Beranda Cerpen Ketupat Kenangan

[DETaR] Ketupat Kenangan

Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Nadiatun Mutmainnah | DETaK

Sudah 26 hari berlalu. Ini adalah hari ke-27 aku berjauhan dengan keluargaku. Setiap Ramadhan biasanya aku selalu berada di rumah, tapi tidak untuk Ramadhan kali ini. Dayah yang menjadi tempat naunganku selama 2 tahun ini mengadakan satu agenda tahunan yang diberi nama Gema Ramadhan.

Di sini, kami fokus dalam menghafal Al-Qur’an dan mengaji. Kegiatan sekolah benar-benar diberhentikan selama agenda ini berlangsung karena Gema Ramadhan hanya fokus pada kegiatan pemantapan akhlak dan program Tahfidzul Qur’an. Bosan? Alhamdulillah tidak, karena ini adalah agenda yang sudah dinanti-nanti semenjak awal masuk dayah.

Agenda ini hanya diberlakukan untuk dua angkatan saja yaitu kelas 3 Tsanawiyah dan kelas 3 Aliyah. Angkatan lainnya tidak berada di dayah karena mereka diliburkan selama Ramadhan. Terbayang bukan betapa sepinya di dayah mengingat tidak semua santri berada di sini.

Kami baru selesai melaksanakan salat dhuha. Setelah salat subuh tadi, langsung dibuka pengajian yang dipimpin langsung oleh Direktur Dayah. Dengan auranya yang sangat mencekam membuat satupun di antara kami tidak berani tertidur. Padahal biasanya sebagian dari kami ada yang tertidur jika pemantapan fiqih sedang berlangsung.

Aku bangkit dari duduk lalu mulai melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Sepertinya aku harus membasuh mukaku terlebih dahulu sebelum melanjutkan hafalan. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang begitu saja. Ini hal yang biasa, akan datang godaan di saat kita benar-benar ingin fokus beribadah.

“Shera, anti mau ke hammam?” tanya salah satu kawanku di pondok, Naya namanya. Dia juga satu kamar denganku tapi berbeda ruang.

Sudah kukatakan bukan? Gema Ramadhan hanya fokus pada pemantapan akhlak dan program Tahfidzul Qur’an sehingga kami bebas berbahasa dengan bahasa apa saja. Biasanya, jika berbicara bahasa Indonesia ketika hari-hari biasa maka akan dipastikan kami mendapat hukuman. Apapun itu.

“Iyaa, Nay. Ana mau ke hammam. You want to go together?” tawarku padanya.

“Iya, yuk.” Lalu kami pun berbarengan ke kamar mandi.

Sesampainya di sana, aku langsung berwudhu sedangkan Naya mengatakan ia mau mandi karena belum mandi tadi subuh. Tak banyak santriwati di kamar mandi karena pastinya mereka sudah mulai melanjutkan hafalan atau bahkan menyetor hafalan bersama ustazah pembimbingnya mengingat tinggal dua hari lagi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan Tahfidzul Qur’an ini. Aku ingat, hari ini aku harus menjumpai ustazah pembimbingku karena harus mengambil kartu hafalanku. Sebenarnya aku sudah menyelesaikan target hafalan yang diwajibkan namun aku tetap melanjutkan karena tidak ingin waktuku terbuang sia-sia.

Gema Ramadhan ini dimulai sejak puasa ke-2 dan akan berakhir di puasa ke-29. Tinggal dua hari lagi. Garisbawahi. Aku akan berjumpa dengan orang tuaku dan keluargaku dua hari lagi. Kulangkahkan kakiku menuju ‘Rumoeh Aceh’ tempat di mana biasanya kelompok tahfidzku menyetor hafalan. Aku yakin ustazah sudah ada di sana karena ada sebagian anggota kelompokku yang belum menyelesaikan hafalan.

Karena aku pergi ke kamar mandi ‘Madinah’ otomatis aku melewati ruang makan. Aku melihat salah satu adik kelasku duduk termangu menopang dagu di sana. Apa dia tidak melanjutkan hafalan? Pikirku. Lalu aku bergegas menghampirinya. Masih banyak waktu yang tersisa sebelum aku berjumpa dengan ustazah pembimbing.

