Cerpen | DETaK
Hitam dan kelam.
Dua hal yang melambangkan duka. Pada sebuah pemakaman pilu di musim hujan, aku memperhatikan satu persatu orang yang berderet menunduk menampilkan raut wajah seakan-akan sedih pada pusara istriku.
IKLAN
loading...
|
Beberapa kerabat terlihat terisak, ada juga yang hanya memasang wajah datar, sisanya terlihat bosan. Bahkan ada yang mengecek arlojinya secara berkala, mulai tidak sabaran mendengar ocehan pemuka agama yang memimpin acara berdoa.
Genap dua tahun semenjak hari pilu itu terjadi, masih jelas diingatanku bagaimana aroma hujan yang menyentuh tanah ketika itu, atau pijakanku yang sedikit licin dan sol sepatuku yang dipenuhi lumpur tanah makam, bahkan hawa dingin yang membuatku remuk hingga ke tulang. Wahai, betapa aku merindukan istriku.
Udara bulan November terasa sangat tajam, bahkan aku merasa kulitku seperti beku di balik sweater dan jas tebal. Kulipat tanganku memeluk dada dan melangkah menyusuri trotoar. Pemberhentian pertamaku adalah toko bunga. Aku meraih sekuntum daisy putih mungil yang cantik, bunga indah itu adalah kesukaan istriku, melambangkan cinta setia dan kepolosan.
Usai membelinya, aku melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 16.15. Sial, karena panggilan darurat siang tadi aku harus menunda janji temu dengan seorang gadis yang kukenal dari salah satu aplikasi dating. Tapi pada akhirnya kami bertemu.
“Maaf, Nona, sepertinya saya salah membeli bunga,” ucapku sambil menyodorkan daisy putih mungil itu.
“Ini indah,” komentarnya senang.
Kami mulai mengobrol, gadis itu sangat aktif dan mendominasi, jemari lentiknya bergerak ke sana kemari ketika bercerita membuatnya terlihat seperti wanita terpelajar, walau harus kuakui bahwa yang dibicarakannya lebih terdengar seperti omong kosong. Jujur saja, aku menikmatinya.
Kedua tangannya indah, setiap kukunya terlihat mengkilap dan berwarna senada dengan gaun yang ia kenakan. Persis seperti tangan istriku.
“Kau punya jemari yang indah, Meesya,” pujiku membuatnya tersipu, dia tersanjung sementara aku tersenyum penuh makna.
***
Malam ini aku pulang cukup larut, bunyi sol sepatu yang beradu dengan lantai menciptakan gema yang seirama dengan detak jarum jam. Kubuka pintu kamar, gelap yang dingin menyambutku, samar-samar dapat kudengar suara isak tangis seorang perempuan yang seolah begitu kesakitan. Tubuhku mulai bergetar, aku meraba saklar lampu dan menyalakannya secepat mungkin. Lalu melangkah perlahan sembari memusatkan pendengaran, rintihan itu semakin keras ketika aku lebih dekat dengan kamar mandi.
Peluh dingin membanjiri keningku. Aku buru-buru meraih salah satu pisau bedah dan mengintip perlahan ke kamar mandi. Kemudian senyumku terbit. “Belum mati juga rupanya.”
Gadis yang terbaring lemah bermandikan darah di dalam bathtub itu mulai meronta dengan sisa-sisa tenaga, air matanya bercucuran saat melihat kedatanganku, rintihannya benar-benar indah hingga membuatku hanyut untuk terus mendengarkan. Kugelung lengan kemaja putihku perlahan lalu membawa tanganku menyeka air matanya, dia menghindar, ah, betapa lucu pemandangan ini. Aku berjongkok memperhatikan tubuh semampai terbalut gaun tidur putih yang kini telah beralih warna.
“Nikmati kencan terakhir kita, Sayang” bisikku penuh kelembutan, aku heran mengapa tangisannya justru lebih pilu. Lagi pula, kencan di rumahku adalah idenya.
