Cerbung | DETaK
-Kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia-
Dua kepangan rambut pirang milik seorang gadis terus bergoyang ketika dia meloncat-loncat sambil melangkah. Loncatannya terus meninggi ketika makin dekat dengan dua prajurit yang sedang duduk di atas batang kayu, depan pintu pabrik coklat. Ketika gadis berambut kepang itu berhenti, tak disengaja tubuhnya merinding sendiri. Tatapan dua pasang bola mata besar milik dua wajah dewasa yang cukup garang itu telah menusuk jantung gadis itu hingga bergetar-getar, bukan karena jatuh cinta.
“Ada keperluan apa kamu kemari?” tanya sebuah suara berat yang memberikan tekanan cukup besar bagi gadis itu.
“Hmm… Selamat pagi tuan prajurit.” Pipi gadis itu mengembang, memaksa diri untuk tersenyum. Matanya sekilas mencuri pandang ke arah kanan pagar pabrik, melihat Eric, Albert, dan Agnes bersembunyi di balik semak-semak.
Kedua prajurit itu hendak melirik ke arah pandangan Luna juga, namun segera Luna hentikan dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kalian pernah ikut rombongan pengantar emas?”
Dua prajurit itu berhenti, salah satunya memperbaiki cara duduknya dan sedikit membidangkan dada, “Tentu. Kami termasuk prajurit penting di kastil,” jawabnya dengan suara yang sengaja diperberat.
“Bolehkah saya mendengarkan cerita perjalanan kalian ke ibu kota Patheon. Saya sangat ingin tahu bagaiman rupa kota itu,” sambung Luna dengan nada sungguh-sungguh sambil menggoyangkan dua kepalan tangannya. Bibirnya tersenyum kaku sambil memperlihatkan gigi.
“Baik, jika kamu benar-benar penasaran, biar kuceritakan,” jawab sang prajurit.
Ketika kedua orang itu saling sahut-menyahut berbicara di depan Luna dengan asik, Albert, Eric, dan Agnes mengendap-endap memasuki pabrik coklat.
Agak jauh di belakang prabrik itu, terdapat perkebunan kokoa yang sedang dijelajahi oleh para Lafitters untuk memanen. Di antara mereka ada seorang bocah laki-laki berumur 8 tahun, berambut hitam kemerahan seperti mangkok yang menutup kepala, sekitar area bawah mata bocah itu terdapat bintik-bintik merah yang terlihat jelas di atas kulit putihnya. Anak itu tertawa girang, memperlihatkan gigi kelinci jarang-jarang, sangat menikmati pemandangan di atas pundak kuda yang dituntun oleh seorang prajurit di tengah-tengah kebun.
“Syukurlah, tidak ada orang di dalam. Cepat kalian ambil! Aku mengawasi bagian luar dari balik pintu masuk ini,” bisik Eric.
Albert dan Agnes mengambil masing-masing satu kantong putih kecil yang mudah dibawa. Albert memasukan bubuk coklat sementara Agnes mengambil coklat batang. Lalu ketiganya menyelinap keluar pabrik. Dua prajurit di depan masih sangat menikmati diri mereka di hadapan pendengar setia.
Luna sekilas melihat teman-temannya memberikan kode. Kedua pipinya mengembang lalu memotong penjelasan kedua prajurit yang berbicara dengan ekspresi antusias itu, “Terima kasih atas ceritanya, Tuan Prajurit. Cerita kalian berdua sungguh menarik.” Setelah memberikan senyuman paling manis semampunya, Luna berbalik dan berjalan cepat meninggalkan mereka berdua.
“Pencuri!” teriak si rambut mangkok di atas kuda. Jarinya menunjuk ke arah tiga anak kecil yang berjalan mengendap-endap di sebelah kiri pabrik sambil memegang dua karung putih. Tanpa berpikir panjang, ketiganya berlari dengan cepat.
“Silahkan turun sebentar, Tuan. Saya akan mengejar mereka,” ucap sang prajurit penuntun kuda. Dia menurunkan Tormund, si Putra Mahkota Adipati Sedler dari kudanya, lalu naik dan memacu kuda itu ke arah Eric, Albert, dan Agnes.
Dada Luna seperti dipukul sebuah palu ketika mendengarkan teriakan ‘pencuri!’ barusan. Lalu saat terdengar suara hentakan cepat kaki kuda yang mulai melangkah, jantung Luna berdetak kencang, bukan karena jatuh cinta! Akhirnya Luna ikut-ikutan berlari.
Melihat Luna tunggang langgang, satu prajurit yang duduk tadi mengejarnya, sementara prajurit lain mengikuti si penunggang kuda mengejar Eric dan teman-temannya ke arah berlainan. Eric dan kawan-kawan tak mempedulikan debu yang bertebaran gara-gara langkah kaki mereka. Kawanan ini terus melaju di jalan yang dikelilingi pagar kawat pembatas kebun-kebun keluarga Alaska. Mereka melewati sekelompok lelaki yang sedang membawa pickaxe, lalu masuk ke dalam kerumunan para wanita yang membawa keranjang berisi buah stroberi. Tubuh ketiganya dihimpit pinggang-pinggang ibu-ibu itu yang sedang sibuk membahas kejadian hilangnya empat gadis di kebun tadi.
