Beranda Cerpen Nomor Telpon Bahari

Nomor Telpon Bahari

Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Cerpen | DETaK

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi…” tuk. Sekali lagi, kucoba menelepon nomor telepon yang sudah kuhapal selama 17 tahun ini. Tidak pernah ada jawaban dari orang yang ingin kudengar suaranya. Mungkin sudah ribuan bahkan jutaan kali kucoba, “Siapa tahu ada keajaiban,” hiburku untuk diri sendiri yang selama ini telah sabar menunggu selama bertahun-tahun.

“Kamu nelpon siapa?” suara Faiz mengejutkanku. Buru-buru kumatikan handphone dan kumasukkan ke dalam tas selempang kecil. Melihat gelagatku yang sempoyongan membuat Faiz langsung paham dan duduk mendekat ke arahku. “Kamu masih mencoba hubungi nomornya?” tanya faiz lembut sambil menatap mataku. Kulihat raut iba di wajahnya.

“Siapa tahu aktif,” jawabku singkat. Lagi-lagi Faiz tersenyum, diambilnya selembar amplop dari dalam map kuning yang ia bawa. “Tia, aku sudah menghubungi Paman Ishak kemarin. Ia bersedia dengan senang hati untuk menjadi wali nikahmu.” Apakah aku harus senang dengan perkataan Faiz barusan? Bukan aku tidak bersyukur paman Ishak mau menolongku. Tetapi tidak ada orang lain yang kuingin selain “Dia” untuk menjadi wali nikahku, karena memang dia yang seharusnya.

“Mutia?” Faiz menyodorkan amplop yang sedari tadi dipegangnya. “Ini titipan dari Paman, tidak aku buka sedikit pun.” kuterima amplop itu dengan wajah penasaran. “Aku buka, ya?” tanyaku padanya. “Iya,” jawab Faiz sama penasaran denganku.

Tak ada yang lebih mengejutkanku selama beberapa tahun ini selain hadiah kejutan dari paman Ishak barusan. Kuamati secara jelas empat lembar foto yang diselipkannya ke dalam amplop tadi. Ada secarik kertas catatan kecil terselip di antaranya. “Mutia sayang, selamat atas pernikahanmu. Paman sisipkan kembali kenangan ini kepadamu sekarang. Paman yakin kamu sudah siap. Jangan tanyakan mengapa Paman bisa memiliki foto ini. Tapi tanyakan mengapa kamu harus kuat menerima segala takdir dan rahasia tuhan. Ayahmu orang baik. Allah merindukannya. Sekarang, berbahagialah dengan takdir barumu. Faiz laki-laki baik, dia akan mencintaimu sampai kapanpun.”

Sedikit geli membayangkan bagaimana paman Ishak yang biasanya dingin dan tak banyak bicara tiba-tiba berpuisi romantis seperti ini. Tidak, ini terlampau romantis. Aku ingat foto ini. Kuraba dengan lembut tekstur foto yang masih lembut dan mulai menguning di sisi bawahnya. Kulihat wajah bunda, Key dan juga… “Ayah,” ucapku pelan.

“Bagaimana bisa kami lupa mengambilnya di studio setelah hari itu? Bagaimana bisa ini menjadi foto paling menyedihkan yang membuatku rindu?” Aku mulai menangis. Faiz kebingungan, beberapa kali kudengar suara khawatirnya memanggil namaku. Sedang aku tak dapat berpikir tenang, bayangan dan rasa sakit kembali membawaku pada kenangan masa lalu sebelum laut menerkam ayahku.

Penghujung Desember 2004

Sabtu itu, hari ulang tahunku yang ke tujuh. Kami sedang berkemas-kemas untuk pemotretan keluarga di salah satu studio foto yang terkenal di Banda Aceh. Berpakaian serba merah lengkap dengan bandana bulu-bulu membuatku merasa menjadi anak paling Bahagia di muka bumi. Ayah, bunda, dan Key juga memakai dresscode merah. Aku tertawa melihat Key kesal dipakaian dasi kupu-kupu oleh ayah. Sesekali Key mencoba melepaskan dasi yang membuatnya pengap dan susah napas. “Kamu harus nahan pakai dasi, Nak, besok pas masuk TK udah mudah.” Ayah mencoba meyakinkan Key yang sudah mulai menangis karena tidak suka.

