Beranda Opini Epistimologi Pemerintahan dalam Kebijakan Publik untuk Mewujudkan Good Governance

Epistimologi Pemerintahan dalam Kebijakan Publik untuk Mewujudkan Good Governance

Ist.

Opini | DETaK

Epistimologi pemerintahan, dewasa ini kita mengetahui bahwa di dalam sebuah pemerintahan banyak hal yang masuk ke dalamnya mulai dari hukum, politik, hingga filsafat, salah satunya adalah epistimologi. Jadi sebenarnya apakah epistimologi pemerintahan itu? Apa hubungannya dengan kebijakan publik dan kaitan keduanya dengan good governance?

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hubungan antara epistimologi dan kebijakan publik serta good governace, alangkah lebih baik jika kita mengetahui pengertian dari keduanya terlebih dahulu.

Menurut Dagobert D. Runes, epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, struktur sosial pengetahuan, dan metode-metode, serta validasi pengetahuan. Sedangkan menurut Jujun S. Sumantri, epistemologi adalah cara berpikir manusia dalam menentukan dan mendapatkan ilmu dengan menggunakan berbagai kemampuan yang tertanam dalam diri seorang seperti kemampuan rasio, indera, dan intuisi.

Apabila ditinjau secara bahasa, epistimologi berasal dari kata Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Epistimologi bisa didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang asal mula atau sumber, metode dan sahnya pengetahuan. Mengkaji ilmu pemerintahan secara epistemologi dapat dilakukan melalui perkembangan ilmu pemerintahan itu sendiri. Ilmu pemerintahan seringkali dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang baru.

Kemudian apa itu good governance? Good governance adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, mensyaratkan diberlakukannya unsur-unsur tata laksana yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan mereka berikan.

Sementara lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Di samping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik

Jadi di sini kita dapat melihat hubungan epistemologi dalam kebijakan publik yang dimuat oleh jurnal berjudul Epistimologi dalam Kebijakan Publik : Melalui Kajian Konsep Smart City Di Indonesia. Smart city merupakan salah satu produk kebijakan publik yang dilaksanakan oleh suatu kota atau suatu negara sehingga dapat diletakan dalam wilayah social sciences. Secara konseptual, beragam ide dan gagasan smart city yang telah dikembangkan di dunia memiliki struktur epistemologis yang mempengaruhi bangunan aplikatifnya.

Sebagai kebijakan publik, kajian ini menggunakan perspektif kebijakan Laswell & Kaplan serta Pressman & Widavsky untuk membedah struktur episteme smart city. Dalam kajian ini dianalisis beragam konsep smart city seluruh dunia yang mengurai struktur, unsur epistemologisnya, dengan mengambil contoh aplikasi kebijakan konsep smart city di Indonesia. Salah satu dilema dalam aplikasi teknologis berkaitan dengan status ontologis kedaulatan rakyat dan kuasa teknologis dalam pengambilan kebijakan publik di daerah yang menerapkan smart city. Hasilnya, terdapat struktur epistemik konsep smart city yang dominan positivistik dengan terlalu berfokus pada teknologi yang mengarah pada formula panopticon digital sehingga berpotensi muncul kekuasaan baru berupa politik proxy dan ekonomik proxy.

Dalam hal ini sudah tergambar jelas bagaimana epistimologi dan kebijakan publik bekerja sama dalam pembangunan smart city tersebut karena menjadi sumber ilmu baru baik bagi epistimologi dan juga kebijakan publik itu sendiri. Tentunya untuk menemukan titik tengah yang diharapkan semua orang yaitu good governace di dalam suatu pemerintahan yang diwujudkan dengan sebaik-baiknya melalui berbagai sumber yang di sini dicontohkan dengan epistimologi dalam kebijakan publik yang serta merta untuk mewujudkan kebijakan publik yang baik dan berakhir dengan terciptanya good governace. Hal tersebut juga harus berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ada dan dapat diimplementasikan sebaik mungkin untuk kebaikan seluruh masyarakat.

Penulis bernama Mutiara Amanda, mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala angkatan 2019.

Editor: Indah Latifa