Selagi menikmati rintihannya, aku meraih seikat daisy putih dari dalam vas, terlihat lebih segar dari bunga yang kubeli beberapa hari lalu.
“Kau suka daisy, kan, Meesya?” tanyaku penuh harap. Dia menggeleng cukup kuat sembari memejamkan mata. Aku memasang wajah kecewa. “Padahal bunga ini sama cantiknya denganmu.”
Gerakku beralih mengambil kotak alat bedah di atas wastafel. Satu persatu kutata perlengkapan itu dengan hati-hati.
“Terlintas ide bagus di otak cerdasku,” kataku riang, tanganku aktif mencabuti bunga-bunga lucu itu dari tangkainya.
“Menurutmu, bagaimana jika bunga-bunga ini hidup di tubuhmu? Pasti kau akan terlihat lebih cantik dengan motif itu, kau setuju, kan, Sayang?”
Tapi air muka gadis itu justru jatuh menjadi lebih ketakutan. Padahal ini ‘kan ide bagus. Aku tidak peduli. Langsung kuambil jarum dan benang jahit, mengingat ini akan sangat berantakan dengan darah, daging, dan kulit, maka aku tak lupa mengenakan sarung tangan.
“Tenang saja, aku penjahit yang andal.”
Gadis itu memekik tertahan ketika aku mulai menusuk jarum dan benang perlahan-lahan, merekatkan bunga daisy cantik itu ke bahunya. Aku tersenyum lebar, sudah kukatakan bahwa menjahit memanglah bagian yang kusukai.
Peluh membasahi seluruh pelipisnya, membuat anak-anak rambut milik gadis itu menempel di sana. Aku menyibaknya dengan perlahan. “Tempat yang bagus.”
Dan selanjutnya bunga-bunga cantik itu menghiasi pelipisnya dengan indah, darah bercampur keringat membuatnya menjerit lagi karena rasa perih yang tak tertahan.
“Gadis cantik, kita sudah sampai di akhir permainan. Kau sudah siap?” Tentu saja kepalanya menggeleng cepat seperti anak kecil yang sulit dibujuk untuk minum obat.
Aku hanya membutuhkan kedua tangannya, jadi mungkin pisau saja sudah cukup untuk memisahkan bagian tersebut dari tubuh. Malam ini akan menjadi malam yang sangat melelahkan, tak masalah, aku menikmatinya.
Sudah nyaris pagi ketika aku selesai dengan mainanku. Kini aku menuju ruang bawah tanah dengan secangkir kopi di tangan. Kursi tunggal di tengah ruangan adalah singgasanaku, tempat dimana aku sering duduk diam, mengobrol dan berbagi cerita dengan istriku. Tepatnya setiap bagian tubuh yang telah kurangkai menyerupai istriku.
Di dalam kotak kaca, kabut dan cahaya biru neon menghiasi bak ruang pendingin, terbaring sesosok tubuh tanpa kepala dengan setiap bagian penuh jahitan, kulitnya sepucat mayat. Tapi aku benar-benar puas karena bentuknya nyaris sama dengan istriku. Aku tak sabar untuk menyelesaikannya. Pasti dia akan terlihat jauh lebih cantik dengan kepala dan senyum manisnya yang dahulu sering kulihat.
***
Malam ini aku akan bertemu dengan Alice, target terakhir untuk menyempurnakan rancanganku. Oleh sebab itu, ini adalah malam yang sangat istimewa. Seperti biasa, aku mampir ke toko bunga. Pilihanku jatuh pada mawar putih yang menawan di sudut sana, terlihat anggun dan bersinar.
Aku sampai lebih dulu, tak berselang lama Alice pun datang dengan senyum tipis yang mengalihkan, wajahnya nyaris mirip dengan istriku. Aku berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Aland,” kataku.
“Alice, senang bertemu denganmu, Dokter,” jawab Alice dengan sopan.
