Resensi | DETaK
Judul : The Boy Who Harnessed The Wind
Sutradara : Chiwetel Ejiofor
Produser : Andrea Calderwood, Gail Egan
Skenario : Chiwetel Ejiofor
Pemeran : Maxwell Simba, Chiwetel Ejiofor, Lily Banda
Tanggal rilis : 25 Januari 2019
Durasi : 113 menit
Negara : Britania Raya, Malawi
Bahasa : Chichewa, Inggris
Berkisah tentang seorang anak laki-laki, William Kamkwamba yang membangun turbin angin demi menyelamatkan desanya, terinspirasi dari buku sains yang ia temukan diperpustakaan sekolahnya.
The Boy Who Harnessed The Wind merupakan film yang diangkat dari kisah nyata yang diadaptasi dari buku The Boy Who Harnessed The Wind karya William Kamkwamba dan Bryan Mealer yang disutradai oleh Chiwetel Ejiofor, juga berperan sebagai Trywell, yakni ayah dari tokoh utama.
Di awal cerita mengisahkan William Kamkwamba, seorang anak petani yang lahir di Kasungu, Malawi. Sejak awal William sudah menunjukkan minatnya pada alat elektronik seperti memperbaiki radio tetangganya. Selain membantu ayahnya bekerja di ladang, ia menghabiskan waktu luangnya untuk pergi ke tempat barang rongsokan untuk mencari komponen barang elekrtonik yang kiranya dapat dipakai.
Semuanya berjalan lancar, sampai ketika kemarau melanda desa tersebut pada pertengan tahun 2000. Kemarau yang panjang mengakibatkan pertanian ayahnya gagal panen. William pun dilarang pergi ke sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolahnya.
Tidak berhenti sampai di situ, karena keinginan kuat untuk belajar, William kemudian membujuk guru sainsnya, Mike Kachigunda yang mempunyai hubungan rahasia dengan kakak perempuannya sehingga ia mendapatkan akses untuk menghadiri kelas dan perpustakaan sekolah. Di perpustakaan inilah ia mulai mempelajari tentang listrik dan produksi energi.
Sebelumnya William sudah mulai tertarik dengan listrik. Hal itu bermula ketika ia ingin belajar di malam hari, namun karena cahaya yang minim, ia pun berpikir keras bagaimana cara menghidupkan listrik di rumahnya. Kemudian ia melihat lampu di sepeda gurunya ketika pedal sepeda tersebut dikayuh dapat menghasilnya cahaya. Dari peristiwa tersebutlah mendorong rasa ingin tahu William mengenai pembangkitan energi.
Bulan pun berganti, tetapi hujan masih belum juga turun. Sekolah ditutup, kekeringan terjadi dengan pasokan makanan yang mulai menipis, kemalingan persediaan makanan, kerusuhan pun terjadi disebabkan kelaparan yang melanda desa. Akibatnya, satu persatu warga pun mulai meninggalkan desa tersebut, termasuk kakaknya, Annie, yang pergi bersama guru sainsnya dan meninggalkan keluarganya.
Untuk mengeluarkan desanya dari kekeringan, William pun berencana untuk membangun turbin angin pembangkit listrik yang dapat memompa air dari sumur. Dengan menggunakan komponen elekronik yang diambilnya dari tempat barang rongsokan, ia membangun konsep kecil dari turbin yang akan dia bangun dengan bantuan teman-temannya dan ternyata berhasil.
Tetapi, untuk membangun turbin angin yang besar, William membutuhkan izin Trywell, ayahnya, untuk memakai sepeda yang merupakan harta satu-satunya yang tersisa dalam keluarga tersebut. Ayahnya pun menolak keras ide tersebut, ia yakin bahwa apa yang William lakukan tersebut adalah hal yang sia-sia dan memaksa William untuk bekerja lebih keras di ladang.
Kekeringan, gagal panen, kelaparan, dirampok, serta kaburnya anggota keluarga. Ketika keadaan sudah di ujung tanduk dan harapan mulai kabur, ibunya, Agnes, membujuk ayahnya untuk mempertimbangkan kembali permintaan William. Akhirnya, ayahnya pun setuju dengan William.
Pembangunan turbin angin pun dibuat, kini tak hanya teman-teman dan keluarganya saja yang membantu, tetapi seluruh warga desa ikut serta dalam pembuatan turbin tersebut. Dengan kerja sama, mereka pun berhasil membuat turbin angin yang dapat memompa air ke ladang pertanian warga serta menyelamatkan seluruh warga desa dari kelaparan.
Film yang berdurasi 1 jam 53 menit ini membawa penonton pada situasi yang dialami oleh tokoh di dalam cerita. Pendalaman tokoh oleh para aktor sehingga karakter yang tertanam kuat dalam film ini mengaduk emosi penonton. Baik itu berupa rasa frustasi yang dialami tokoh maupun rasa bahagia ketika melihat Wlilliam dapat membangun turbin angin yang dapat memompa air bagi seluruh warga desa untuk menyiram tanaman sebagai jalan keluar dari kekeringan yang berkepanjangan di Desa Wimbe, Malawi. Yang menyadarkan kalau keterbatasan bukanlah halangan.
William Kamkwamba kemudian mendapatkan beasiswa untuk menyelesaikan sekolahnya di Malawi, dan mengikuti African Leadership Academy di Afrika Selatan. Dari sana dia menyelesaikan studi lingkungannya di Dartmouth College USA.
“Whatever you want to do, if you do it with all your heart, it will happen.”(William Kamkwamba)[]
Peresensi bernama Marini Koto, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota magang di UKM Pers DETaK.
IKLAN
loading...
|
Editor: Indah Latifa