Beranda Cerpen Pengagum dalam Diam

Pengagum dalam Diam

(Foto: Ist.)

Cerpen | DETaK

Aku berjalan menabrak seseorang saat melangkah di depan pintu, saat aku menyadarinya spontan aku langsung meminta maaf tanpa melihat wajah orang tersebut. Ini adalah hari pertama masuk kuliah, aku takut kalau-kalau orang yang kutabrak adalah kakak leting atau dosen yang killer. Memikirkan tentang itu membuatku tak berani menatap atau bahkan sekadar melihat siapa orang itu.

“Maaf, Saya benar-benar tidak sengaja,” kataku dengan nada penuh penyesalan.

IKLAN
loading...


“Ressa, ya? Dari kelas IX-4 kan?” suara itu mengagetkanku bahkan lebih kaget lagi kalau seandainya yang kutabrak tadi beneran kakak kelas atau dosen killer.

Ternyata dia adalah teman SMA-ku, seseorang yang lebih dari sekadar teman SMA bagiku, tapi baginya mungkin aku hanyalah teman yang kebetulan satu sekolah.

“Zidan, maaf aku terburu-buru tadi, jadi tak sengaja menabrakmu, maaf.”

Aku terus meminta maaf, kali ini aku berani melihat wajahnya walau hanya sebentar lalu kualihkan pandangan. Dan ini adalah kali pertama dirinya berbicara denganku dan bahkan aku baru tahu kalau selama ini dia tahu namaku. Perasaan senang bukan main menyelimuti hatiku.

“Tidak apa-apa. Jadi kau masuk Fakultas MIPA kebetulan sekali, kalau boleh tau jurusan apa?”

“MIPA Biologi,” Jawabku kaku, karena terasa aneh saja, selama ini Zidan tak pernah akrab denganku.

Dan aku memberanikan menyambung kalimat agar tak terlihat aneh.

“Dan kau jurusan apa?” tanyaku sedikit gugup.

“Aku Jurusan Informatika, oh ya kelasku dimulai 10 menit lagi, aku duluan ya Ressa.”

Dia bahkan pamit dengan kembali memanggil namaku, aku semakin terhenyak mendengar kata-katanya. Sepanjang jalan menuju kelas, aku selalu berpikir tentang kejadian tadi. Bagaimana mungkin Zidan berubah begitu banyak, aku mengenal Zidan selama ini sebagai sosok lelaki yang sangat pendiam dan tidak mudah berbicara dengan perempuan.

Dia laki-laki yang berprestasi dan sangat taat dalam beribadah, seluruh siswa di SMA-ku mengenalnya. Dia adalah idola, tapi tak pernah memperlihatkan kesombongan, dan gaya diam dan dinginnya itu semakin membuat banyak wanita segan mendekatinya termasuk aku. Walaupun ada beberapa orang perempuan yang terang-terangan mendekatinya dan berakhir tidak dipedulikan olehnya.

Tapi hari ini begitu berbeda, aku sering memperhatikannya sejak kelas X bahkan selalu memperhatikannya. Aku tau seluk beluk kehidupannya dan aku bisa memastikan dia tidak pernah seramah itu dengan perempuan kecuali sepupu atau saudaranya. Aku semakin dibuat bingung dengan kejadian tadi, bagaimana bisa sosok yang sangat pendiam, bisa berubah begitu cepat.

Ya, aku mengakui selama ini aku memperhatikannya karena aku menyukainya mungkin lebih dari itu aku bahkan seperti menyiksa diriku dengan perasaan ini. Aku hanyalah gadis biasa dan dia sangat luar biasa menurutku. Zidan berasal dari keluarga kaya raya, punya prestasi olahraga, banyak menjuarai Olimpiade Matematika dan bahkan ia juga sangat taat beribadah.

Aku seringkali berpapasan dengannya ketika pulang shalat Subuh berjama’ah di masjid. Hanya berpapasan saja tak ada kata yang keluar dan aku selalu berpikir bahwa dia pasti tidak mengenalku. Dan tidak ada alasan untuknya mengenal diriku, aku hanya gadis biasa yang kebetulan satu SMA dengannya.

