Cerpen | DETaK
Di bawah sinar mentari pagi, aku dan beberapa temanku pergi berkelana menempuh pendidikan. Jarak rumahku dan kota yang kini kutapaki sangat jauh, namun aku dan temanku bertekad untuk mencari ilmu di kota orang. Tahun pertama terasa sangat sulit untuk dilalui, bak senja bertemu senja lagi yang terasa sangat lama. Namun hal terindah yang paling ditunggu adalah pulang ke rumah.
Tahun kedua aku dan temanku mulai merasakan makna perantauan sebenarnya. Ketika meninggalkan zona nyaman, kita harus siap dengan berbagai konsekuensi yang akan dihadapi di luar sana, bahkan yang paling penting kita belajar bertahan hidup. Inilah kisahku.
“Hai, Dimas! Apakah kamu sudah mengerjakan tugas analisis jurnal dari dosen minggu lalu?” tanya Angga kepadaku. Bulan lalu Angga dan aku mendapatkan tugas menganalisis jurnal. “Waduh, aku belum mengerjakannya,” ujarku dalam hati.
“Kenapa diam?” Angga bertanya lagi.
“Eh, iya, aku baru akan mengerjakannya,” jawabku dengan sedikit kawatir.
“Oke, nanti malam aku akan mengunjungimu lagi untuk review hasil analisisnya,” putus Angga sambil berlalu meninggalkanku.
Dalam waktu dekat aku langsung bergegas meninggalkan tempat tidur dan menuju ke ruang belajarku. Jurnal yang harus kuanalisis sudah tersusun rapi di atas meja. “Aku harus bisa menganalisis jurnal ini dengan cermat dan cepat,” ucapku dalam hati. Aku pun mulai menganalisis jurnal itu.
IKLAN
loading...
|
Beberapa saat berlalu, aku membaca ulang hasil analisis jurnalku dan aku berpikir hasil analisisnya sudah benar. Dengan rasa lega aku pun pergi menemui temanku untuk me-review ulang hasil analisis jurnalnya.
Setibanya di lokasi pertemuan itu, aku melihat temanku sedang duduk dan menunggu diriku, “Hai, maaf menunggu lama,” ujarku padanya. “Iya, tidak masalah, kok,” jawabnya dengan sedikit mengerutkan dahi.
Satu jam berlalu dan kami pun menyelesaikan review jurnalnya. Setelah itu, temanku berkata, “Apakah kita sanggup belajar jauh dari kampung halaman kita?” tanyanya padaku.
“Kita pasti sanggup. Ketika kita sudah memulai maka kita harus menyelesaikannya,” jawabku.
“Tapi aku merasakan rindu untuk pulang ke kampung halaman,” tegasnya sekali lagi.
“Jangan seperti itu, kita pergi pasti untuk pulang. Dan pada saat kita pulang ke rumah, kita pulang dengan keadaan yang berbeda. Di sinilah kita di upgrade menjadi manusia yang kuat dan mampu bertahan dalam kehidupan,” jawabku dengan serius.
Tibalah di mana kami harus menyerahkan hasil analisis jurnal yang kami kerjakan, aku dan temanku mendapatkan skor nilai 90 dengan predikat hasil analisis terbaik. Temanku Angga sangat bahagia, dengan wajah yang berseri-seri ia berkata kepadaku, “Terima kasih, Dimas, berkat dirimu aku merasa lebih kuat menjalani hari-hari dalam perantauan ini, sebentar lagi waktunya libur dan kita harus pulang,” kata Angga kepadaku.
“Iya, Angga, terima kasih juga kamu sudah mengingatkan aku ketika aku lalai,” jawabku dengan spontan. “Oke, saatnya kita pulang ke kampung halaman, sampai jumpa di semester depan,” tutupku.
Aku dan Angga pun beres-beres untuk pulang, kami membeli tiket pesawat dan berpisah di bandara. Rasa lelah dan rindu yang bercampur menjadi satu akan terbayar ketika sampai di kampung halaman. Aku pun tersadar bahwa kepergian yang sebenarnya adalah untuk kembali pulang.
-Tamat-
Penulis bernama Sahida Purnama, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2019. Ia juga merupakan anggota di UKM Pers DETaK Unsyiah.