Beranda Cerpen Cinta yang Sesungguhnya

Cinta yang Sesungguhnya

Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)
loading...

Cerpen | DETaK

Ini kisah lama, hampir kulupakan. Tentu saja agar tidak terlupa, kutulis kisahnya.

Beberapa tahun yang lalu,

IKLAN
loading...


Aku berlari dengan brutal menuju sekolah. Bahkan menabrak siapapun yang menghalangi jalan tanpa berkata, “Maaf, Pak” atau “Permisi, Bu”.

Sudah terlambat, bahkan mereka akan bubar 15 menit lagi. Namun membayangkan muka Kak Laras yang konon, kata temanku lebih seram daripada hantu di malam ketujuh kematian tikus parit yang surut itu, baiknya aku memperlihatkan mukaku ke hadapannya. Sebagai bukti bahwa aku giat latihan. Daripada tidak datang, maka kata-kata yang keluar akan lebih pedas.

“Darimana saja kamu?” Sudah kuduga, begitu sampai akan langsung disemprot. Duh, Kak. Tunggu bentar, dong. Saya belum bernapas, nih.

“Maaf, Kak. Tadi saya ketiduran,” ucapku dengan menunduk ke bawah.

“Sudah tahu mau latihan, jangan tiduran!” bentaknya lagi. Aku memilih diam sambil tetap menunduk. Melihat tanah yang mungkin sedang mentertawakanku. ‘Haha, mampus kau.’ Tiba-tiba, ponselnya berdering.

“Sudah, sana gabung. Bentar lagi Kakak mau pulang. Banyak urusan. Gak cuman kalian aja yang mau diurus,” marahnya, seraya berbalik badan dan menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjauh.

“Kenapa lagi, Wid?” Putri, sejoliku, mulai menghampiri.

“Biasa, aku ketiduran, hehe. Udah yuk, aku mau latihan. Kan, aku pernah bilang kalau aku yang bakal dapatin medali emasnya,” kataku sambil menarik tangannya ke lapangan, di mana yang lain sudah menyelesaikan pertandingan satu lawan satu.

“Hadeh, Widya.”

Aku langsung memulai pemanasan singkat, lalu segera mengambil ancang-ancang. Kali ini lawanku sekaligus temanku adalah Rini, orang yang sudah memiliki pengalaman dalam beberapa kejuaraan. Aku harus bersiaga penuh atas ini.

“Apaan? Tendangan apa itu? Kau mau nendang orang atau tikus?” sorak Kak Laras begitu melihat aku mulai menyerang Rini dengan tendangan. Aku terkejut dan menghentikan serangan selanjutnya, tapi tidak dengan Rini. Dia melanjutkannya dengan menyapu kakiku sehingga dalam keadaan tidak bersiap, aku pun terjatuh. Duh, apa harus tikus? Sementang dikatain hantu tikus.

“Gak sengaja, Wid. Maaf,” bisik Rini memegang tanganku, membantu berdiri.

“Santai, Rin. Yang sakit hatiku, kok, bukan kakiku,” balasku tersenyum.

“Kenapa bisik-bisik?” tanya Kak Laras lagi.

“Gak ada apa-apa kok, Kak. Rini minta maaf,” kataku. Tapi bukan menyambung tentang apa yang kami bisikkan, Kak Laras kembali fokus pada tendanganku.

“Dek, berapa kali harus Kakak bilang. Gak usah pakai jilbab. Itu pengaruh, lho. Lihat tadi tendanganmu gak sempurna. Karena gak leluasa kau melihat, susah seimbang, Dek,” ceramahnya. Namun, menurutku isinya bukanlah ceramah.

“Rambut itu aurat, Kak,” kataku dengan pelan, berharap kebenaran datang kepadanya.

“Nampak bentar aja, emang kenapa? Siap itu bisa dipakai lagi,” sumbarnya lagi. Aku hanya bisa diam menghela napas. Sudah kupikirkan kata-kata yang hendak dikeluarkan, namun tercekat di tenggorokan. Aku tidak tahu kenapa.

