Cerbung | DETaK
Ini terjadi 4 bulan sebelum aku diperlakukan seperti kelinci percobaan. Setidaknya yang kulihat, kejadian itulah yang membuat hidupku jungkir balik, karena itulah dimulainya titik balikku.
Pagi itu hujan turun seperti pancuran di kamar mandiku: deras di menit pertama, gerimis di menit berikutnya, deras lagi, kemudian berhenti sama sekali. Itu sekaligus menjelaskan kenapa aku mandi sangat cepat.
IKLAN
loading...
|
Aku menenteng payung sambil berjalan ke halte bus. Ada banyak orang di sana. Mungkin tadinya untuk berteduh, karena sebagiannya sudah pergi lagi sesaat setelah matahari kembali terik. Udara jadi seribu kali lebih lembab dari seharusnya. Kurasakan keringat mengalir dari setiap jengkal kulitku. Rambutku lepek dan terasa gatal. Sampo anti ketombe mentol apanya?
Sisa orang-orang yang menunggu di halte tidak seberapa. Hanya seperempat dari yang tadi ada. Tiga orang pekerja kantor, seorang anak sekolah, dan seorang ibu muda dengan dua anaknya. Aku mengambil tempat duduk paling ujung. Sambil mengibaskan payungku yang basah, aku melihat ke arah jalan. Lebih banyak mobil dari biasanya.
Salah seorang yang tadinya beranjak dari halte sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu berubah merah tepat di sebelah zebra cross. Wanita kantoran dengan pakaian disetrika rapi, rambut tersanggul kencang, dan riasan sempurna.
Mendadak ada sengatan muncul dari belakang mataku. Kontras penglihatanku meningkat sehingga semuanya tampak menyilaukan.
Terjadi lagi. Tanpa peringatan maupun tanda-tanda, aku akan melihat masa depan entah milik siapa. Sesaat kemudian, aku melihat wanita kantoran itu memekik di tengah penyeberangan, sementara sebuah mobil berhenti mendadak tepat di sebelahnya. Ban mobil itu mendecit, sudah separuh melewati zebra cross. Si pengemudi mobil menurunkan jendelanya dan mengumpat pada si wanita yang masih berdiri sambil mengatur napasnya. Lampu baru saja berganti menjadi merah ketika akhirnya mobil itu meluncur lagi ke jalan. Wanita itu, sambil menunduk lanjut menyeberang jalan.
Ada sengatan lagi di belakang mataku. Saat kurasakan aku akan pitam, pandanganku kembali. Akhirnya visi itu berakhir dan seperti selalu, aku punya tepat lima detik untuk melihat kejadian itu lagi. Wanita itu masih berdiri di pingir jalan dengan gelisah sambil melirik arlojinya. Lampu lalu lintas masih menyala hijau dan kendaraan yang lewat masih terlalu ramai kalaupun dia nekat menyeberang.
Lima detik yang kupunya untuk mengambil tindakan. Aku mungkin bisa memperingatkan wanita itu, tapi melihat dari apa yang akan terjadi, aku mengurungkan niat. Paling tidak, tidak akan ada yang terluka. Aku mencengkram dudukan kursi halte, kemudian bangkit dan bersandar di terali pembatasnya, kalau-kalau keadaan jadi di luar kendali.
Aku masih memerhatikan wanita itu ketika dia mulai menapak ke garis pertama zebra cross dengan sepatu hak tingginya. Garis kedua, garis ketiga, garis keempat, garis…. Dari kejauhan, kulihat mobil dalam penglihatanku baru saja menyalib kendaraaan lain di depannya dengan kecepatan tinggi. Menilai dari cara mobil itu bermanuver, aku bisa bilang bahwa pengemudinya sedang dalam suasana hati yang buruk. Setengah detik berikutnya, visi yang kulihat benar-benar terjadi. Tepat seperti penglihatan 5 detikku tadi.