“Gaunmu sangat serasi dengan mawar manis ini.” Aku menjulurkan mawar putih itu, warnanya memang serasi karena Alice mengenakan gaun putih tulang selutut dengan bahu yang terbuka. Alice menyanggul rambut cokelat madu miliknya dengan poni dan beberapa anak rambut yang dibiarkan begitu saja membingkai wajah mungilnya.
Alice ternyata tipe gadis pendiam yang lebih suka mendengarkan daripada bercerita. Dia adalah seorang mahasiswi semester akhir yang hobi mengoleksi hal-hal unik.
“Bagaimana jika kutunjukkan koleksiku padamu? Kau pasti akan menyukainya,” tawarku penuh makna.
“Bolehkah?”
“Tentu saja, kita bisa ke rumahku malam ini juga.”
“Terima kasih banyak.” Tepat sekali! Alice yang lugu.
Kami sampai di rumah setengah jam kemudian. Alice terlihat senang mengamati setiap benda yang kupajang, aku membiarkannya sesaat dan beralih ke dapur untuk membuatkan teh, dia harus dibius lebih dulu agar mudah membawanya ke ruang eksperimenku. Namun, tanpa bisa kuelakkan, pandanganku menggelap bersamaan dengan kurasakan tubuhku hilang kontrol dan terjatuh.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Cahaya terang bak lampu sorot itu menembus retinaku hingga aku butuh waktu untuk menyesuaikannya. Yang pertama kali tampak di penglihatanku adalah Alice, gadis itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, dia mengamatiku sambil tersenyum. Tunggu, dia mengamatiku?
“Dokter,” panggilnya dengan suara dalam yang dibuat agar terdengar menggoda. “Aku mengambil peranmu sekarang.”
Aku meronta, mencoba membebaskan diri tapi tak ada cara, ini adalah kursi yang kurancang sendiri agar setiap pasienku tidak bisa memberontak. Tak pernah terbayangkan aku yang akan duduk di sini sekarang. Dia tertawa keras.
Alice menghamburkan kotak peralatan bedahku hingga isinya tumpah ruah di lantai. Jantungku berdebar keras melihatnya meraih jarum dan benang yang sebelumnya kugunakan untuk menjahit bunga di tubuh Meesya. Mulutku dilakban, aku hanya bisa membelalakkan mata sebagai isyarat bertanya apa yang ingin dia lakukan.
“Mawar putih memanglah pilihan yang tepat, Dokter. Selera kita sama,” tukasnya menghirup aroma mawar itu dengan rakus. “Aku yakin kau lupa bahwa mawar putih tak hanya menggambarkan cinta suci dan kedamaian, tapi juga dukacita.”
“Malam ini akan menjadi malam dukacita untukmu.” Dia tertawa keras dengan janggal.
Jemari Alice mula meraba sisi dada kiriku. “Ah, ketemu, detaknya keras juga.” Peluh dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Aku mengerang karena gadis itu tanpa aba-aba langsung menusukku hingga darah merembes membasahi kemeja.
“Kau akan terlihat seperti laki-laki romantis jika ada bunga di sini, tak masalah bila kujahit saja, kan?” Dia terus mengajakku bicara selagi daging dan kulitku dirobeknya dengan keras, ini benar-benar menyakitkan.
Gaun putihnya berlumuran darah, pun wajah cantiknya. Amisnya kini terasa memuakkan bagiku dan mencekat. Aku tak lagi berdaya, sekelebat rasa sakit itu justru terasa seratus kali lipat lebih menyakitkan ketika kuingat bahwa hal ini lah yang dirasakan oleh semua gadis yang pernah kuperlakukan seperti ini, dan tentu saja istriku. Ya, dia juga bagian dari mainanku.
Seluruh tubuhku rasanya akan meledak ketika Alice mulai mencabuti kulit leherku, aku tak lagi mampu menjabarkan, dikuliti hidup-hidup adalah hal paling buruk.
“Ah, aku belum menceritakan tentang koleksiku padamu, kau terlalu gegabah membawaku ke sini.” Dia terkekeh sejenak.
“Kau tahu? Aku mengoleksi kepala manusia.”
Hitam dan kelam.