Begitulah yang terus terjadi dari awal hingga akhir masa latihan. Tiba kejuaraan tersebut,
“Selanjutnya, Widya dari Bogor melawan Lina dari Riau,” pengeras suara memberitahuku.

“Semangat, Widya. Kau pasti bisa!” beberapa sorakan membangkitkan gejolak semangatku. Sambil naik ke atas arena, aku berikrar dalam hati akan membanggakan semua orang. Aku segera mengambil kuda-kuda. Kami mulai saling menyerang. Di tepi arena, kulirik beberapa juri berdiskusi sambil melihat ke arah kakiku. Tiba-tiba, salah satu juri menghentikan pertandingan. Aku terbingung, pun lawanku.

“Kamu kok pakai jilbab?” tanyanya. Benar dugaanku, lagi-lagi aku harus bercuap ria mengenai kewajiban seorang muslimah yang sering terlalaikan ini.

“Karena rambut itu aurat bagi kami, Pak,” jawabku tetap sopan.

“Aurat gimana?” tanyanya lagi.

“Aurat itu sesuatu yang harus ditutup dan tidak boleh ditampakkan oleh siapapun kecuali dengan mahram, Pak.” Aku kembali menjawab.

“Banyak kok di sini tanding, rambutnya nampak biasa aja,” juri yang lain menimpali.

“Mungkin kesadaran atas diri mereka masih kurang, Pak,” lagi-lagi aku terus menjawab. Entah kenapa, kali ini hatiku tidak bisa berhenti untuk berbicara. Berbicara mengenai kebenaran ini. Memang sudah sepantasnya aku berbicara.

“Kesadaran maksudnya apa?”

“Kamu mungkin yang kurang sadar, ya?”

“Terlalu sadar kali, hahaha….”

“Biasa aja. Kamu berlebihan banget. Terlalu agamais, deh. Mending sana ikut pengajian, di sini bukan tempatnya.”

Tinggalkan perdebatan, walaupun kamu benar,’ aku hanya bisa membatin. Kepalaku semakin menunduk. ‘Tolong hamba-Mu, Yaa Rabb.’

“Jadi gini. Peraturannya di sini peserta tidak boleh memakai penutup kepala ketika bertanding. Nah, kamu harus buka jilbab agar tetap ikut..,” salah satu juri yang nampaknya lebih berwibawa mulai angkat suara, namun menggantung ucapannya, “Jika tidak, maaf, akan didiskualifikasi dan dikeluarkan dari pertandingan.”

“Saya lebih memilih pilihan yang kedua, Pak,” kataku tipis, tapi cukup didengar olehnya. Sebulir air mata jatuh di atas arena tersebut. Aku mengangkat kepala menatapnya.

“Terima kasih telah melayani saya, Pak. Semoga hidayah segera datang kepada Bapak.” Aku langsung keluar gelanggang. Itulah kalimat yang dapat kukeluarkan. Kalimat yang menutup perdebatan itu. Kalimat yang mewakili segalanya. Kalimat yang seolah sebagai pembelaan diri, padahal nyatanya mendoakan.

Cinta yang utama bukanlah ketika timbul perasaan mendalam pada sesuatu di dunia yang fana ini. Seperti rasa cinta hingga sudah terlambat pun masih kau kejar, walaupun dihardik tetap kau bertahan. Bukan pada apapun. Itu tidak ada apa-apanya. Namun, ketika kau disandingkan pada dua pilihan dan kau memilih Dia dengan merelakan segalanya, itulah cinta yang utama. Yaitu cinta kepada-Nya.

Di detik itu, aku merasa gagal membanggakan orang yang kucinta. Tetapi, aku yakin tidak mengecewakan-Nya.

Karena, aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu. (QS 19:4)

Penulis bernama Shahibah Alyani, mahasiswi Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga aktif sebagai anggota UKM Pers DETaK Unsyiah.

Editor: Della Novia Sandra