul Hisbah (WH). Karena lembaga tersebut mempunyai peranan penting dalam penerapan syariat Islam yang lebih kreatif, inovatif, dan mempunyai dedikasi tinggi untuk mewujudkan syariat Islam sesuai dengan Qanun yang telah diterapkan oleh lembaga tersebut, dan harus dijalankan sesuai dengan sumber hukum Islam (Al-Quran dan hadist). Di samping itu, pelanggar syariat Islam harus dihukum sesuai dengan pelanggaran yang dperbuat tanpa pandang bulu.
Sosialisasi syariat Islam perlu dilakukan dengan cara modern. Di bidang pakaian harus digiatkan seni merancang busana yang islami karena ada kecenderungan masyarakat kita berbusana sesuai tren. Maka kita harus menciptakan tren pakaian yang islami. Selain itu, hal ini bisa juga dilakukan melalui pemanfaatan media milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Produktivitas TVRI yang kurang berkembang perlu disokong dengan acara-acara yang berbasiskan Islam. Media cetak islami perlu dikembangkan lagi. Jadi intinya adalah kita jangan hanya pandai melarang tanpa memberikan solusi, tapi solusi yang tepat akan meminimalisir hal-hal yang menguras keimanan kepada Allah Swt. []
Mahfud adalah Mahasiswa Prodi Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Unsyiah, angkatan 2011.