Pikiran tentang dia selalu memenuhi hati, tapi apalah daya aku bukan siapa-siapa. Jangankan menjadi orang yang istimewa baginya atau sahabatnya, aku bahkan tidak menjadi temannya. Dan rasa yang kusimpan selama 3 tahun ini, kuceritakan pada Wirda sahabatku, buku harianku, dan dalam blogku yang tentu saja aku tidak menyebutkan nama orangnya. Aku berharap suatu saat dia bisa menyadari tanpa perlu kuberi tahu, tapi aku tak akan siap jika dia menganggap aneh diriku.

Di kantin, kejadian hari ini berniat aku tuliskan di Diari Biruku. Diari yang telah kupakai selama 3 tahun. Tapi aku baru ingat seminggu yang lalu, aku kehilangan buku itu. Aku hanya bisa menghela napas, buku itu berisi sejarah kepiluanku dalam memendam rasa, tapi sekarang tak ada lagi tempatku mengadu.

Aku memang punya sahabat Wirda namanya, dia baik dan selalu setia mendengar ceritaku, tapi seperti halnya blogku. Aku tak memberi tahu dirinya siapa orang yang kumaksud selama ini meski dia bertanya kepadaku sudah puluhan kali. Aku bosan mendengar pertanyaannya dan dia pasti bosan mendengar jawaban tidak dariku.

Seminggu yang lalu aku bertemu Wirda saat terakhir kali aku melihat Diari Biruku. Aku menaruh curiga pada Wirda sejak seminggu lalu, karena dia adalah orang yang paling penasaran tentang seseorang yang selama ini kukagumi. Aku menaruh curiga Wirda yang mengambil diariku. Tapi kudiamkan saja dulu, dan kalaulah benar biarkan saja dia tahu, sudah lama aku ingin memberi tahu Wirda dan benar saja aku terlalu malu untuk sekadar mengungkapkan siapa orang yang kusukai itu kepada Wirda.

Perpustakaan adalah tempat yang kutuju kali ini, karena tidak berhasil untuk bercerita di buku Diari. Kali ini akan kutumpah ruahkan ceritaku lewat blog, dan perpustakaan adalah tempat terdekat penyedia WiFi gratis di dekat sini.

Dalam perjalanan, aku dikejutkan lagi oleh suara yang memanggilku. Saking terkejutnya rasanya hampir-hampir jantung ini terlepas dari diriku.

“Ressa!” Zidan kembali memanggilku dan kali ini tepat di hadapanku, dia bahkan menghampiriku.

Kakiku seketika lemas, dadaku seketika sesak, dan aku hampir saja tidak bisa menghela napas. Aku hanya bisa menjawab panggilannya dengan satu kata “Iya”. Hal ini begitu aneh bagiku, aku adalah orang yang ramah dan sangat ramah dengan semua orang dan anti sekali mengatakan sesuatu dengan kata-kata singkat. Tapi di depan dirinya rasa-rasanya aku tak bisa apa-apa.

“Maaf, aku tak seharusnya membaca ini, tapi Wirda yang memberikannya dan memaksaku membacanya,” Zidan memberikan sebuah buku, ya, tepat sekali itu benar-benar Diari Biruku.

Kini mulutku benar-benar membeku, tubuhku kaku dan aku sangat malu menghadapi kejadian seperti ini. Yang bahkan aku tak pernah membayangkan akan terjadi, Wirda sudah mempermalukanku dengan amat sangat.

Aku mencoba mengontrol pikiran, dan mengambil Diari Biruku.

“Maaf, aku tak seharusnya menulis semua ini,” aku menunduk dan tidak berani menatap wajah Zidan.

“Terima kasih banyak,” aku bahkan tak tahu apa maksud terima kasih ini dan aku hanya terdiam.

Akhirnya rasa kegelisahan pada hatiku semakin memuncak dan akhirnya aku menangis di tempat itu, betapa malunya aku dan betapa aku tak berdaya hari ini.

Aku menumpahruahkan segalanya ketika itu.

