Sahida Purnama [AM] | DETaK
Bisa merasakan kuliah di luar negeri menjadi impian sebagian besar pelajar, selain bisa menambah pengalaman baru, kita juga berkesempatan untuk dapat merasakan pendidikan yang lebih mumpuni dan masa depan yang gemilang.
Seperti kisah Muhammad Al Hariri, Mahasiswa asal Aceh yang berhasil menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar yang terletak di Kairo, Mesir. Memilih Jurusan S1 Syariah Islamiyah, ia pun menceritakan awal mula ia bisa kuliah di luar negeri.
Awal Mula Niat Kuliah di Mesir
Pria yang akrab disapa Hariri ini mengungkapkan ketika Sekolah Dasar (SD) tidak pernah berniat untuk kuliah ke Mesir. Ia juga tidak pernah menyukai pelajaran bahasa Arab bahkan untuk mempelajarinya saja ia tidak tertarik dan beranggapan bahwa bahasa Arab itu pelajaran yang sangat membosankan sehingga nilai bahasa arabnya sangat jelek. Ia hanya ingin belajar musik dan merasa keahliannya adalah bermain musik.
“Saya tidak tertarik belajar bahasa Arab, saya hanya tertarik belajar musik dan banyak mengikuti ekskul musik ketika itu,” ungkapnya.
Pola pikir Hariri mulai berubah ketika ia masuk jenjang sekolah menegah di Pesantren Modern Tgk. Chiek Oemar Diyan, Banda Aceh. Pesantren adalah tempat Hariri menghabiskan masa remajanya dengan belajar, di sana ia baru menyadari bahwa bahasa Arab tidak sesulit apa yang dipikirkannya ketika masih SD, ia bertemu dengan banyak orang dan mulai menyukai Bahasa Arab.
“Ternyata bahasa Arab tidak sesusah apa yang saya bayangkan, ketika saya menetap di lingkungan orang yang mengamalkan Bahasa rasanya semua menjadi mudah bahkan Bahasa lebih mudah daripada bermain musik”, ujarnya.
Menghadapi Penolakan
Di pesantren juga Hariri mulai menata mimpinya. Ia mulai bermimpi untuk melanjutkan belajar di Mesir ketika memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu, ia memilih masuk jurusan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan). Namun ketika ia mulai ingin mewujudkan mimpinya, orang-orang mulai meremehkannya bahkan sempat ditertawakan oleh teman-temannya. Ini karena perilaku Hariri yang ketika SMA, ia merupakan salah satu murid yang nakal jika dibandingkan teman-temannya di pesantren. Namun ia tidak peduli, ia tetap ingin mengejar mimpinya, menurutnya mimpi adalah sesuatu yang harus ia dapatkan.
“Apa salahnya saya bermimpi dan ingin mengejar cita-cita? Kalau dibilang tidak cocok, ya, itu namanya tantangan buat saya,” ujar Hariri.
Tidak berhenti sampai di situ, ia juga pernah diremehkan oleh salah satu ustadznya di pesantren. Dirinya seperti dipandang sebelah mata dan tidak memiliki keahlian karena Hariri dianggap terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk bermain musik dibandingkan belajar.
“Sempat saya ditanya oleh ustadz mau melanjutkan belajar ke mana. Saya jawab saya mau ke Mesir, terus ustadz saya bilang, kamu ngapain ke Mesir, kamu ga cocok di Mesir.”
Ketika itu, Hariri merasa putus asa dan sempat ingin pindah jurusan, tetapi akhirnya dia urungkan karena ada satu ustadz yang memberikan ia motivasi.
Rintangan berlanjut ketika Hariri harus dihadapkan dengan kenyataan ketika ia tidak lolos tes ujian masuk di Mesir dan di Yogyakarta. Ia sempat putus asa karena gagal meraih impiannya. Sampai akhirnya ia mendapatkan informasi mengenai sebuah program untuk kuliah di Mesir, lalu ia dikirim oleh orang tua ke Jakarta untuk mengikuti program tersebut dan akhirnya lolos untuk melanjutkan kuliah ke Mesir.
Menurutnya hal yang paling terpenting adalah kemauan, ketika kita mau mengejar sesuatau maka akan menemukan sebuah kesempatan.
Kuliah di Mesir
Pria yang kini berusia 19 tahun itu pun mengungkapkan kerasnya kuliah di Mesir. Ia harus beradaptasi dengan orang-orang dari berbagai negara. Perbedaan budaya di Indonesia dan Mesir membuat ia sedikit susah untuk beradaptasi di sana. Tapi lambat laun ia mulai terbiasa karena banyak teman dan senior yang membantu ia beradaptasi.
Hariri berharap ketika nanti pulang ke Aceh nanti, ia bisa menjadi seorang pendidik untuk membangkitkan semangat generasi selanjutnya. Hariri berpendapat bahwa sekarang ini banyak guru yang tidak mendidik dengan baik sehingga menurunkan semangat belajar anak didik.
“Tugas guru itu seperti sudah kehilangan peran, banyak guru yang hanya memberikan tugas kepada muridnya sehingga banyak merusak mental murid,” tutupnya.[]
Editor: Indah Latifa