“Silakan Pak, Buk. Kita mulai foto sekarang, ya,” ucap salah satu pekerja di studio itu. “Oke, yuk cepat. Key jangan nangis, Dek. Nanti ilang gantengnya. Tia, Tia cepat kemari jangan asik ketawa aja kamu, itu rambut dirapikan, bendonya udah mereng. Ayah ngapain duduk lagi yuk cepat kita mulai.” Bunda sepertinya terlalu bersemangat hari ini. Gaun merahnya merekah sempurna di tubuhnya yang putih itu. Sesekali bunda merapikan jilbab yang dirasa tidak berbentuk sempurna dari tadi. “Kenapa gini jilbab paris ni, padahal udah dua kali Bunda gosok.” bagaimana tidak meleyot bun, jilbabnya kan tipis digosok dua kali ya teparrr.

Oke bagus, sekali lagi ubah pose ya.. Adek ganteng kepalanya jangan dimiringkan ya… iya iya begitu…. satu dua tiiiiigaaaa.”

Mengapa semua orang tampak sangat bersemangat hari ini? Apakah semua bahagia di hari ulang tahunku? Tapi aku tiba-tiba jadi tidak begitu bersemangat. Sedari tadi aku menunggu kado dari ayah yang tidak kunjung diberikan untukku. Kata bunda, bandana bulu-bulu ini kado bunda dan Key untukku, sedangkan ayah sudah siapkan kado lainnya yang masih rahasia. Tapi dari tadi pagi sampai sore ini, ayah tak kunjung memberiku kejutan itu.

Selesai berfoto ria, ayah segera turun ke bawah untuk mengambil bon dan tanda pembayaran. Kami menyusulnya ke bawah dan langsung menunggu di dalam mobil. “Selesainya besok pagi paling cepat,” kata ayah tiba-tiba seraya masuk dan mulai menghidupkan mobil. “Tapi kan besok Ayah berangkat pagi, yaudah mana sini bonnya biar Bunda aja yang ambil besok.” Aku dan Key bingung, “Ayah mau ke mana?” tanya kami hampir bersamaan.

“Kita mulai buka cabang baru di Sabang bulan depan. Ayah mau cek gimana kondisi rumah makan kita besok. Sekalian isi perabotan dan kebutuhan toko yang lainnya,” jawab ayah penuh semangat.

“Kenapa kami tidak ikut?” tanyaku. Biasanya ayah selalu mengajak kami jika ke Sabang, sekalian liburan katanya. “Hmm.. Kalian ikutnya bulan depan saja, ya. Besok Ayah saja yang pergi. Paman Ishak juga gak ikut, kok. Cuma sehari saja.”

“Tapi kan kami besok libur sekolah, Yah. Hari minggu.” Aku mencoba membujuk ayah supaya mengizinkan kami ikut. “Gimana, Yah? Kasihan juga anak-anak minta ikut.” Bunda menambahkan.

“Jangan. Gapapa. Besok Ayah aja yang pergi. Kalian di Banda saja, lain kali kita pergi liburan bareng. Nanti pas libur semester. Kita nginap yang lama di Sabang… oke?” Entah apa alasannya, tapi sampai akhir, ayah tetap tidak mengizinkan kami ikut. Berbagai upaya bujukan dan manjaan kami mainkan bersama Key dan bunda. Ayah tetap kekeuh pada pilihannya, “Besok Ayah saja yang pergi,” ucapnya pasti.

Malam hari selesai salat isya berjamaah bersama ayah, bunda dan Key, aku bergegas masuk ke kamar. Ada rasa kecewa dalam hatiku karena kado dari ayah tak kunjung datang. Untuk mengurangi rasa kecewaku, kuambil sebuah buku dan mulai menggambar bebas di atas kertas bergaris-garis lurus. Kugambarkan bunda yang sedang menyapu, Key yang sedang naik sepeda dan ayah yang sedang menanam bunga bersamaku. Sekali lagi, aku merasa menjadi anak paling bahagia di muka bumi. “Gak papa, mungkin kadonya jadi makin besar digabung untuk tahun depan,” hiburku pada diri sendiri.

Ketika tengah asik menggambar, terdengar ketukan pintu dan disusul ayah memasuki kamarku sambal membawa sebuah kantong plastik. “Sepertinya ada yang lagi nungguin kado dari Ayah, nih,” candanya. Aku melompat ke arahnya dan memeluknya. “Dari tadi Tia tungguin kadonya,” ucapku malu-malu.

“Nih… hadiah handphone permintaan tuan putri.” Ayah meberiku plastik yang tadi dipegangnya. Melihat aku yang masih terkejut ayah langsung tertawa. “Kemarin kamu ngomel-ngomel karena telat dijemput, nih Ayah beliin supaya kamu bisa nelpon orang rumah kalau sudah pulang sekolah.” Aku masih tidak percaya. Kamis kemarin, orang rumah lupa menjemputku di sekolah. Aku harus menunggu sampai hampir magrib karena tidak tahu harus menelepon siapa. Ayah yang saat itu berjanji akan menjemputku lupa mengabari bunda kalau ada urusan mendadak ke Jantho. Bunda pikir aku ikut ayah ke Jantho. Serba salah paham. Dan aku hanya bisa menangis sambil ngomel-ngomel minta dibelikan handphone. Dan sekarang di tanganku, kupandangai handphone yang tampak tebal dan berat ini. Mirip seperti punya ayah.

