Opini | DETaK
Sejarah mencatat, tanggal 2 September 1959 merupakan tonggak awal permulaan perjalanan Kopelma Darussalam menjadi domain dan sentral pendidikan Aceh kala itu, wajah pendidikan Aceh yang usang karena perjalanan konflik dari masa belanda ke DI/TII beralih menjadi secercah harapan yang muncul di Kopelma Darussalam sebagai wadah candradimuka masyarakat Aceh yang menggeluti dunia pendidikan tinggi.
Pembangunan Kopelma Darussalam tidak terlepas perannya dari tokoh Aceh kala itu Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Mayor Teuku Hamzah Bendahara, dan tokoh lainnya yang menuangkan gagasan dan kontribusi besarnya dalam bermufakat meletakkan pondasi dasar pembangunan pendidikan Aceh yang ditandai dengan lahirnya Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh(YDKA) pada 21 April 1958. Lembaga ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal dari Bank Pembangunan Daerah Aceh (sekarang Bank Aceh Syariah).
IKLAN
loading...
|
Bergulirnya waktu hingga kini mencatat, mulai dari pembangunan Kopelma Darussalam yang ditujukan sebagai tumpuan cita-cita kolektif rakyat Aceh akan hadirnya perguruan tinggi di persada tanah Iskandar muda Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA). Darussalam adalah bukti nyata kiprah founding father pendidikan Aceh dalam konteks Kopelma Darussalam dengan penuh kebanggaan menorehkan kalimat “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. Darussalam menuju kepada pelaksanaan tjita-tjita,”
Goresan pena itu diletakkan di atas sekeping batu marmer yang indah dan dilekatkan pada tugu di tengah savana bekas tanah erpacht NV Rumpit dalam kawasan kenegerian Ulee Balang Teuku Nyak Arif di Lamnyong. Tulisan itu kini melekat pada tugu KOPELMA di Darussalam Banda Aceh. Tepat di hari itu juga Ali Hasjmy mengeluarkan Keputusan No.90 Tahun 1959 yang menetapkan 2 September sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Hal itu dilakukan untuk memajukan pendidikan di Aceh.
Di samping itu, juga diciptakan dua lagu mars, yaitu Mars Hari Pendidikan dan Mars Darussalam. Lagu tersebut harus dinyanyikan oleh murid sekolah dasar hingga mahasiswa perguruan tinggi di Daerah Istimewa Aceh. Kenyataan yang sangat bermakna dengan cita-cita atau usaha Ali Hasjmy ketika menjabat sebagai Gubernur Aceh antara lain rekonsiliasi antara pemerintahan dengan pihak DI/TII, alhasil lahirlah Kopelma Darussalam sebagai kompensasi perdamaian “Ikrar Lamteh”.
Namun dewasa ini, agaknya lagu tersebut tak pernah terdengar lagi di setiap sudut kelas atau ruangan yang berada di kampus Kopelma Darussalam, atau bahkan kita tak memahami dan digemakan di Bumi Tanah Rencong ini, pelajar sampai dengan mahasiswa seakan lupa dengan khazanah pendidikan Kopelma Darussalam yang penuh akan romantika kisah masa lalunya dan betapa beratnya perjuangan untuk meraih pendidikan Aceh ke arah yang lebih maju.
Berbagai dinamika bergelut di Kopelma Darussalam dewasa ini, mulai dari pergolakan vertikal maupun horizontal tercatat dalam perjalanan sejarah Kopelma Darussalam, mulai dari dinamika antar perguruan tinggi di dalamnya, konflik dingin dengan Pemerintahan Aceh, sampai dengan pergulatan antara dosen di dalamnya, dan peristiwa-peristiwa lainnya yang membuat wajah Darussalam bias dan berubah dengan konotasi negatif.
Pendidikan Intelek dan Pendidikan Kebudayaan
Darussalam merupakan wajah intelektual, narasi intelektual menjadi penting dalam dunia pendidikan, namun apabila wajah intelektual itu dibalut dengan romantika yang agaknya membuat wajah Darussalam menjadi muram. Potret pendidikan Darussalam mengarah pada degradasi moral dan menitikkan noda hitam terhadap wajah pendidikan Aceh saat ini.
Ki Hajar Dewantara seorang Bapak Pendidikan Nasional memiliki perspektif tersendiri dalam menganalisis konvergensi antara pendidikan intelek dan pendidikan kebudayaan. Dalam pidato beliau pada kegiatan pengukuhan Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM), beliau mengatakan bahwa pendidikan di zaman Hindia Belanda itu “semata-mata pendidikan intelek” dan mengabaikan “pendidikan kebudayaan,”.
