Opini | DETaK
Berbicara tentang mahasiswa tentu identik dengan keintelektualan, mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa merupakan refleksi daripada segelintir kaum intelektual yang memegang tanggung jawab terhadap kampus, masyarakat dan negara. Mahasiswa sebagai pewaris ilmu (regenerasi) intelektual di masa akan datang. Amanah ini harus disadari oleh mahasiswa, sebab kualitas bangsa akan ditentukan oleh mahasiswa yang ditelurkan oleh kampus atau perguruan tinggi tempat mereka ditempa.
Kata intelektual sendiri memiliki beragam definisi, sederhananya intelektual adalah kaum terpelajar yang berilmu serta bertindak adil dalam pikiran dan perbuatannya. Berawal dari peristiwa Dreyfus dianggap juga sebagai referensi (otoritas) politik dan sejarah pemikiran di Prancis atas istilah “Les Intellectuels”. Sebab, untuk pertama kalinya kata tersebut digunakan sebagai sebutan dalam suatu deklarasi Manifeste des Intellectuel (Manifesto Para Intelektual).
IKLAN
loading...
|
Pada saat itu Dreyfus dituduh sebagai pengkhianat karena membocorkan rahasia militer dan dijebloskan ke sel. Akhirnya seseorang yang bernama Emile Zola melihat itu sebagai propaganda dan manipulasi militer sehingga ia membuktikan bahwa Dreyfus tak bersalah, meskipun kala itu terbelah menjadi 2 kubu antara pendukung Dreyfus dan kubu anti-Dreyfus, syahdan akhirnya ia dianggap sebagai seorang intelektual karena upayanya dalam membuktikan kezaliman militer tersebut.
Budaya intelektual kampus terlihat dengan kebiasaan berdiskusi dengan referensi buku dan diotentikan dengan eksistensi organisasi yang concern akan budaya literasi dan pengembangan pola tingkah serta pola laku. Pembentukan karakter intelektual cenderung terdapat dalam beberapa organisasi yang menjunjung tinggi diskusi yang berunsurkan literasi serta mampu memberikan konsep serta jalan pikir terhadap martabat mahasiswa sebagai poros intelektual masyarakat dan membudayakan kebebasan individu dalam berpikir dan bertindak.
Akan menjadi sebuah paradoks ketika bentuk keintelektualan mahasiswa tidak membumi, dan keidentikan mahasiswa dengan kata intelektual seakan pudar karena mengedepankan otot dibandingkan akal sehat, hal ini tentunya menjadi indikator akan terdegradasinya intelektual mahasiswa. Tradisi berdiskusi tanpa referensi di warung kopi hanyalah wacana semu belaka atas bangkitnya gerakan mahasiswa. Juga tidak hanya cukup membaca buku semata namun juga mampu membaca realitas sosial dan memetakan peradaban.
Meminjam istilahnya Antonio Gramsci, seorang filsuf asal Italia, tentang intelektual organik. Bahwa kewajiban kaum terdidik dalam hal ini tidak hanya dalam ranah akademiknya, namun juga aktualisasinya kepada masyarakat sekitar. Bagi Gramsci, intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekadar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240).
Mahasiswa yang menjadi bagian dalam kaum intelektual haruslah berperan aktif dan ikut andil melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Intelektual sebagai golongan terpelajar yang bukan sekolahan atau bukan drop outs, yang peranannya tidak mesti berkaitan dengan ilmu yang dipelajari sesuai disiplin ilmunya saja, tetapi yang lebih penting adalah mereka yang berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris atau liberatif, berpola pikir yang hermeneutis, dan kerap kali bersifat politis, meskipun belum tentu seorang politisi, berbahagialah mereka yang merasa dirinya bebas namun tetap dalam koridor batas sewajarnya.
Mazhab Hamok
Hamok adalah sebuah istilah dalam bahasa Aceh yang berkonotasi negatif yang kira-kira bermakna “hantam”. Membaca pola tingkah mahasiswa yang kiranya bermazhab hamok sudah lama dilakukan, mulai dari zaman orde lama sampai dengan reformasi saat ini. Mazhab hamok yang tanpa sadar dianut oleh sebagian mahasiswa membuat citra mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi buruk. Tentunya hal tersebut akan mencipatkan mahasiswa yang terkikis pikirannya dan tanpa pikir panjang melakukan baku hantam dalam menghadapi persoalan kecil sekalipun.
Biasanya mahasiswa yang menganut mazhab ini cenderung tidak berani beradu argumen “1 by 1”, namun acap mengumpulkan massa dalam menghadapi apapun. Terkesan seakan akan gagah, namun jika digali lebih dalam ternyata cenderung tak memiliki kapasitas yang cukup. Meminjam istilah Soekarno: “Bebek jalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”. Itulah sejatinya seorang fighter yang berani dan tak takut menjadi martir perjuangan. Penganut mazhab hamok cenderung menciptakan mentalitas “follower” yang para pengikutnya akan senantiasa mengangguk; enggeh (dalam bahasa jawa). Di sisi lain mazhab hamok turut pula menghasilkan mahasiswa produk otoritarian dan bebek-bebek yang siap diarahkan.
Apapun persoalannya, mazhab hamok tak sepatutnya dipertahankan. Dalam mazhab hamok sendiri memiliki cara pandang “hantam saja dulu, urusan benar atau salahnya adalah urusan ke-99 ”. Mazhab seperti ini menciptakan orientasi yang salah bagi mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan sebagai intelektual organik, dan pada akhirnya hanya mencetak mentalitas kurang baik.
Pada akhirnya faksi otot menyingkirkan faksi otak di kalangan mahasiswa, indikator ini yang membuat matinya intelektual kampus. Di sebagian tempat faksi otot cenderung mengandalkan massa namun mengabaikan isi kepala, inilah cerminan dari mahasiswa yang akan merefleksikan intelektual yang terdegradasi. Nilai-nilai fitrah mahasiswa seakan bias dari hakikat penyandang gelar Maha tersebut.
Di masa ini, mazhab hamok tetap bertahan dan untuk selanjutnya tradisi “hamok” akan terus lestari apabila mahasiswa tidak menyadari akan gelar “Maha”-nya, serta tidak paham akan fungsi dan perannya sebagai intelektual organik. Apabila mahasiswa mengukir tinta kelam akan tindakannya, maka keniscayaan mahasiswa sebagai intelektual adalah hal yang semu, kendati demikian tetap juga ada mahasiswa yang mengafirmasi secara tidak langsung terhadap mazhab hamok ini seakan sebagai tindakan heroik, padahal pemahaman semacam ini mencederai nilai-nilai kemahasiswaan itu sendiri.
Oleh karena itu, citra yang harus ditonjolkan mahasiswa yaitu sosok yang arif, berilmu, bersifat inklusif, serta dinamis dalam tindakan, dan yang terakhir adalah merdeka dari belenggu senior dan tidak salah kaprah menganggap dirinya atau kaumnya sebagai sebuah refleksi “superiority complex”. Hal semacam ini membuat mahasiswa menganggap diri atau golongannya terlalu hebat dibandingan dengan golongan yang lain. Dan pada akhirnya regenerasi intelektual harus dikonkritkan dengan tindakan-tindakan nyata dalam kehidupan mahasiswa.
Penulis adalah T. Muhammad Shandoya, ia merupakan mahasiswa Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK).
Editor: Della Novia Sandra