Cerbung | DETaK
–Kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia–
Jika ditanya, ‘apa hal yang membuatmu sedih?”, pasti akan muncul banyak sekali variasi jawaban, tapi hanya sedikit yang membalas, “ketika pelajaran di kelas berakhir.” Luna termasuk yang sedikit itu. Saat anak-anak lain keluar dari kuil dengan ceria, lari berhamburan untuk mewujudkan rencana yang sudah dirancang selama di kelas, Luna hanya berdiri saja di ambang pintu, menghela nafas pelan, mencoba tegar menunggu kelas yang akan kembali dimulai minggu depan.
Di tangga kastil, duo laki-laki yang pernah menolong Luna saat dijahili dulu sedang duduk termenung, mereka adalah Eric Carter dan Albert Simpson. Bagi Luna, Eric adalah seorang bocah laki-laki berbadan cukup kekar untuk anak seusianya. Dan Albert, yang paling mudah diingat dari bocah ini adalah rambutnya yang mirip tomat, tentu Luna tak pernah mengatakan itu langsung.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya, dengan terkejut Luna segera memandang ke belakang, melihat Agnes Veronica menyeringai nakal. Gadis dengan rambut hanya sepanjang telinga ini menjadi alasan kenapa Luna bisa ikut bertualangan bersama Eric cs. Kehadiran gadis lain di kelompok mereka membuatnya merasa lebih nyaman dan percaya diri ketika bermain. Apalagi, Agnes itu gadis yang cukup perhatian dan bisa diajak diskusi “persoalan wanita.”
“Kalian tahu. Hasil panen coklat Gazastan diminta kerajaan. Musim dingin kali ini bakal jadi yang terpayah dalam hidupku,” keluh Albert kepada Eric, Agnes, dan Luna.
“Yah, siapa yang tak tahu itu,” balas Agnes.
Albert menggunakan dua tangan untuk menopang pipi tembemnya. Wajah murungnya melihat ke tempat kakinya berpijak, “Sejujurnya aku takut menjadi seperti ayah dan ibu. Mereka menambang emas dan memanen coklat, tapi itu semua untuk orang lain.”
Eric menyela, “Ngomong-ngomong tentang menambang emas, tahun depan ketika usiaku sudah 13 tahun, aku disuruh pemimpin klan Carter untuk pergi menambang di gunung Eiko.”
“Ayahku juga menyuruhku ke sana,” tambah Albert.
“Aku ditugaskan untuk berkebun,” sahut Luna.
“Mungkin hanya aku sendiri yang terperangkap di kandang sapi,” keluh Agnes.
Suasana hening beberapa detik sebelum Luna bersuara dengan pelan dan datar. “Ketika sudah sampai usia 13 tahun, kita tidak akan punya waktu bersama seperti ini lagi. Masing-masing sudah harus mengisi perannya dalam masyarakat.”
Agnes menyilangkan kedua tangannya sambil mengemut setangkai ilalang segar, “Sayangnya kita tidak bisa memilih peran yang diinginkan.”
Luna memandang Agnes sambil melayangkan sebuah senyuman. “Setidaknya kita pernah bersama,” pungkasnya.
Rencana awal Luna sebelumnya ke sekolah kuil adalah untuk menghabiskan masa mudanya menikmati berbagai cerita dari Nyonya Lobem sebelum ikut bekerja bersama Lafitters lain. Namun ternyata dia juga mendapatkan anugerah yang tak pernah terpikirkan olehnya, para sahabat baik.
Tetapi saat ini ketiga sahabatnya ini sedang diselimuti kemurungan. Mereka sudah terlanjur tenggelam dalam kegelisahan masing-masing. Pemandangan sedu itu memaksakan Luna untuk berpaling ke arah lain, melihat deretan rumah panggung yang ada di depan kuil. Pikirannya menghayalkan sebuah kemungkinan berbeda dalam hidup. Bagaimana rasanya menjadi seorang putri bangsawan. Bisa memakai baju cantik yang dia suka, memakan hidangan favoritnya setiap hari, dan punya kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri. Mereka tidak perlu memangku beban bekerja kepada orang lain agar bisa bertahan hidup.
“Aku hampir lupa!” tiba-tiba Eric berteriak.
“Kenapa?!” pekik Albert yang terkejut, sedikit ketakutan, dia pikir ada gempa.
Eric menuruni anak tangga dan melihat ke arah teman-temannya, “Aku ingin menjenguk Nicolas. Hari ini dia tidak masuk kelas kuil lagi.”
Luna tergemap, bagaimana bisa dia melupakan kondisi orang yang dulu pernah memimpin mereka dalam setiap pertualangan yang dilakukan. Nicolas adalah anak yang sangat peduli dan bertanggung jawab. Namun sejak kematian ayahnya tiga bulan lalu, sikapnya berubah. Dia menjadi terbiasa bolos ke sekolah kuil. Namun hari ini walaupun dia bolos seperti biasa, Luna merasa tak boleh bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Kemarin ibu Nicolas baru saja dipancung.
Luna, diikuti Albert dan Agnes, menuruni tangga, bergabung dengan Eric pergi ke rumah Nicolas.
-Bersambung-
Note : Cerita ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email : [email protected]com