Prajurit memacu kudanya melewati rintangan yang sama. Akhirnya si penunggang sampai di persimpangan jalan, di tengah-tengah pemukiman Lafitters. Ada empat cabang jalan penuh kerumunan manusia yang sedang pulang ke rumah masing-masing. Dia tak bisa menerobos saja tanpa tujuan jelas, hanya kekacauan yang akan terjadi, dan itu merupakan sebuah mimpi buruk bagi seorang pemburu. Dia harus tenang dan teliti, menggunakan indera penglihatannya sebaik mungkin untuk menemukan gerakan janggal di tengah pejalan kaki yang terlihat hampir sama semuanya, memakai baju abu-abu kusam dengan wajah murung.
Matanya terus menyoroti setiap sudut kerumunan Lafitters yang bergerak sangat harmonis dan teratur. Setiap orang seperti terhubung lewat telepati yang membuat langkah mereka bergerak dalam tempo yang sama. Seakan kerumunan ini secara sengaja hendak menyembunyikan buruan si prajurit.
Namun ada sebuah gejolak aneh yang mencolok muncul, menentang aktivitas harmonis itu. Tiga bayangan manusia mulai bergerak cepat di balik kereta pembawa jerami milik seorang laki-laki tua.
Tanpa berpikir panjang, si prajurit memacu kudanya dengan cepat sambil berteriak, “Minggir!”
Beberapa orang berlari ke pinggir jalan bahkan ada yang melompat ke tanah agar tidak terinjak. Si penunggang kuda mulai mengacaukan lalu lintas, diikuti prajurit yang berlari, baru saja tiba di persimpangan.
Eric dan Agnes berhasil meninggalkan tempat itu hingga sampai di ujung jalan sebelah timur kota Gazastan. Di depan mereka hanya ada padang ilalang setinggi dada manusia yang memisahkan kota dengan hutan Okigahara. Albert dengan nafas tak beraturan akhirnya berhasil menyusul. Eric melihat ke kiri dan kanan, tak ada jalan selain rumah-rumah panggung. Dia memutuskan untuk menarik lengan Agnes dan Albert, lalu mereka bertiga masuk ke dalam padang ilalang.
Prajurit berkuda tiba lebih awal dari prajurit yang berlari. Namun mereka berdua tak menemukan siapa pun kecuali ribuan ilalang kuning yang terus bergoyang di depan mata.
“Cepat kamu masuk ke sana!” perintah si penunggang kuda.
Prajurit satunya berjalan ragu-ragu mendekati padang ilalang itu. Ketika hendak menyingkap beberapa helai tanaman di depannya, dia berhenti. “Tidak mungkin, ini tempat Theodore dan teman-temannya diambil oleh Wendigo,” keluhnya.
“Masa bodoh dengan Wendigo. Prajurit macam apa kamu takut dengan legenda,” caci si penunggang kuda.
“Ahhh!,” suara gadis yang melengking kencang terdengar dari balik padang. Lalu sekejap teriakan itu hilang ditelan bumi. Kedua prajurit mundur beberapa langkah dari padang ilalang itu. Semua kembali senyap, tak ada suara apapun selain desisan angin menyapu ilalang kuning yang bergerak halus.
“Agnes?!” teriak suara bocah laki-laki di balik padang itu.
“Ahhh.. makhluk apa ini?! Albert tolong aku!” jerit suara bocah barusan. Kemudian tak ada lagi suara selain robekan baju.
“Itu pasti Wendigo!” teriakan prajurit di sampingnya membuat si penunggang terkejut hingga hampir kehilangan kontrol terhadap kuda.
“Tenang!” bentak si penunggang. “Coba lihat baik-baik!”
Si prajurit yang berdiri mencoba menjernihkan pikirannya, lalu mengamati di balik barisan ilalang kuning itu. Dia memang tidak melihat apapun, tapi perasaannya membisikkan bahwa ada sepasang mata bewarna merah sedang mengawasinya saat ini. Tangannya menghunuskan pedang dengan gemetar.
Kemudian di area tengah padang ilalang terdengar suara nafas berat yang semakin membesar, ilalang-ilalang kuning itu terus berjatuhan seperti efek domino. Akhirnya ilalang yang ada tepat di depan kedua prajurit itu terbuka, muncul seorang bocah laki-laki berambut merah di depannya, “Tolong aku!” teriak bocah itu.
Tapi Albert tidak sempat melompat keluar, sepasang tangan berbulu hitam muncul dari tumpukan ilalang di sampingnya, menangkap Albert dari belakang lalu menariknya ke dalam ilalang kembali. Kedua prajurit tadi langsung berbalik arah melarikan diri dari padang itu.
“Aku harus melaporkan ini kepada Sir Leanard,” pikir si penunggang kuda sambil meningkatkan kecepatan kudanya menuju ke kastil putih, meninggalkan si prajurit yang berlari di belakangnya sendirian.
-Bersambung-
Note : Cerita ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email : [email protected]