“Rahma, what are you doing there?” tanyaku padanya. Dia adalah gadis keturunan Dubai. Bahasa Indonesianya belum terlalu fasih, jika berbicara bahasa Indonesia dengannya maka harus menggunakan bahasa yang baku.

IKLAN
loading...


Biasanya kami bertutur dengannya menggunakan bahasa Inggris karena bahasa Arabnya juga masih pas-pasan. Dia hanya lancar berbahasa Inggris dan yang membuat kami kewalahan, bahasa Inggrisnya berbeda logatnya dengan bahasa Inggris kami. Maklum saja, Dubai-Indonesia adalah dua negara yang berbeda. Tidak jarang Rahma menegur karena logat kami berbeda dengan logatnya bicara. Tapi kami tak ambil pusing, perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi, lagipula hanya berbeda logat saja.

“I am confused, Ukhti. Tadi Rahma ke dapur dan bertemu dengan Wawak dapur. They are discuss about ketupat. Apa itu?” tanyanya padaku dengan muka yang menunjukkan rasa penasaran. Ukhti adalah nama panggilan kepada saudara perempuan yang lebih tua. Karena aku sudah kelas 6 jadi semua adik tingkatku memanggilku ukhti. Terdengar merdu di telinga saat mereka melantunkan panggilan tersebut.

Ukhti kira kenapa kamu bingung. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari beras. Biasanya dia disajikan dengan opor ayam, rendang, gulai dan juga beberapa sayur lainnya.” Aku menjelaskan sepemahamanku tentang ketupat. Lebaran hampir tiba, jadi wajar saja Wawak dapur mulai membahas ketupat. Mereka sama juga dengan kami, pasti merindukan keluarga tercinta.

Ukhti, apa rasa ketupat itu lezat?” Rahma bertanya kepadaku dengan mukanya yang sudah memerah. Cahaya matahari rupanya mulai menembus dinding dapur yang dekat dengan tempat duduk kami. Aku juga melihat beberapa santriwati lainnya berjalan menuju kamar mandi. Sepertinya ada yang sudah menyelesaikan setoran. Aku harus buru-buru menjelaskan kepada Rahma, sebelum dia termenung kembali karena rasa penasaran itu.

“Eum, Ukhti pikir rasanya lezat sekali, Rahma. Karena jika Lebaran sudah tiba, orang berlomba-lomba membuat ketupat di rumahnya. Sudah menjadi semacam tradisi. Rasanya kurang lengkap Lebaran jika belum ada ketupat,” tuturku berdasarkan fakta yang aku lihat di keluargaku. Setiap Lebaran, umi pasti menyempatkan waktu untuk membuat ketupat dan aneka makanan lainnya. Sepertinya di keluarga Rahma tidak ada yang membuat ketupat. Kalau ada dia tidak mungkin bingung seperti tadi.

“Rahma mau tahu rasa ketupat tapi mommy dan daddy Rahma tidak pernah membuatnya.” Sudah kuduga. Keluarga Rahma tidak ada yang membuat ketupat. Sepertinya aku harus mengenalkan ketupat pada Rahma agar dia tidak bersedih lagi.

“Bagaimana kalau siap libur Lebaran Ukhti bawa ketupat buat Rahma?” Entah dari mana datangnya ide tersebut, aku langsung menawarkannya kepada Rahma. Kulihat ekspresi senangnya. Sepertinya dia setuju.

Thanks, Ukhti. Rahma senang sekali. Apakah ini benar?” Rahma memastikan sekali lagi. Mungkin dia berpikir aku hanya bercanda.

“Benar Rahma. Nanti Ukhti suruh bekalin sama umi waktu balik ke dayah. Dan kita akan makan ketupat bersama. Bagaimana?” Aku menawarkan kepada Rahma dan kulihat dia sangat antusias. Aku harus bercerita kepada umi agar tidak lupa membekali aku dengan ketupat pesanan Rahma.

“Rahma setuju. Terimakasih, Ukhti. Rahma tidak bingung lagi dengan ketupat.” Raut wajahnya mulai memancarkan kebahagiaan. Hanya karena ketupat. Lihatlah, Rahma berbahagia karena ketupat.