Aku mundur dari pembatas dengan napas lega. Namun, aku tidak bisa bohong bahwa tanganku belum berhenti gemetar. Buku jariku bahkan sampai memutih saking kerasnya mencengkram pembatas. Ini bukan kali pertama aku berpikir bahwa setiap kali visi itu datang, tanpa peringatan, nyawa seseorang yang kebetulan dalam penglihatanku mungkin sedang dalam bahaya. Aku hanya punya lima detik untuk mencegah hal terburuk terjadi.
Sudah 14 bulan sejak aku mendapat kemampuan ini, paling tidak dalam satu hari aku bisa melihat satu kejadian lima detik dari masa depan. Kadang kalau sedang berada di tempat ramai dalam waktu lama, bisa lebih dari itu.
Aku masih belum paham cara kerjanya atau apa pemicunya. Yang aku tahu, peristiwa itu haruslah penting, menyangkut keselamatan orang, di luar prediksi maupun rencanaku, dan harus berada dalam sudut penglihatanku. Aku tidak bisa secara sengaja ingin melihat apa yang mungkin terjadi. Percayalah aku sudah mencobanya. Terakhir aku berkonsentrasi mencobanya sampai mataku merah dan kepalaku sakit.
Visi tiga sampai lima detik tersebut pasti berasal dari lima detik di masa depan. Angka itu kudapat di bulan pertama kemampuan ini muncul. Aku tidak cukup kaget saat menyadarinya. Lima detik berselang bukanlah waktu yang lama. Nyaris semua manusia bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam selang sesingkat itu, meskipun bukan dalam bentuk penglihatan seperti yang kulakukan. Namun kadang melihat sendiri apa yang terjadi jauh dari perkiraan terliar kita. Selang lima detik terkadang membawa manusia lebih dekat dengan kematiannya lebih dari yang kita duga.
Untuk mendapatkan angka itu aku harus menyimpan rasa kemanusiaanku dalam-dalam, menahan diri untuk mencegah terjadinya hal tertentu, tetap fokus pada rentang waktu yang ditunjukkan.
Setiap pulang sekolah, aku akan berdiri di pinggir jalan, memastikan bahwa ada satu kejadian krusial yang akan terjadi untuk memastikan polanya. Dan itulah yang kudapat.
Terkadang aku terlalu ragu untuk menolong dan malah membenarkan tindakan pengecutku untuk mencegah hal-hal buruk yang kusaksikan. Lagipula, bukannya seharusnya apapun yang kulihat mesti terjadi. Aku tidak percaya pada masa depan alternatif meskipun dengan jeda dan durasi yang sama.
Visi dari lima detik yang akan datang tersebut mungkin kesempatan yang diberikan padaku untuk menyelamatkan orang, namun dengan mencegah penglihatan itu terjadi, aku akan buta tehadap apa masa depan alternatif yang akan terjadi saat aku mencegahnya. Bukannya masa depan tersembunyi dari kita semata-mata untuk menyelamatkan kita dari masa depan yang lebih buruk saat kita mencegah masa depan yang kita ketahui namun tidak kita inginkan?
Pikiranku kembali pada kejadian tadi. Wanita itu sudah menghilang di ujung zebra cross. Aku dan orang-orang yang menunggu di halte masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Dua anak kecil di halte itu sedang dinasehati ibunya tentang lampu lalu lintas, sementara tiga karyawan kantor itu berbicara pengalaman mereka yang juga pernah nyaris terserempet.
Aku mengambil tempat di kursi yang kosong dan kembali menatap ke jalan. Bus tiba tidak lama kemudian. Kami semua naik ke dalam, mengisi tempat yang kosong. Aku mengambil kursi paling belakang, tempat aku bisa melihat jalan dengan lebih leluasa karena posisi yang lebih tinggi. Sambil mendengarkan lagu dari ponselku, mataku memerhatikan kendaraan yang melaju melewati bus.
