Hijratun Hasanah [AM] | DETaK
Apapun yang dilakukan jangan pernah gengsi atau minder jika sudah berniat untuk sekolah dan mengejar masa depan, lakukanlah. Karena yang dicari adalah rezeki yang halal.
Ini adalah kisah Nita Malasari, seorang mahasiswa semester lima Program Studi Budidaya Perairan, USK (Universitas Syiah Kuala). Gadis kelahiran Sidikalang 1 Desember 2000 ini berasal dari Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara. Nita merupakan anak kelima dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang bisa mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.
IKLAN
loading...
|
Kisah Nita bermula dari kelulusan SMP, saat itu Nita sempat ingin melanjutkan sekolah ke SMK plihanya, namun keinginan tersebut berujung pupus karena keterbatasan ekonomi keluarga. Apalah daya karena saat itu sang ayah hanya bekerja membuat batu bata. Di tengah dilema yang ia rasakan, salah seorang kerabat saudara datang menawarkan Nita untuk tetap melanjutkan SMA dan bersekolah di Aceh Tenggara (Kutacane) dengan biaya sekolah dan hidup ditanggung oleh saudara tersebut. Nita dan keluargapun akhirnya setuju, dan mulai saat itu Nita harus hidup berjauhan dengan orang tuanya.
Awal ketika Nita bersekolah di SMA Negeri 3 Kutacane, ia mulai merasakan keadaan hidup di rumah saudara yang hanya terasa mudah dan manis di awalnya saja. Namun lama-kelamaan, Nita sering merasakan perasaan tak mengenakan hati. Walau Nita seperti kebanyakan pelajar lainya, yaitu pergi sekolah ketika pagi, lalu usai pulang sekolah ikut bantu-bantu di rumah saudaranya, tetapi tetap saja pandangan saudara itu semakin hari semakin tidak bersahabat padanya, ada saja perselisihan dan hal tidak mengenakan yang terjadi.
“Sempat berniat akan putus SMA karena tidak tahan lagi tinggal di rumah saudara, padahal saudara itu sendiri yang menjanjikan akan menyekolahkan dan saya mau, daripada tidak sekolah sama sekali,” ujar Nita.
Setelah enam bulan tinggal di rumah saudara tersebut, Nita akhirnya memutuskan untuk mengekos di daerah Pulo Kemiri dan tetap melanjutkan SMA-nya. Saat itu Nita hanya bermodalkan uang Rp 20.000,00 yang ia bawa untuk mengekos. Nita sempat amat sedih dan putus asa, “Saya sempat tidak makan selama tiga hari, karena tidak punya cukup uang dan saya hanya bisa makan roti,” tuturnya. Ia pun menangis saat itu namun tidak tega untuk mengabarkan keadaanya tersebut kepada kedua orang tuanya.
“Orang tua saya tidak tau masalah saya seperti itu, mereka hanya tau saya baik-baik saja sekolah di Kutacane, saya juga tidak mau mengatakan kepada mereka karena takut membuat orang tua susah, pendam sendiri saja,” sambungnya.
Selama di Kosan ia pun bekerja membantu tetangga-tetangga sekitar kos untuk membuat obat-obatan herbal dan sempat juga meminjam uang untuk membayar kos kepada seorang Guru Pembimbing OSIS yang akrab denganya. Dari kosan untuk berangkat sekolah ia harus bangun jam setengah 6 pagi lalu berjalan kaki menuju sekolah yang berjarak 2 KM dari kos dan hanya jika mempunyai uang lebih saja Nita bisa berangkat ke sekolah dengan menaiki angkutan umum.
Dua bulan mengekos, Nita pun tidak sanggup lagi membayar sewa uang kos. Pendapatan selama kerja membuat obat-obatan juga tidak seberapa, biaya pengeluaran lebih banyak dari pada pemasukan, akhirnya Nita menerima ajakan salah seorang kakak kelasnya untuk tinggal dirumah kakak kelas tersebut.
Selama empat bulan tinggal di rumah kakak kelas, seperti sebelumnya karena hanya menumpang saja Nita pun lama kelamaan merasa tidak enak hati, ia pun pindah lagi untuk tinggal ke perumahan Tentara tempat seorang ibu kenalan dari kakaknya. Saat itu setiap pulang sekolah Nita bekerja sebagai penjaga anak sekaligus bekerja di kafe sang Ibu hingga kafe tutup di jam 12 malam.
Menjelang Ujian akhir Nita pun kewalahan dengan jadwal kerja dan belajarnya, ia tidak mempunyai waktu yang cukup untuk belajar usai bekerja, hal ini membuatnya harus tidur di jam 2 malam setiap harinya dan mengantuk saat di kelas. Tidak ingin menggangu ujia akhirnya Nita pun memutuskan untuk mengekos kembali di 1 bulan terakhir sebelum kelulusan SMA.
Awalnya setelah lulus SMA Nita tidak ada niat untuk melanjutkan kuliah sebab Nita dan keluarga tidak mempunyai biaya, namun sang Guru Pembimbing OSIS-nya menyarankan untuk mengikuti SNMPTN dan mencoba Bidikmisi dan Alhamdulillah Nita Lulus.
“Lanjut aja, kesempatan itu gak datang dua kali. Nasip itu pasti akan berubah tapi secara perlahan, masak iya kamu mau gini-gini aja gak ingin ngambil zona yang lebih ke depanya lagi,” ujar sang guru men–support Nita.
Memasuki dunia perkuliahan Nita mendapat uang saku dengan cara berjualan nasi bungkus, gorengan, dan pisang coklat dari hasil barang para penjual disekitar lingkungan kampus. Nita menjajakan dagangan di seputaran lingkungan asrama Unsyiah. Dari hasil penjualan tersebut dalam sehari Nita bisa mendapatkan uang sebesar Rp80.000,00 hasil jualan dari pagi sebelum berangkat kuliah dan ketika sudah pulang kuliah. Nita tidak lagi meminta uang saku dari orang tua nya, sedangkan uang peralatan kuliah dan membeli laktop Nita menggunakan uang yang ia terima dari Bidikmisi.
Alasan Nita mengambil jurusan Budidaya Perairan ialah karena Peluang Pekerjaan dan dengan bermodalkan uang Rp1.000.000,00 Nita sudah bisa membuka usaha sendiri dan hasil keuntunganya juga besar. “Setelah ada ilmunya saya bisa buat kolam sendiri” ujar Nita.
Kesusahan apapun yang dihadapi pasti ada jalan keluarnya, jangan menyerah karena ketika kita sudah berusaha Allah pasti akan mudahkan, intinya jangan lupa berdoa. Jika ada kesulitan jangan mudah berputus asa, pasti ada jalan keluarnya. Masalah hasil, tergantung bagaimana usaha yang kita perjuangkan, kalau kita betu-betul berusaha pasti hasil nya bagus, tergantung bagaimana usaha kita. Hidup sederhana ketika menuntut ilmu tidak membuat semangat Nita pudar.[]
Editor: Cut Siti Raihan