Opini | DETaK
Beberapa hari ini dan ke depan, Indonesia akan semakin panas. Mulai dari isu korona, resesi ekonomi, pendidikan, kesenjangan kesejahteraan, dan sekarang iklim politik yang tidak stabil. Jika kita melihat dari sudut pandang global, keseluruhan persoalan ini seperti tindakan yang masif, dan terstruktur. Jika kita ibaratkan dalam ranah sastra, seperti alur sastra yang sempurna. Diawali oleh introduksi (pencuatan isu), eksposisi (perkenalan terhadap isu), klimaks/konflik, peleraian (hasil/atau buah dari isu tersebut), penyelesaian (akhir daripada cerita).
Dalam hal ini, kita akan memandang kegawatan Indonesia melalui paradigma sastra, yang kadang-kadang di-anaktirikan. Seakan ilmu sastra tidak bisa menawarkan penyelesaian dan jalan keluar yang harmonis dan dinamis. Pemikiran kuno itu, diperkuat lagi oleh ilmu-ilmu yang usang yang tidak memiliki landasan berpikir yang estetis dan estetika. Cuma mengedepankan data, landasan hukum, dan sedikit kata kemanusiaan. Hal ini yang kadang-kadang membuat ilmu sastra semakin hari semakin tertinggal dan dijauhkan oleh segelintir orang. Akibat anggapan bahwa ilmu sastra hanya ilmu retorika, yang mencakup puisi (bait-bait kata yang tabu di kala galau), dan cerpen yang tak berbobot (dibaca di kala sedih dan tiada kegiatan), serta novel yang tebal (yang membosankan jika dibaca).
IKLAN
loading...
|
Saya ingin memberikan sarkasme kepada mereka yang memandang rendah sastra. Jika sastra ataupun karya sastra dahulunya hanya imajinasi belaka yang tidak memiliki efek sosial yang nyata (secara langsung). Tapi, pada tahapan ini, di era 4.0 dan memasuki fase 5.0, sastra tidak lagi kita pandang sebagai produk yang fiktif tapi sebagai perwujudan yang nyata dan kompleks. Anda pasti akan bertanya, bagaimana sastra bisa dijadikan objek ilmu nyata, karena kandungan sastra itu sendiri adalah ilusi. Maka saya akan menjawab dengan istilah konotasi. Dahulunya anda pun adalah ilusi, yang mungkin ada dan tiada. Jika dahulu sastra adalah sistem lambang seni yang memediumkan bahasa sebagai objeknya, sekarang mari kita lihat sastra dari medium/instrumen lingkungan nyata.
Dalam hal ini saya akan menganalogikan isu terhangat sebagai acuan baru. Yaitu pemerintah, dan produk gagalnya (R)UU Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan Omnibus Law. Dengan beberapa pendekatan yang elegan dan sesuai konsep dasar sastra. Baik itu dari segi teori, kritik, dan sejarah. Pemerintah dan produknya merupakan unsur yang sangat kompleks dan sempurna dalam pandangan sastra yang sedang dibahas. Unsur-unsurnya pun sangat lengkap. Baik dari unsur intrinsik sastra itu sendiri, maupun unsur ekstrinsik sastra. Pemerintah dan produknya, bisa dikatakan regenerasi sastra atau objek sastra yang sangat estetis dan estetika dan new object, mengandung nilai filosofi yang tinggi, dan peminat yang sangat banyak. Coba kita bayangkan jika ada produk sastra yang melibatkan objek yang nyata. Mulai dari tindakan, pencapaian, sebab akibat, dan penyelesaian yang sempurna.
Pemerintah dan produk gagalnya bisa dikatakan sebagai acuan yang sempurna dalam membuat dekonstruksi baru dalam dunia sastra. Kita tidak bisa memungkiri, bahwasannya eksistensi sastra di era ini hampir memudar. Bahkan di lembaga pendidikan sendiri wujud sastra itu hampir punah. Bahkan ada yang berangapan sastra itu hanya gumpalan kata-kata yang tidak berguna, dan lebih parahnya lagi, banyak orang yang sok sastrawan, pakar sastra, yang membuat produk sastra tanpa mengetahui prinsip ilmu sastra. Ia hanya mengetahui sastra dari cerpen, puisi, novel dan beberapa peninggalan sejarah kuno. Bahkan banyak produk sastra yang keluar dari fungsi sastra itu sendiri.
Untuk itu, mari kita lihat bagaimana sastra menawarkan solusi dan memberikan kritik yang estetis dalam masalah ini. Pertama, RUU Cipta Kerja sebagai produk yang dihasilkan oleh pemerintah, ibarat karya sastra yang dihasilkan oleh penulis. Jika penulis menghasilkan karya sastra yang berbobot dan mengandung nilai-nilai kemanusian yang tinggi, sebaliknya pemerintah membuat produk yang memiliki kadar komposisi yang tidak berbobot, dan tidak manusiawi, ia hanya mementingkan kepentingan yang hampir sama dengan pengarang/penulis dalam karya sastra yang membuat karya sastra nampak begitu indah untuk menghipnotis para pembacanya. Di sini terdapat kesamaan antara sastra dan pemerintah dalam menghasilkan sebuah produk. Dari komposisi yang ditawarkan, dan kerumitan penulisan/alur cerita yang dibuat, dan cara menarik massa untuk membuat kekacauan demi keuntungan yang lebih besar. Segala kekacauan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan kepentingan semata, tapi dibalut dengan kata-kata yang indah agar tidak terlalu rumit dan terlihat harmonis. Dengan dalih pro rakyat tapi membuat kebijakan pro perutnya sendiri.