Dua hal yang melambangkan duka. Pada sebuah pemakaman pilu di musim hujan, aku memperhatikan satu persatu orang yang berderet menunduk menampilkan raut—seakan-akan—sedih pada pusara istriku.
Beberapa kerabat terlihat terisak, ada juga yang hanya memasang wajah datar, sisanya terlihat bosan. Bahkan ada yang mengecek arlojinya secara berkala, mulai tidak sabaran mendengar ocehan pemuka agama yang memimpin acara berdoa.
Genap dua tahun semenjak hari pilu itu terjadi, masih jelas diingatanku bagaimana aroma hujan yang menyentuh tanah ketika itu, atau pijakanku yang sedikit licin dan sol sepatuku yang dipenuhi lumpur tanah makam, bahkan hawa dingin yang membuatku remuk hingga ke tulang. Wahai, betapa aku merindukan istriku.
Udara bulan November terasa sangat tajam, bahkan aku merasa kulitku seperti beku di balik sweater dan jas tebal. Kulipat tanganku memeluk dada dan melangkah menyusuri trotoar. Pemberhentian pertamaku adalah toko bunga. Aku meraih sekuntum daisy putih mungil yang cantik, bunga indah itu adalah kesukaan istriku, melambangkan cinta setia dan kepolosan.
Usai membelinya, aku melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 16.15. Sial, karena panggilan darurat siang tadi aku harus menunda janji temu dengan seorang gadis yang kukenal dari salah satu aplikasi dating. Tapi pada akhirnya kami bertemu.
“Maaf, Nona, sepertinya saya salah membeli bunga,” ucapku sambil menyodorkan daisy putih mungil itu.
“Ini indah,” komentarnya senang.
Kami mulai mengobrol, gadis itu sangat aktif dan mendominasi, jemari lentiknya bergerak ke sana kemari ketika bercerita membuatnya terlihat seperti wanita terpelajar, walau harus kuakui bahwa yang dibicarakannya lebih terdengar seperti omong kosong. Jujur saja, aku menikmatinya.
Kedua tangannya indah, setiap kukunya terlihat mengkilap dan berwarna senada dengan gaun yang ia kenakan. Persis seperti tangan istriku.
“Kau punya jemari yang indah, Meesya,” pujiku membuatnya tersipu, dia tersanjung sementara aku tersenyum penuh makna.
***
Malam ini aku pulang cukup larut, bunyi sol sepatu yang beradu dengan lantai menciptakan gema yang seirama dengan detak jarum jam. Kubuka pintu kamar, gelap yang dingin menyambutku, samar-samar dapat kudengar suara isak tangis seorang perempuan yang seolah begitu kesakitan. Tubuhku mulai bergetar, aku meraba saklar lampu dan menyalakannya secepat mungkin. Lalu melangkah perlahan sembari memusatkan pendengaran, rintihan itu semakin keras ketika aku lebih dekat dengan kamar mandi.
Peluh dingin membanjiri keningku. Aku buru-buru meraih salah satu pisau bedah dan mengintip perlahan ke kamar mandi. Kemudian senyumku terbit. “Belum mati juga rupanya.”
Gadis yang terbaring lemah bermandikan darah di dalam bathtub itu mulai meronta dengan sisa-sisa tenaga, air matanya bercucuran saat melihat kedatanganku, rintihannya benar-benar indah hingga membuatku hanyut untuk terus mendengarkan. Kugelung lengan kemaja putihku perlahan lalu membawa tanganku menyeka air matanya, dia menghindar, ah, betapa lucu pemandangan ini. Aku berjongkok memperhatikan tubuh semampai terbalut gaun tidur putih yang kini telah beralih warna.
“Nikmati kencan terakhir kita, Sayang” bisikku penuh kelembutan, aku heran mengapa tangisannya justru lebih pilu. Lagi pula, kencan di rumahku adalah idenya.
Selagi menikmati rintihannya, aku meraih seikat daisy putih dari dalam vas, terlihat lebih segar dari bunga yang kubeli beberapa hari lalu.