“Kalau begitu, Ukhti mau jumpa ustazah dulu, ya. Rahma lanjut setoran juga karena dua hari lagi kita akan pulang. Ingat, ya, selepas libur Lebaran kita akan makan ketupat bersama.”

Aku mengingatkan kepada Rahma sebelum menghilang di balik bangunan tersebut. Sempat kulihat Rahma mengangguk dan tersenyum lembut. Lalu bergegas kulangkahkan kakiku menuju rumoeh Aceh. Aku yakin kartu hafalanku sudah ditandangani oleh ustazah pembimbingku.

5 hari setelah lebaran

Hari ini aku kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Libur telah usai dan sekarang waktunya aku kembali ke dayah. Tidak lupa, aku sudah mengatakan kepada umi agar dibekali Ketupat. Ahh, mengingat ketupat aku jadi tidak sabar berjumpa dengan Rahma. Umi sangat excited ketika aku bercerita tentang Rahma. Umi mengatakan bahwa Rahma harus mengenal ketupat karena makanan ini salah satu makanan khas Asia Tenggara.

“Kak, sudah siap kan? Ayok kita berangkat. Ayah sudah menunggu.” Suara umi terdengar di depan kamarku. Aku bergegas merapikan kerudungku lalu bergegas menghampiri umi dan ayah sambil menenteng beberapa buku yang harus kubawa ke dayah.

“Sudah, Mi. ketupat sudah juga kan?” Aku memastikan agar umi tidak lupa membawa ketupat. Rahma pasti bahagia, begitu pikirku.

Setelah semuanya lengkap kami segera berangkat. Sore hari ini aku hanya diantar ayah dan umi karena saudara yang lainnya sibuk dengan jadwal mereka. Tak apa, aku mengerti dan tidak ambil pusing. Lagipula aku bukan anak Tsanawiyah lagi yang merengek-rengek jika keluarganya tidak datang dengan lengkap.

30 menit berlalu. Tak terasa kini aku sudah berada di depan gerbang dayahku. Kulihat banyak orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Macet lagi. Beginilah rutinitas jika habis libur Lebaran. Orang-orang berbondong mengantar saudaranya balik ke dayah. Alhasil macet sudah menjadi hal yang biasa. Tapi tenang saja, biasanya pihak dayah sudah mengutus polisi dan juga satpam dayah untuk mengontrol.

Kini aku sudah berada di dalam kamarku. Ditinggal selama seminggu membuat kamar ini semakin berdebu. Umi dan ayah sudah pulang duluan, mereka tidak bisa lama-lama karena harus menyelesaikan banyak kegiatan lainnya. Aku pun sudah terbiasa, toh nanti juga bakal datang lagi. Kulihat ada beberapa tas yang sudah tersusun rapi di depan lemari, pasti kawan asistenku sudah sampai juga.

Kamar ini diisi oleh 40 orang adik tingkatku di Tsanawiyah. Lalu ada satu ustazah wali kamar, ustazah Oya kami memanggilnya. Lalu ada dua pojok yang dipasang tirai dan dijadikan kamar asisten. Pojok kanan diisi oleh dua orang asisten begitu juga dengan pojok kiri, jadi totalnya ada 4 asisten untuk kamar ini. Aku sekamar dengan Fira, sedangkan Naya sekamar dengan Thary. Sepertinya orang tua mereka masih di sini, itulah sebabnya tas mereka masih tergeletak begitu saja di depan almari.

Aku mengambil sapu lalu mulai menyapu lantai yang berdebu. Kamar asisten tidak terlalu luas jadi hanya membutuhkan waktu lima menit pekerjaan ini kuselesaikan dengan begitu cepat. Kurapikan baju-baju yang ada di dalam tas, aku mengeluarkan makanan yang dikemas oleh umi tadi. Aku menyimpan di dalam box khusus makanan. Ahh aku kembali teringat ketupat. Sepertinya sebentar lagi aku harus berjumpa dengan Rahma. Aku menyisihkan ketupat untukku dan kawanku lalu menyusun ketupat yang akan kuberikan untuk Rahma. Aku tersenyum sembari memandang tupperware yang berisi ketupat dan sayur pelengkapnya.

