Cerbung | DETaK
–Kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia–
Aula kastil Putih merupakan tempat Sedler biasanya berdiskusi masalah kota dan mendengarkan laporan prajurit. Bentuk aula itu persegi panjang. Di tengah-tengah ruangan tersedia dua meja panjang dilengkapi beberapa kursi untuk para kepala regu prajurit dan pengurus kota.
IKLAN
loading...
|
Sebuah kursi tinggi di atas panggung aula sedang diisi oleh Adipati Sedler. Tormund duduk di sebelahnya dengan muka masam sambil menyilangkan tangannya di dada. Terakhir ada sang permaisuri adipati yang sedang menggendong anak laki-laki berusia empat tahun. Tinggal satu kursi saja yang masih kosong.
Sedler terus mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala. kaki kanannya terus bergetar. Darahnya sudah sampai di ubun-ubun, tak sabar untuk segera menemui seseorang.
“Ayah memanggilku?” tanya Sarah, baru saja sampai masuk ke aula.
“Coba jelaskan kepadaku, Apa maksudmu menolong seorang Lafitters yang mencuri coklat kita!” teriak Sedler kepada putrinya sambil memukul meja yang membuat sebagian bir tumpah dari gelas.
“Gadis itu masih berusia 12 tahun, sebaya denganku. Apa ayah tega..”
“Sekali mencuri tetap mencuri! Kamu tidak berhak mencampuri urusan pemerintahan!” bentak Sedler, urat-urat mulai terlihat di dahinya.
Sarah naik pitam mendengarkan kalimat itu lalu ikut meninggikan suara, “Aku juga bagian dari keluarga Alaska, aku punya hak untuk memikirkan pemerintahan kotaku!”
“Kamu hanya perempuan! Kota Gazastan akan kuserahkan kepada Tormund, bukan padamu!”
“Tugasmu menjadi seorang putri yang terhormat, cantik, dan beretika baik agar memikat keluarga Robertson. Darah penerus keluarga Alaska akan mengalir darimu, maka kau harus menikah dengan keluarga kerajaan. Itu tugasmu!” perintah adipati sambil menunjuk-nunjuk wajah Sarah.
“Tenang adipatiku,“ bisik Nyonya Sophie sambil mengelus bahu suaminya. “Sebentar lagi kamu akan mengadakan pertemuan dengan perwakilan klan Lafitters. Sekarang bernafaslah sejenak.”
Nyonya Sophie beranjak dari panggung, membiarkan si bungsu yang masih sibuk dengan patung kayu prajuritnya duduk sendirian di kursi, lalu membawa Sarah keluar dari aula. Mereka pergi ke balkon lantai tiga bangunan utama kastil.
Di belakang tirai bergelombang yang disapu angin, nyonya Sophie mendekap bahu Sarah. Mereka berdua memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang dan aurora, cahaya warna warni yang selalu menari di atas langit kota Gazastan yang terletak di bagian utara kerajaan Heaven Kingdom ini.
Nyonya Sophie membuka mulutnya, mengeluarkan uap dingin yang menyatu dengan udara malam. “Ibu menyayangimu dan selalu mendukung semua keputusanmu,” katanya sambil mengelus rambut hitam kemerah-merahan lembut milik Sarah.
“Tetapi ibu tidak mengerti. Mereka itu Lafitters, kaum pendosa, kemudian mencuri coklat kita. Coba bayangkan anakku, jika kita membiarkan mereka, nanti akan ada Lafitters lain yang berani melakukan hal yang sama.”
Sarah menatap mata ibunya, “Tetapi bu, mereka juga manusia. Dan apakah ibu sudah melihat gadis yang dicambuk itu, usianya sebaya denganku, namun lebih kurus dan lebih lemah. Jika kubiarkan dia dicambuk begitu..” Sarah berhenti, sedikit ketakutan untuk mengucapkan kalimat berikutnya, “Dia akan mati.”
Nyonya Sophie melihat mata sayu Sarah memantulkan cahaya bulan indah. Betapa cantik gadis ini, mengingatkan nyonya Sophie pada masa mudanya. Fisik Sarah sangat mirip dengannya, namun dia benar-benar anak suaminya, teguh dan keras kepala. Tak perlu diragukan lagi, Sarah adalah anak mereka berdua. Namun kenapa jalan pikirannya sangat berbeda?
“Sudah ratusan tahun lebih keluarga Alaska memimpin kota Gazastan, mengembang amanah sebagai perwakilan dewa Hades untuk mensucikan para pendosa dengan hukuman. Dan selama itu, tak ada seorang Alaska pun yang melalaikan tugas itu.”
Nyonya Sophie merendahkan badannya, Sarah tak perlu mengadah untuk memandang mata ibunya. Kedua pipi dingin Sarah menjadi hangat ketika disentuh oleh telapak tangan sang ibu.
“Aku berharap kamu juga begitu,” ucap sang ibu. “Jadilah seorang Alaska yang baik, seseorang yang mampu menjalankan beban yang telah diberikan oleh para dewa untuk keluargamu, menghukum para pendosa.”
Dada Sarah bergetar, membangunkan bulu yang ada di tangan dan leher belakangnya. Orang yang menjadi satu-satunya tempat baginya untuk bergantung dan bercerita juga tidak suka dengan pilihannya saat ini.
“Ibu kembali ke aula dulu, ada pertemuan dengan Lafitters.” Nyonya Sophie berjalan pergi masuk ke dalam pelukan tirai balkon, lalu tenggelam ditelan kegelapan koridor lantai tiga.
Sarah tidak mengerti. Apakah yang dia lakukannya selama ini; memendam rasa kasihan kepada Lafitters, menganggap Lafitters sebagai manusia yang sama dengannya dan menolong mereka, itu semua merupakan perbuatan yang salah, tidak sesuai dengan kehendak dewa dan prinsip alam. Apakah dia adalah sebuah kecacatan di tengah keharmonisan dunia?
Seorang gadis berambut hitam kemerah-merahan, memakai jaket putih yang seirama dengan warna kastil megah tempat dia tinggal, sendirian dibawah sinar rembulan, menatap langit yang dihuni oleh para bintang dan aurora.
Di sisi lain, dalam kamar sumpek, Luna Sawtell sedang duduk di atas ranjang. Sambil menompang wajah di jendela, gadis itu memandang langit yang sama. Keindahan langit malam selalu berhasil memberikan rasa tenang padanya, apalagi setelah dia mengalami kejadian mengerikan tadi sore. Gadis polos yang belum memahami tentang realita kehidupan ini tak pernah menduga, sebuah pertualangan besar sedang menunggunya.
—
“Aku menulis kisah ini dengan harapan bisa memberikan kesempatan bagi umat manusia untuk menikmati pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah. Namun tidak hanya itu, kisah ini memberikan petunjuk dalam hidup, sebuah panduan untuk meraih harta, cinta, dan menjalin hubungan dengan mudah.”
Note: Cerita ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: [email protected]