Sang Bapak Pendidikan Nasional mendeskripsikan dengan jelas spirit pendidikan berbasis budaya, dan membebaskan alam pikiran dengan konsep “Pendidikan Among” yaitu berpikir dan bertindak dengan leluasa, dan sejauh mungkin menghindari unsur-unsur perintah keharusan dan paksaan. Agaknya dewasa ini pemikiran dan konsep among telah usang dan diabaikan begitu saja di perguruan tinggi, misalnya dengan potret wajah pendidikan dengan kebebasan mimbar akademik yang direnggut begitu saja, kritik dan kebebasan akademik, semua hal ini bermuara pada kematian kehadiran kampus dan intelektual hanya sebagai etalase dan badut kampus semata.
Relasi kekuasaan dan hegemoni pun tidak terlepas dari politisasi wadah pengembangan ilmu pengetahuan, fatalnya para intelektual tidak memahami akan perguruan tinggi sebagai benteng terakhir moral pendidikan negara, manifestasi kampus sebagai wajah moral bangsa pun tergerus, cerminan kampus sebagai produsen manusia yang memiliki moralitas yang baik agaknya jauh dari panggang api ketika melihat dinamika Kopelma Darussalam, dan lebih mengarah pada konsep “Manusia Indonesia” yang disampaikan oleh pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada Tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki(TIM).Hipokritnya manusia telah berkembang di kampus, wajah Kopelma Darussalam dan lembaga pendidikan seyogyanya memiliki fungsi utama pada pengambangan keilmuan dengan berpegang teguh pada kebebasan akademik. Dengan ini moralitas kampus sebagai wajah pendidikan Aceh saat ini.
Pembungkaman kebebasan akademik haruslah ditentang sejak dalam pikiran, seorang intelektual seharusnya tahu dan sadar akan integritasnya dan tak akan tunduk pada kekuasaan, apalagi kekuasaan yang menghegemoni. “Kajian dan kritik terus menerus kepada perguruan tinggi. Tidak pernah dalam sejarah reformasi, perguruan tinggi dan rector-rektornya bungkam pada cacat demokrasi ini,” (Fachri Ali).
Hendaklah kampus tidak menjadi penjara atau bahkan akuarium kecil yang dihuni ikan-ikan yang besar, keberadaan kampus berayal-ayalan menuju pada menara gading, aktivitas kampus dikhawatirkan akan semakin jauh dan membentuk sekat-sekat sosial, bahkan realitas sosial di dalamnya. Sebagai wajah pendidikan Aceh yang dicita-citakan menuju pada insan-insan yang berintegritas dan bermoral.
Kebebasan akademik juga agaknya menjadi utopia, kemerdekaan berpikir dan berpendapat dipandang sebagai subversif, kritik-kritik dilarang atas nama sopan-santun, pencemaran nama baik, bahkan sampai dengan pembenaran atas etika dan moralitas intelektual. Warna demokrasi kampus agak samar layaknya Orba, kekhawatiran kita adalah ketika kemasan demokrasi yang hanya berganti rupa, namun wataknya sama.
Kebenaran tetaplah menjadi kebenaran, publik akan melihat Kopelma Darussalam sebagai wajah pendidikan Aceh yang cerah, tanpa adanya kejahatan dengan warna kerah apa pun, kejahatan tetaplah haram dalam lingkaran intelektual, Kopelma Darussalam adalah wajah yang bersih dari segala tinta hitam catatan sejarah, masa depan Kopelma Darussalam seyogyanya dibangun dengan kebebasan akademik salah satunya.
Paradigma pembangunan dan kebebasan dipandang sebagai bagian integral yang tak terpisahkan, kebebasan diyakini sebagai tujuan sekaligus alat utama pembangunan itu sendiri, oleh karena itu arah pembangunan Kopelma Darussalam harus menghidupkan dinamika dan dialektika di dalamnya, tak ada kebebasan, maka tak ada pembangunan.
Begitulah wajah pendidikan kita dan menjadi harapan kolektif rakyat Aceh, bahkan mungkin rakyat Indonesia, agar Kopelma Darussalam harus dibersihkan dari segala bentuk feodalisme, dan bersih dari segala tindakan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Kembalikan wajah cerah Kopelma Darussalam sebagai harapan kolektif dalam memproduksi intelektual yang demokratis, bermoral, dan sadar akan realitas sosial.
Semoga dengan hadirnya dinamika sosial yang ada di Kopelma Darussalam, akan merujuk pada satu visi bersama, yaitu “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. Darussalam menuju kepada pelaksanaan tjita-tjita”. Mari bahu-membahu, bekerja suka dharma demi mewujudkan Kopelma Darussalam sebagai jantung dan hati nya rakyat Aceh.
Penulis adalah T Muhammad Shandoya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala (USK).
Editor: Della Novia Sandra