“Ila aina, Ukhti?” (Mau kemana Kakak?)

Tanya salah satu adik kamarku ketika melihatku keluar dari kamar asisten. Mereka sedang duduk di dekat pintu masuk kamarku, sepertinya sedang bercerita. Maklum saja, liburan baru saja usai dan cerita harus segera diperdengarkan kepada kawan.

“I wanna meet Rahma sist, did you see Rahma earlier?“ (Saya ingin berjumpa Rahma, apakah kalian melihat Rahma tadi?) Aku bertanya kepada mereka karena biasa Rahma sering bercerita dengan mereka di depan kamar kami. Jadi sudah tidak asing lagi jika Rahma sering datang ke kamar kami.

Ukhti Shera tidak tau ya? Rahma kan sudah pindah,” tutur salah satu adik tingkatku, Raisa.

Deg.

“Pindah?” Aku kembali memastikan perkataan adik kamarku. Mungkin pendengaranku salah atau lain sebagainya. Tidak mungkin kan Rahma pindah. Kenapa dia pindah? Apa gerangan? Dia tidak pernah bercerita apapun.

“Iya, Ukhti. Barusan ana jumpa sama Rahma di depan bersama orang tua dan Abang Rahma yang di seberang, Akhon Ary. Ana dengar percakapan mereka, katanya Rahma pindah.” Adik kamarku yang bernama Gebi menjelaskan kronologi pindahnya Rahma kepadaku. Dia bilang Rahma sakit sehingga tidak memungkinkan dia mondok lagi.

Iya, aku tau Rahma sakit, dia sering mengeluh kepadaku. Rahma sering bercerita tentang keluarganya bahkan dia sering curhat tentang akhon-nya yang di seberang, di kampus putra. Dari semua cerita hanya tentang ini yang belum diceritakan. Dia pindah, tapi ahh sudahlah aku sulit berkata-kata. Aku berekspektasi Rahma akan bahagia melihatku membawa ketupat tapi nyatanya ekpektasi yang begitu menyedihkan. Rahma pindah.

Syukran, ya, sist atas informasinya.”

Aku kemudian berbalik menuju kamarku. Ketupat yang berada di tanganku kupandangi lekat-lekat. Rahma pindah. Kata-kata itu kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Lalu aku melihat ada orang yang berlari menuju kamarku.

“Shera, ini ada titipan surat dari Rahma, tadi pas dia di dayah anti belum sampai.” Ternyata yang datang adalah Fira, dia membawa surat Rahma yang ditulis untukku.

“Jangan sedih, ya, ini yang terbaik untuk Rahma. Baca suratnya dan Rahma bilang dia butuh balasan. Nanti dia akan ke sini lagi jika dia mengunjungi akhon-nya di seberang.” Fira melihat raut wajahku yang mulai sedih. Dia tau, Rahma sangat dekat denganku. Itulah sebabnya dia mengerti betapa aku sedih jika harus berpisah dengan Rahma.

Thanks, ya, Fir.” Seketika mendadak aku badmood. Hanya karena Rahma pindah.

Aku membuka surat dari Rahma, kulihat Fira mulai membereskan perlengkapan yang dibawanya. Masih ada waktu sebelum waktu magrib tiba. Kutelusuri satu per satu kalimat yang ditulis Rahma, bait per bait kuresapi maknanya. Dia menulis dalam bahasa Indonesia, aku membayangkan dia pasti kesusahan. Di akhir kalimat, dia menulis satu kalimat yang membuatku tersenyum cerah. Fira yang sedang melipat bajunya terheran-heran melihatku, sepertinya dia juga penasaran dengan isi surat dari Rahma.

Jangan sedih ukhti, walaupun ketupat ini tidak sempat Rahma makan tapi Rahma akan selalu mengingatnya, biarlah ini menjadi ketupat kenangan.”

Aku menutup surat dari Rahma dan menyimpan di dalam box khusus. Aku melihat Fira mulai membuka isi tupperware tadi. Ketupat kenangan akan tetap dikenang tapi untuk saat ini aku harus segera memakan ketupatnya bukan?[]

#30HariBercerita