“Kau suka daisy, kan, Meesya?” tanyaku penuh harap. Dia menggeleng cukup kuat sembari memejamkan mata. Aku memasang wajah kecewa. “Padahal bunga ini sama cantiknya denganmu.”
Gerakku beralih mengambil kotak alat bedah di atas wastafel. Satu persatu kutata perlengkapan itu dengan hati-hati.
“Terlintas ide bagus di otak cerdasku,” kataku riang, tanganku aktif mencabuti bunga-bunga lucu itu dari tangkainya.
“Menurutmu, bagaimana jika bunga-bunga ini hidup di tubuhmu? Pasti kau akan terlihat lebih cantik dengan motif itu, kau setuju, kan, Sayang?”
Tapi air muka gadis itu justru jatuh menjadi lebih ketakutan. Padahal ini ‘kan ide bagus. Aku tidak peduli. Langsung kuambil jarum dan benang jahit, mengingat ini akan sangat berantakan dengan darah, daging, dan kulit, maka aku tak lupa mengenakan sarung tangan.
“Tenang saja, aku penjahit yang andal.”
Gadis itu memekik tertahan ketika aku mulai menusuk jarum dan benang perlahan-lahan, merekatkan bunga daisy cantik itu ke bahunya. Aku tersenyum lebar, sudah kukatakan bahwa menjahit memanglah bagian yang kusukai.
Peluh membasahi seluruh pelipisnya, membuat anak-anak rambut milik gadis itu menempel di sana. Aku menyibaknya dengan perlahan. “Tempat yang bagus.”
Dan selanjutnya bunga-bunga cantik itu menghiasi pelipisnya dengan indah, darah bercampur keringat membuatnya menjerit lagi karena rasa perih yang tak tertahan.
“Gadis cantik, kita sudah sampai di akhir permainan. Kau sudah siap?” Tentu saja kepalanya menggeleng cepat seperti anak kecil yang sulit dibujuk untuk minum obat.
Aku hanya membutuhkan kedua tangannya, jadi mungkin pisau saja sudah cukup untuk memisahkan bagian tersebut dari tubuh. Malam ini akan menjadi malam yang sangat melelahkan, tak masalah, aku menikmatinya.
Sudah nyaris pagi ketika aku selesai dengan mainanku. Kini aku menuju ruang bawah tanah dengan secangkir kopi di tangan. Kursi tunggal di tengah ruangan adalah singgasanaku, tempat dimana aku sering duduk diam, mengobrol dan berbagi cerita dengan istriku. Tepatnya setiap bagian tubuh yang telah kurangkai menyerupai istriku.
Di dalam kotak kaca, kabut dan cahaya biru neon menghiasi bak ruang pendingin, terbaring sesosok tubuh tanpa kepala dengan setiap bagian penuh jahitan, kulitnya sepucat mayat. Tapi aku benar-benar puas karena bentuknya nyaris sama dengan istriku. Aku tak sabar untuk menyelesaikannya. Pasti dia akan terlihat jauh lebih cantik dengan kepala dan senyum manisnya yang dahulu sering kulihat.
***
Malam ini aku akan bertemu dengan Alice, target terakhir untuk menyempurnakan rancanganku. Oleh sebab itu, ini adalah malam yang sangat istimewa. Seperti biasa, aku mampir ke toko bunga. Pilihanku jatuh pada mawar putih yang menawan di sudut sana, terlihat anggun dan bersinar.
Aku sampai lebih dulu, tak berselang lama Alice pun datang dengan senyum tipis yang mengalihkan, wajahnya nyaris mirip dengan istriku. Aku berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Aland,” kataku.
“Alice, senang bertemu denganmu, Dokter,” jawab Alice dengan sopan.
“Gaunmu sangat serasi dengan mawar manis ini.” Aku menjulurkan mawar putih itu, warnanya memang serasi karena Alice mengenakan gaun putih tulang selutut dengan bahu yang terbuka. Alice menyanggul rambut cokelat madu miliknya dengan poni dan beberapa anak rambut yang dibiarkan begitu saja membingkai wajah mungilnya.