Masih pukul 6.46 pagi. Matahari baru saja naik, membuat jalanan dinaungi bayangan panjang dari bangunan-bangunan. Di luar jalanan mulai ramai, jam sibuk, hampir separuh penduduk kota mulai menjalankan ativitas rutin mereka. Aku menyandarkan siku ke bingkai jendela, dan menumpang pipi dengan tangan. Pemandangan jalan masih agak kabur karena jalur air yang belum sepenuhnya mengering dari kaca.
Lagu yang kudengar baru sampai bagian chorus sampai serangan itu datang lagi. Nyeri di belakang bola mataku, seolah ada ledakan granat cahaya tepat di depan wajahku. Ini adalah selang tercepat yang pernah kualami dari setiap visi.
Di luar jendela, aku melihat seorang pengendara sepeda motor sport terlindas truk pengangkut. Darahnya berceceran ke jalan, dan motornya remuk. Tubuhnya terseret sejauh beberapa meter sampai kulihat salah satu lengannya hancur terlindas dua roda truk. Entah bagaimana, bisa kulihat dengan jelas noda merah kental dan serpihan dagingnya yang menempel di alur ban raksasa itu.
Penglihatan itu memudar bersama pitam yang kurasakan. Chorus laguku dimulai tepat saat saat aku berhenti mendengarkannya sejenak tadi. Jantungku berdebar tidak terkendali. Oksigen terasa disedot keluar dari paru-paruku. Aku menarik lepas earphone-ku, cepat-cepat berbalik dan melihat dari jendela belakang.
Motor yang kulihat itu awalnya hanya seperti lalat yang hinggap di kaca, masih sangat jauh. Namun dia memacunya terlampau cepat sehingga hanya berselang dua detik aku bisa dengan jelas membaca plat nomornya. Bodohnya dia mengambil jalur untuk bus. Tidak jauh di belakangnya agak ke kanan, truk pengangkut yang kulihat dalam visiku datang dengan kecepatan tinggi.
Saat itu refleksku mengambil alih, dengan suara yang teramat lantang aku berteriak pada sopir bus, “PAK, BERHENTI!”
Supir yang kaget refleks menuruti teriakanku. Rem diinjak dalam-dalam, dan bus kehilangan momentumnya. Roda-roda berdecit, juga roda-roda di luar kaca jendela yang kuamati. Aku nyaris tersungkur ke lorong bus. Penumpang lainnya terantuk dengan sandaran kursi di depan mereka. Setelah keadaan tenang, semua mengaduh, perlahan wajah-wajah berputar ke arahku, mereka menatap dengan raut kesal sekaligus heran, aku terlalu terguncang untuk menanggapi pandangan mereka. Aku langsung berdiri dan menatap ke luar jendela bus, mencari lokasi yang kulihat di visi barusan.
“Hei! Ada apa?” tanya supir bus.
Aku tidak menyahut, masih mencari tanda-tanda kecelakaan di luar jendela. Saat akhirnya kutemukan, mataku membelalak. Kejadian itu baru saja terjadi. Suara klakson menggema dan menggetarkan kaca jendela bus. Bunyi hantaman logam dan logam, decit ban kendaraan, serta teriakan muncul dari segala penjuru. Penumpang bus mengalihkan pandangannya dariku dan ikut berpaling ke jendela bus. Semua berkumpul di satu sisi bus. Bisik-bisik kaget dan ketakutan menyusul dari setiap bibir.
Aku lari menyusuri lorong bus, nyaris terjengkang oleh kaki salah satu penumpang. Setelah memaksa supir membuka pintu, aku turun dari bus, memutar lewat belakang, dan menyaksikan apa yang kulihat dalam penglihatan tiga detikku untuk kali kedua hari itu.
Terjadi….
Hal yang aku takutkan….
Penglihatan itu tewujud karena aku mencoba mencegahnya….
Aku mencelakai seseorang karena mencegah masa depan terjadi….
Aku…mencelakai…seseorang.[]
Bersambung ke chapter 3
Penulis bernama Teuku Muhammad Ridha, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil USK angkatan 2019, Ia juga merupakan anggota aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah.