Travel | DETaK
Dikisahkan bahwa, di Aceh Barat Daya tepatnya di Desa Suka Damai, terdapat sebuah gua yang menjadi tempat persinggahan para penjajah Belanda. Gua itu disebut dengan nama Gua Geudong. Dinamakan gua Geudong karena gua itu dikelilingi oleh gunung-gunung, orang zaman dahulu menyebutnya dengan nama “Geudong”.
Menurut cerita dari salah seorang warga yang pernah masuk ke gua tersebut, bagian dalam gua itu berbentuk seperti bagian dalam rumah pada umumnya, memiliki kamar dan ruangan lainnya.
IKLAN
loading...
|
Gua Geudong terletak di antara pegunungan yang tanahnya banyak dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat setempat. Gua tersebut berjarak sekitar 3 Km dari rumah keuchik Suka Damai. Dan membutuhkan waktu selama dua jam untuk sampai ke sana. Sedangkan jalan masuk menuju ke bagian dalam gua tersebut berjarak sekitar 300 M (jika masuk dari gua ketiga).
Konon, di dalam gua Geudong terdapat intan yang berbentuk seperti bambu. Namun sampai sekarang intan tersebut tidak pernah diambil oleh masyarakat karena tangan mereka seperti terkena sengatan listrik ketika ingin menyentuhnya, dan hingga kini tidak diketahui lagi keberadaan dari intan itu.
Para penjajah Belanda menjadikan gua Geudong sebagai tempat menginap sementara, sehingga di sana ditemukan peninggalan berupa alat dapur dan pelaminan yang terbuat dari batu yang merupakan peninggalan dari penjajah tersebut.
Gua Geudong merupakan salah satu gua yang dihuni oleh harimau dan gua ini ditemukan oleh alm. Kejron Lahsemen, ayahanda keucik Desa Suka Damai. Terdapat beberapa harimau di sana, dua ekor harimau merupakan penghuni asli gua Geudong dan yang lainnya selalu bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain.
Harimau-harimau itu menjadikan gua geudong sebagai tempat tinggal sekaligus tempat untuk beranak. Gua ini terdiri atas tiga bagian, gua pertama terletak pada bagian paling atas gunung, gua kedua terletak pada bagian tengah antara gua satu dan tiga, dan gua ketiga terletak di sekitar kaki gunung.
Di bagian dalam gua-gua ini terdapat jalan untuk menuju ke gua satu, dua, atau tiga. Sehingga dengan begitu harimau dapat berpindah tempat dari gua satu, dua dan gua ke tiga. Harimau tersebut telah ada sejak sekian lamanya. Namun ia tidak pernah turun ke pemukiman warga, meskipun begitu bukan tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang menjadi korban dari serangan harimau itu.
Dikabarkan beberapa waktu yang lalu, ada seorang pawang yang diserang oleh harimau ini, disebabkan karena ia berbicara kotor kepada harimau yang pada saat itu sedang terperangkap dalam sebuah jaring dan sebenarnya pawang ini ingin menyelamatkannya.
Menurut masyarakat setempat, harimau ini hanya keluar pada malam dan di siang hari pada saat suasana sedang sepi. Musim durian merupakan saat paling tepat untuk dapat menemukan harimau ini, karena pada saat itu ia akan turun untuk memakan durian milik warga yang jatuh.
Keberadaan harimau di gua Geudong menyebabkan masyarakat merasa sangat waspada untuk masuk ke dalam gua, sehingga jarang sekali ada warga yang masuk ke gua itu sendirian. Mereka hanya masuk ketika ada “Kenduri Seunebok Geudong”. Kenduri ini merupakan tradisi masyarakat yang dilakukan satu tahun sekali untuk menyambut keluarnya bunga durian. Dan inilah fungsi dari gua Geudong pada saat ini
Selain itu, gua Geudong memiliki kaitan dengan Ie Lob, yaitu air yang berasal dari Krungbarue mengalir ke gua Geudong dan akan bermuara di sungai Desa Lhok Ketapang. Kemudian harimau yang menghuni gua Geudong dikabarkan pernah turun menuju ke Ie Lob.
Banyak yang mengatakan bahwa ada seseorang yang dapat mengendalikan harimau itu. Mereka menyebutnya dengan nama Aulia. Ia adalah orang yang selalu berusaha untuk mencegah agar harimau tidak turun ke pemukiman warga. Menurut sumber, pada setiap malam Jumat sekitar pukul 12 sampai 2 pagi terdengar suara orang mengaji dari Gua Geudong. Dan masyarakat menerka bahwa itu adalah suara dari Aulia.
Sampai saat ini, penghuni gua Geudong yaitu harimau masih berada di gua tersebut. Sedangkan intan, alat-alat dapur, dan Aulia tidak diketahui oleh masyarakat mengenai keberadaannya. []
Penulis bernama Akrima Sabila. Ia merupakan mahasiswi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala.
Editor: Herry A.