“Huaaaaa…. Ayah kok gitu?” Tiba-tiba aku menangis. “Lah, Tia kok nangis? Gak mau kadonya, ya? Mau Ayah ganti sama kaset pilem barbie?” tanya ayah bingung.

Mendengar perkataan ayah aku tertawa, “Kok malah barbie?” Ayah semakin bingung melihat emosiku yang labil ini. “Terus, kenapa nangis?” tanyanya. “Tia kira Ayah lupa ngasih kado,” jawabku sambil memeluk handphone baru. Aku senang sekali, ya meski belum tahu bagaimana cara menggunakannya. Tapi ini di luar ekspektasiku. Kukira ayah akan memberiku kamus bergambar atau boneka mini the pooh favoritku, tapi ini… aahh semua begitu membahagiakan.

“Yaaa Ayah mau ngasih kejutan untuk Tia.” Ayah menarik nafas sambal meneruskan perkataanya. “Sebenarnya Ayah lupa, barusan Ayah keluar buat nyari handphone itu.” Aku tersenyum melihat ayah yang merasa bersalah dan terus meminta maaf kepadaku. “Ayah minta maaf buat Mutia nunggu lama pas pulang sekolah kemarin yaa.. Ayah minta maaf juga lupa beli kado,” ucapnya penuh penyesalan

“Iyaa, Ayah. Biarpun Tia nunggu dari jam dua belas sampai jam setengah tujuh. Tia tahu Ayah akan jemput Tia. Makanya Tia gak nangis. Tia nangisnya pas Ayah sampai aja. Biar Ayah tahu kalau Tia kesal sama Ayah.” Sambil tertawa ayah memeluk tubuhku lekat. Diciumnya keningku sebanyak dua kali.

“Ayah buat kamu nunggu lama ya? Ayah minta maaf, yaa,” ucapnya lagi.

“Gapapa, Tia pasti nunggu Ayah, kok. Karena Tia tahu Ayah pasti datang. Jadi Tia pasti nunggu,” jawabku.

Kulihat mata ayah yang berkaca-kaca mendengar ucapanku. Mungkinkah aku bisa menjadi sastrawan puisi karena pintar merangkai kata-kata dan mampu membuat orang menangis ketika dewasa? Hihihi entahlah.

“Terima kasih, Tuan Putrinya Ayah,” ucapnya lembut. “Nah sekarang sini Ayah ajarin cara nelpon. Kakak udah paham caranya?” tanya ayah yang kusahuti dengan gelengan kepala.

Oke. Ayah isi nomor Ayah di hp Kakak, ya. Nomor Ayah akan jadi nomor pertama di hp Kakak. Mulai hari ini Kakak boleh telpon Ayah kapanpun kakak butuh. Kalau Ayah gak angkat tetap telpon terus. Biar Kakak gak tunggu lama lagi kalau pulang sekolah.” Ayah mulai mengajariku bagaimana cara menambah kontak, mengirim pesan, menelepon nomor bahkan bermain game di hp.

“Tia coba telpon nomor Ayah, ya?” pintaku. Ayah mengiyakan permintaanku. Segera kutekan tombol memanggil dan menunggu jawaban dari hp ayah. “Eh Kak, Ayah lupa. Hp Ayah di kamar.” Aku agak kecewa mendengar perkataan ayah. Bahkan sejak pertama kali. Nomor itu tak pernah menjawab panggilanku.

“Yaudah deh, Yah, gapapa.” Aku segera mematikan hp. “Besok Ayah telpon pas udah sampai Sabang, ya.” Aku menggangguk semangat menantikannya. “Yaudah sekarang kamu udah bisa tidur. Besok Paman Ishak antar Ayah ke pelabuhan sekitar jam tujuh. Kalau kamu mau ikut, harus cepat bangun.” Ayah mengecup puncak kepalaku lama. “Semoga anak Ayah bahagia dan sukses terus, ya, Nak. Selamat ulang tahun.” Tidak ada yang tahu ke mana takdir akan membawa kita pergi menjauh. Tidak ada yang tahu, bahwa tahun ini adalah kado dan ucapan terakhir dari ayah untuk ulang tahunku.

Lueng Bata dan Ulee Lheu tidak begitu jauh. Saat ini aku, Key, ayah dan paman Ishak sudah tiba di pelabuhan Ulee Lheu. Bunda tidak ikut, sedang sibuk bersih-bersih dan mencuci baju.