Alice ternyata tipe gadis pendiam yang lebih suka mendengarkan daripada bercerita. Dia adalah seorang mahasiswi semester akhir yang hobi mengoleksi hal-hal unik.
“Bagaimana jika kutunjukkan koleksiku padamu? Kau pasti akan menyukainya,” tawarku penuh makna.
“Bolehkah?”
“Tentu saja, kita bisa ke rumahku malam ini juga.”
“Terima kasih banyak.” Tepat sekali! Alice yang lugu.
Kami sampai di rumah setengah jam kemudian. Alice terlihat senang mengamati setiap benda yang kupajang, aku membiarkannya sesaat dan beralih ke dapur untuk membuatkan teh, dia harus dibius lebih dulu agar mudah membawanya ke ruang eksperimenku. Namun, tanpa bisa kuelakkan, pandanganku menggelap bersamaan dengan kurasakan tubuhku hilang kontrol dan terjatuh.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Cahaya terang bak lampu sorot itu menembus retinaku hingga aku butuh waktu untuk menyesuaikannya. Yang pertama kali tampak di penglihatanku adalah Alice, gadis itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, dia mengamatiku sambil tersenyum. Tunggu, dia mengamatiku?
“Dokter,” panggilnya dengan suara dalam yang dibuat agar terdengar menggoda. “Aku mengambil peranmu sekarang.”
Aku meronta, mencoba membebaskan diri tapi tak ada cara, ini adalah kursi yang kurancang sendiri agar setiap pasienku tidak bisa memberontak. Tak pernah terbayangkan aku yang akan duduk di sini sekarang. Dia tertawa keras.
Alice menghamburkan kotak peralatan bedahku hingga isinya tumpah ruah di lantai. Jantungku berdebar keras melihatnya meraih jarum dan benang yang sebelumnya kugunakan untuk menjahit bunga di tubuh Meesya. Mulutku dilakban, aku hanya bisa membelalakkan mata sebagai isyarat bertanya apa yang ingin dia lakukan.
“Mawar putih memanglah pilihan yang tepat, Dokter. Selera kita sama,” tukasnya menghirup aroma mawar itu dengan rakus. “Aku yakin kau lupa bahwa mawar putih tak hanya menggambarkan cinta suci dan kedamaian, tapi juga dukacita.”
“Malam ini akan menjadi malam dukacita untukmu.” Dia tertawa keras dengan janggal.
Jemari Alice mula meraba sisi dada kiriku. “Ah, ketemu, detaknya keras juga.” Peluh dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Aku mengerang karena gadis itu tanpa aba-aba langsung menusukku hingga darah merembes membasahi kemeja.
“Kau akan terlihat seperti laki-laki romantis jika ada bunga di sini, tak masalah bila kujahit saja, kan?” Dia terus mengajakku bicara selagi daging dan kulitku dirobeknya dengan keras, ini benar-benar menyakitkan.
Gaun putihnya berlumuran darah, pun wajah cantiknya. Amisnya kini terasa memuakkan bagiku dan mencekat. Aku tak lagi berdaya, sekelebat rasa sakit itu justru terasa seratus kali lipat lebih menyakitkan ketika kuingat bahwa hal ini lah yang dirasakan oleh semua gadis yang pernah kuperlakukan seperti ini, dan tentu saja istriku. Ya, dia juga bagian dari mainanku.
Seluruh tubuhku rasanya akan meledak ketika Alice mulai mencabuti kulit leherku, aku tak lagi mampu menjabarkan, dikuliti hidup-hidup adalah hal paling buruk.
“Ah, aku belum menceritakan tentang koleksiku padamu, kau terlalu gegabah membawaku ke sini.” Dia terkekeh sejenak.
“Kau tahu? Aku mengoleksi kepala manusia.”
Penulis bernama Vira Milya, Mahasiswa Angkatan 2019 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Feti Mulia Sukma