Kedua, unsur-unsur karya sastra memiliki beberapa komponen. Katakanlah seperti tema, alur, tokoh, genre, amanat, dsb. Jika karya sastra sangat kompleks dalam unsur-unsurnya dan memiliki makna konotasi, khazanah bahasa yang indah, serta penggunaan bahasa yang tidak lazim. Demikian pula pemerintah dalam menciptakan karya sastra berdasarkan sudut pandang, rekam jejak, serta kultur dari masing-masing kepentingan. UU Cipta Kerja menjawab semua elemen sastra tersebut. Seperti penetapan alur “UU Cipta Kerja sebagai Pendokrak Investasi di Indonesia” yang merupakan kata plesetan belaka. Alur ceritanya pun semerawut dan memiliki tempo yang lama, bahkan dalam jangankauan masa. Isu UU Cipta Kerja sudah tersohor sejak akhir 2019 yang saat itu masih berstatus RUU. Namun, karena beberapa hal, penulisan/pengarang terhadap karya sastra ini terhambat, dan sekarang memasuki fase konflik yang tidak berderet sebagaimana mestinya. Kebodohan dalam penentuan alur ini merupakan citra buruk dan kedunguan yang nyata dari produk pemerintah ini sendiri.
Ketiga, Pihak pemerintah tidak paham dan mengerti bagaimana cara menuangkan ide agar tidak terlihat kesalahannya. Di saat kita membaca atau mendengar bait-bait puisi, pasti timbul rasa kagum, sedih, dan rasa emosional lainnya yang menyentuh dan dapat menggerakkan hati kita ke hal yang lebih baik. Akan tetapi, pemerintah sebaliknya, mereka tidak paham menuangkan ide dan rasa ke dalam karyanya sendiri. Bahkan semua produk/karya para politisi cenderung memperburuk citranya sendiri, bahkan ada yang membinasakan dirinya sendiri. Dalam kajian sastra, hal ini sangat memalukan. Karena sudah keluar dari fungsi sastra. Tapi ada satu fungsi sastra yang masuk ke ranah percaturan ini, yaitu fungsi hiburan. Ya, politisi dalam hal ini menghibur masyarakat dengan tingkah bodoh, dan krisis kejujuran dan rasa kemanusiaan. Keindahan kata-kata juga menjadi faktor peningkatan fungsi hiburan ini.
Keempat, lakon yang dipertontonkan oleh para elit juga cenderung dramatis, yang mencuat rasa bosan kepada penonton. Kita bisa melihat, lakon yang dipertontonkan selalu mengangkat tema yang bisa kita tebak dan alur cerita yang begitu-begitu saja. Chemistry yang terkandung pun mudah untuk ditebak. Tiada hal istimewa, kecuali hal-hal yang membosankan, bahkan hal di luar kewajaran. Para pemerannya pun tergolong masih amatir, karena adegan-adegan yang diperagakan masih labil dan kaku. Sutradara, penulis naskah, dan produser pun ikut kena imbas, atau malah menjadi pokok permasalahan. Mereka tidak bisa mengatur atau memposisikan para pemerannya untuk berlakon sesuai kebutuhan masyarakat, rakyat, dan lembaga masyarakat. Sehingga segala kecurigaan dan intinya mudah untuk ditebak serta dikiritik. Berbeda dengan aktor profesional, katakanlah seperti para pemain film di Korea Selatan yang sutradara dan produsernya sudah berada di kelas kakap dan mempuni dalam bidangnya.
Terakhir, puncak keistimewaan dan klimaksnya adalah objek karya sastra yang nyata terdapat pada pergerakan dan sistem yang dikembangkan. Kita mengetahui, tahun lalu pemerintah juga membuat UU yang nyeleneh, yaitu tentang ayam masuk pekarangan rumah. Binatang, makhluk yang tidak mempunyai akal dan pikiran dicekal, dipaksa untuk menuruti kemauan manusia. Coba anda bayangkan, siapa yang gila? Manusia sebagai makhluk yang berakal atau binatang makhluk yang tidak berakal? Kalau boleh jujur, kedua-duanya tidak memiliki akal.
Dalam keterangan di atas, kita dapat poin penting tetang ‘akal’. Akal adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan YME kepada manusia. Namun, manusia itu sendiri menggunakan tidak sebagaimana fungsi awalnya diciptakan. Jadi, di sinilah letak objek sastra yang nyata itu, nyata akan kebodohannya, nyata akan kedunguan. RUU Cipta Kerja, yang mengekang para buruh secara khusus, dan masyarakat secara umum, merupakan produk bodoh para pemimpin, penguasa, dan pejabat. Mereka mengetahui bahwa UU Cipta Kerja merupakan perwujudan dari tirani, oligarki, kepentingan segelintir pihak, di mana aspirasi masyarakat diabaikan mentah-mentah. Tapi, mereka tetap mengesahkan dengan dalih-dalih kebaikan.
Begitu nyata kebodohan para penguasa, bahkan karya sastra sendiri tidak bisa menangkap wujud ilusi tersebut. Sastra yang terkenal akan ilusi, emosianal, estetis, estetika, dan unsur-unsur kejiwaan ditaklukkan oleh para pemerintah sebagai pucak perwujudan sastra yang sewenang-wenang yang keluar dari konteks manusia sebagai makhluk yang diistimewakan Tuhan. Sebaliknya, mereka merendahkan dan menghambakan diri pada ilusi/nafsu yang mencelakakan dirinya sendiri. Demikianlah dekontruksi sastra yang indah dan kritikan yang estetis. Keseluruhanya merupakan konsep atas kehancuran dirinya sendiri.
Muhammad Iqbal Fahimy, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah angkatan 2018.