“Maafkan aku, aku memang menyukaimu dan bahkan lebih dari itu, dan mulai sekarang aku tidak akan menulis lagi namamu di manapun. Kau pasti merasa jengkel. Maafkan aku yang sangat berani menyukai orang sepertimu. Maafkan aku karena aku sudah terlanjur suka padamu, dan maafkan aku untuk Diari ini,” tangisanku akhirnya memuncak di sela-sela aku berbicara.

“Kau tak seharusnya menangis. Bukankah tadinya aku berterima kasih,” kata-kata itu spontan memberikanku kekuatan dan perlahan aku berhenti menangis dan menyeka air mataku.

“Jujur saja, selama ini aku juga mengagumimu Ressa, kau gadis yang ceria, kau juga sudah banyak meluncurkan buku sejak SMP, dan aku pembaca setia blogmu berharap lelaki yang selalu kau ceritakan itu benar-benar diriku.”

Aku tersentak mendengar kata-kata dari Zidan. Aku tak percaya kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya. Aku semakin  tak percaya karena dia tahu aku sudah mulai menulis buku sejak SMP. Dan aku tetap terdiam karena setengah dariku seperti mengalami mimpi. Mimpi yang bahkan tak ada dalam khayalanku. Tapi ini benar-benar terjadi, aku tetap terdiam.

“Selama ini aku memang bersikap diam saja. Jadi maafkan aku, dan aku berharap kita bisa berteman baik, karena tidak ada yang lebih baik saat ini untuk kita selain pertemanan,” Zidan melanjutkan.

Dalam suasana seperti ini aku semakin terkagum-kagum padanya. Dia benar-benar orang yang bijak.

“Zidan, maafkan aku yang sudah menulis namamu di Diari ini dan menceritakan tentangmu di blog pribadiku,” kini kata-kataku sudah sedikit tegas.

“Dan dirimu bukan satu-satunya yang kagum padaku Ressa, aku juga kagum padamu. Bagiku kau bukan gadis biasa, aku selama ini juga mengagumi dirimu dalam diam, tapi tak ada alasan untuk kita berpacaran. Jadilah teman baikku dan mari kita hadapi rintangan perkuliahan kita,” katanya dengan senyum yang merekah.

Senyuman itu yang selalu membuat hatiku bergetar bahkan terlebih hari ini.

“Benarkah kau mau jadi temanku, bukannya kau tidak pernah punya teman perempuan?” aku memberanikan terus bertanya.

Apalagi tak pernah kusangka kalau rasaku bukanlah rasa yang bertepuk sebelah tangan.

“Mungkin benar dan mungkin juga salah, aku punya banyak teman perempuan tapi tak terlalu terlihat karena tidak akrab. Oh ya, aku sedikit kecewa padamu,” kata-kata itu sontak mengagetkanku.

“Kecewa? Kenapa?” aku keheranan.

“Kau masuk Fakultas MIPA ternyata demi diriku, padahal seharusnya kau bisa masuk ke Jurusan Sastra, untuk mengembangkan passion-mu.  Tapi hanya demi aku,  kau masuk Fakultas MIPA,” Zidan menjelaskan tetap dengan nada yang seperti biasa dan terlihat sangat keren di mataku.

“Maafkan aku, aku benar-benar terlalu berharap padamu selama ini,” aku menunduk dengan nada penyesalan.

“Akan kumaafkan, asalkan kau melakukan 1 hal.”

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Tetap menulislah meski kau berada di Fakultas MIPA.”

Sontak permintaannya semakin memenuhi hatiku dengan kekaguman padanya. Hari ini aku melihat sisi lain dari dirinya yang tidak banyak orang yang tahu.

“Tentu,” jawaban singkatku mengakhiri pertemuan kami hari ini.

Hari ini aku merasa seperti bertukar kepribadian dengannya. Kenapa dia yang banyak bicara dan aku lebih banyak diam. Padahal dia yang pendiam dan aku biasanya begitu banyak bicara. Yang pasti aku melihat sisi lain dari sosok Zidan hari ini, dan cinta dalam diamku padanya selama ini ternyata tidak sia-sia. Dan akhirnya aku bisa mewujudkan harapan untuk menjadi temannya. []

Penulis bernama Nana Dahliati. Ia merupakan mahasiswi Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.

Editor: Herry A.