DETaK | Opini
Aceh adalah kopi. Kopi adalah Aceh.
Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Aceh. Bukan dari sisi penampilan, namun keterikatanlah yang membuat Aceh menyatu dengan kopi.
Bicara tentang keterikatan kopi dan Aceh, maka yang paling berpengaruh adalah warung kopi. Warung kopi telah menjadi rumah kedua bagi masyarakat Aceh. Mulai dari yang muda, sampai tua, lelaki dan perempuan.
Bagi sebagian orang, meski kopi dapat diracik sendiri, tak lengkap rasanya bila belum dinikmati di warung kopi. Baik sekedar menyeruput kopi hangat, melepas penat, atau menikmati kebersamaan bersama sahabat. Maka jangan heran, kalau ke Aceh anda akan disuguhkan pemandangan yang belum tentu anda temukan di daerah lain. Warung kopi dapat dapat ditemukan di mana-mana, berjejer rapi di sepanjang jalan.
Menjamurnya warung kopi di Aceh, telah membawa perubahan luar biasa terhadap dunia usaha satu ini. Perubahan ini terus begerak maju, terutama sejak tsunami melanda Aceh. Aceh yang dulunya tertutup dan cenderung “ditakuti” karena konflik, kini dapat dengan mudah diakses oleh dunia, terlebih setelah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, perkembangan teknologi juga menjadi salah satu faktornya.
Masyarakat Aceh telah memanfaatkan warung kopi sebagai tempat untuk bertukar berbagai informasi sejak dulu. Berbagai macam pembahasan bisa kita temukan di warung kopi. Mulai dari hal remeh-temeh, sampai hal-hal serius (ekonomi, politik, agama, bahkan isu mancanegara).
Muncul ungkapan, “kalau anda ingin mengenal orang Aceh, duduklah di warung kopi.” Warung kopi benar-benar dimanfaatkan sebagai media pemersatu dan penyelesaian persoalan bagi masyarakat Aceh, termasuk membangun khayalan. Di Aceh, semua bisa berawal dari secangkir kopi.
Namun, kondisi kini sudah jauh berbeda. Warung kopi yang dulunya asing bagi kaum hawa, kini sudah menjadi hal biasa. Dulunya hanya diisi kaum tua, kini sudah tak pandang usia. Tak hanya itu, perubahan juga terjadi pada bentuk warung, pelayanan, termasuk harga yang ditawarkan. Jika dulu bangunan seadanya dengan atap daun rumbia, kini layaknya cafetaria.
Walaupun demikian, perbedaan mendasar dan sangat mencolok adalah dari segi pelayanan dan fasilitas yang ditawarkan. Hampir semua warung kopi di Aceh saat ini, tidak hanya mengutamakan cita rasa kopi, tapi juga berfokus pada penyediaan fasilitas yang membuat pelanggan betah berlama-lama disana. Salah satunya internet.
Internet bukanlah satu hal aneh bagi masyarakat saat ini, termasuk perangkat penunjangnya. Akan tetapi, di sinilah letak persoalan sebenarnya. Warung kopi yang kian menjamur menyajikan berbagai nuansa untuk menarik dan mengikat pelanggannya, mulai dengan tampilan sederhana sampai elit dengan tambahan fasilitas seperti karaoke room dan live concert.
Sekarang, duduk di warung kopi cukup dengan bermodalkan laptop dan berbagai gadget, kita bisa menikmati secangkir kopi sambil berkeliling dunia. Seiring perkembangan teknologi informasi pula, kadang ketika duduk di warung kopi perhatian lebih tertuju kepada gadget masing-masing. Banyak yang lebih memilih berkomunikasi dengan mereka yang jauh dibandingkan rekan-rekan berada semeja. Setiap orang sibuk dengan dunia sendiri padahal berada di tempat yang sama.
Bukan hanya itu, warung kopi dengan berbagai fasilitas seperti Wi-Fi (Wireless Fidelity) dan LCD TV (Liquid Crystal Display Television) membuat peminat warung kopi semakin betah berlama-lama di warung kopi. Walaupun, masih terdapat beberapa warung kopi yang mempertahankan keaslian warung kopi Aceh yang mengutamakan kebersamaan tanpa fasilitas Wi-Fi.
Saat ini, perubahan orientasi warung kopi yang didasari perkembangan teknologi informasi telah memberikan kemudahan bagi para mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, selain menghemat isi dompet. Warung kopi lebih nyaman untuk digunakan secara berkelompok ketika menyelesaikan tugas. Warung kopi juga membuat pengunjungnya lebih terbuka terhadap dunia luar dan dengan mudah mendapatkan informasi hanya dengan bermodal secangkir kopi.
Dulu dan sekarang, warung kopi menjadi bagian penting bagi masyarakat Aceh. Bedanya, dulu warung kopi menjadi wadah untuk berkumpul, berdiskusi, dan membicarakan tentang berbagai topik, yang mencerminkan ciri khas masyarakat Aceh, yaitu musyawarah, meskipun tekadang warung kopi hanya untuk mengisi waktu luang dan bertukar informasi.
Setiap orang yang datang dan duduk di warung kopi, sangat menikmati kebersamaan dengan rekan-rekannya. Walau warung kopi tempo dulu tampil sederhana dan beratap rumbia, namun mampu mengikat masyarakatnya dengan mengutamakan kebersamaan, sensasi menyeruput kopi di warung menjadi tradisi tersendiri.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, warung kopi diharapkan tetap menjadi wadah diskusi dan membentuk kebersamaan pengisinya tanpa mengesampingkan semua fasilitas yang ada. Pun demikian, hal tersebut bergantung pada kebijaksanaan pengguna warung kopi. Dunia boleh maju, namun kita dan tradisi tetap bersatu.
Hendaknya kita menjaga apa yang telah diwaris oleh endatu (nenek moyang) kita. Kebersamaan tetap nomor satu. Zaman memang menuntut kita untuk menguasai teknologi, namun bukan berarti nilai-nilai budaya bisa dibiarkan tergusur begitu saja. Mari kita perkuat kembali nilai kebersamaan, jangan biarkan teknologi menjarakkan kita yang dekat. Semua berawal dari warung kopi.[]
*Penulis bernama Desi Melati. Ia merupakan mahasiswi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Unsyiah. Saat ini ia menjadi dokter muda di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Aceh.
Editor: Mohammad Adzannie Bessania