“Ayah berangkat, ya Nak,” ucap ayah. Tiba-tiba aku dan Key ingin menangis. “Yah, kami ikut, ya,” Key memeluk ayah kuat dan tangisannya semakin menjadi-jadi. “Hai neuk, kok nangis gini. Aduh kalau gini Ayah udah gak semangat lagi ke Sabang,” ucap ayah sambil menenangkan Key. “Yaudah gak usah pergi aja. Besok aja.” Dengan suara ketus aku mencoba menarik ransel yang ayah taruh di samping kakinya. “Lah, Kakak kok gini juga?” tanya ayah keheranan. Paman Ishak hanya tertawa melihat drama kami pagi minggu itu.

“Dah udah. Nanti ayah ditinggal kapal.” Ayah melepas pelukan Key dan mengangkat ranselnya. “Biar ditinggal,” jawab aku dan Key sekalian. “Eh jangan gitu, neuk. Doakan aja Ayah yang baik-baik, selamat sampai Sabang, selamat balek Banda. Key, jaga Kak Tia dan Bunda ya. Kamu yang laki-laki yang harus kuat kalau Ayah pergi. Kakak juga, bantu Bunda di rumah, ya, nak.” Ayah tersenyum memandangi wajah kami bergantian.

Tidak ada kekuatan manusia yang mampu mengubah takdir. Sekuat apapun aku dan Key mencoba melarang ayah pergi. Takdir membawanya jauh menikmati akhir cerita yang tidak pernah kami duga.

“Bye bye Ayah. Aku tunggu telpon Ayah, ya,” ucapku akhir. Melepas kepergian ayah mengarungi takdirnya di laut lepas.

Tidak ada yang sangka. Takdirku juga dimainkan semesta melalui goncangan raksasa. Tepat setelah mobil kami memasuki pagar rumah. Bumi mengamuk. Kurasakan goncangan besar membuat kami kocar-kacir mencari perlindungan. Bunda mendekap aku dan Key dan berlari ke jalan raya. Kusaksikan semua orang berdzikir dan menyebut asma Tuhan. “Ya Allah pakon neubri bala… oh tuhan lon, bek keuh ya Allah. Neu peuampon desya kamo, ya Rabb, neu peuampon.”

Kami ketakutan, apakah ini yang namanya kiamat seperti yang diceritakan ustadzah di tempat ngajiku? Ya Allah aku takut.

Setelah gempa mereda dan suasana cukup tenang. Kami dikejutkan dengan berita lain, “Ka di ek ie, ka di ek ie.” Orang-orang berteriak dari atas mobil-mobil pick up dan becak. “Banda aceh ka di ek ie, ie laot beungeh”. Kejadiannya begitu cepat. aku kebingungan, orang-orang kembali riuh dan ketakutan. Kulihat bunda menangis dan memeluk kami erat, dekat sekali. Seketika tubuhku kaku dan bergetar. “Bang Bahar..” ucap bunda terisak. “Ayah,” ucapku berteriak.

Ayah tak pernah meneleponku.

IKLAN
loading...


Semenjak kepergiannya hari Minggu. Hampir satu tahun setelah kejadian itu, bunda mendaftarkan kematian ayah setelah mencari dan menunggunya selama ini. Aku tak terima. Jika ayah tidak meneleponku, maka biar aku yang menelponnya.

Setahun, dua tahun. Tak pernah ada jawaban dari seberang.

Haruskah aku percaya bahwa ayah tak akan pulang?

Berapa lama lagi aku harus menunggu? Bahkan di hari pernikahanku minggu depan ayah tak mungkin datang?

“Tia, Dek Mutia,” suara Faiz membuyarkan ingatanku. Kurasakan wajahku basah karena menangis. Kulihat raut khawatir di wajah Faiz, aku bersyukur. Lelaki ini merasa sedih melihatku menangis?.

“Sekali lagi saja, boleh aku coba menelpon nomor Ayah?” tanyaku pada Faiz. Ia mengangguk dan tersenyum. “Cobalah,” ucapnya singkat. Kuambil smartphone-ku dan kutekan nomor ayah dengan tangan gemetar. Aku tersenyum membayangkan wajah ceria ayah ketika mengajariku cara menelponnya dulu. Segera kutekan tombol memanggil tanpa ragu.

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi…..”

Dan lagi, takdir tidak membiarkan ayah menjawab panggilanku. Tidak sama sekali.[]

Penulia bernama Feti Mulia Sukma, mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Ia juga aktif sebagai redaktur di UKM Pers DETaK.

Editor: Indah Latifa