DETaK | Darussalam – 38 persen biaya operasional pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat sangat memberatkan dari segi ekonomi. Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (DPR-RI), Jefirstson R. Riwo Kore. “Miris rasanya membebankan kepada masyarakat karena misi negara adalah menggratiskan biaya pendidikan,” ujar anggota DPR dari fraksi Demokrat itu dalam pertemuan pimpinan antara Komisi X DPR-RI Perguruan Tinggi Negeri/Perguruan Tinggi Swasta (PTN/PTS) se-Aceh di gedung rektorat Unsyiah, Senin (25/7/2011).
Dari tahun ke tahun pendapatan negara di luar pajak yang notabenenya berasal dari mahasiswa terus meningkat mulai dari 2009 (Rp. 4,7 triliun), 2010 (Rp. 6,4 triliun) dan sekarang sampai Rp. 10,7 triliun.
Hal senada juga diungkapkan anggota DPR-RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Utut Adianto, menurutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 mewajibkan setiap PTN menerima 20 persen mahasiswa kurang mampu dari daya tampung universitas tersebut. “Sangat disayangkan kalau ini tidak dilaksanakan sepenuhnya, karena kita tahu di luar sana masih banyak anak yang memiliki prestasi di bidang akademik, tapi tidak mampu dari segi ekonomi,” kata wakil ketua komisi X DPR-RI tersebut.
Utut menjelaskan bahwa tingginya biaya pendidikan tinggi di Indonesia selama ini membuat pendidikan tinggi hanya mampu dinikmati kalangan menengah ke atas. Perguruan Tinggi dinilai gagal dalam membangun pendidikan kalau tiap tahun terus menaikkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal tersebut akan memperburuk citra universitas itu sendiri.
Pembantu Rektor I (PR I), Samsul rizal mengatakan bahwa saat ini Unsyiah sudah melaksanakan PP Nomor 66 dengan menyediakan kouta 20 persen untuk masyarakat kurang mampu. “Secara persentase, kita sudah menerima 35 persen mahasiswa dari kalangan kurang mampu dari keluarga petani dan nelayan,” ujarnya. [Reja H]