Beranda Artikel Pola Asuh Keluarga dan Kaitannya dengan Kenakalan Remaja

Pola Asuh Keluarga dan Kaitannya dengan Kenakalan Remaja

(Sumber: Ist)

Artikel | DETaK

Remaja menurut WHO adalah seseorang yang memiliki rentang usia 10-19 tahun. Dalam hal ini remaja merupakan fase di mana terdapat perubahan peran dari kanak-kanak menjadi individu yang lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab dari sebelumnya dikarenakan pada fase ini remaja mulai memiliki permasalahan dalam perilaku.

Di zaman seperti sekarang tidak heran jika kenakalan remaja semakin mengkhawatirkan. Para remaja ingin mencoba sesuatu yang seharusnya tak pantas dikerjakan, misalnya penggunaan obat terlarang seperti narkoba, minum-minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Apabila kenakalan remaja dibiarkan begitu saja, tentu akan merusak masa depan mereka sendiri, terlebih masa depan bangsa ini.

Remaja sekarang lebih menyukai semua hal yang kebarat-baratan atau westernisasi yang dianggapnya jauh lebih keren dibandingkan budayanya sendiri. Bila dilihat dari segi yang lebih luas lagi, pergaulan anak yang salah dapat menyebabkan kenakalan remaja seperti seks bebas, sampai pada pemakaian narkoba. Hal tersebut membuat munculnya gangguan tingkah laku di lingkungan keluarga. Terdapat banyak faktor yang membentuk kepribadian dan karakter mereka, seperti pola asuh, lingkungan, keluarga, sistem religi, budaya, ekonomi, sosial-politik, atau pendidikan.

Dari beberapa faktor tersebut yang menjadi faktor terpenting dalam pembentukan kepribadian dan karakter seorang remaja adalah keluarga. Keluarga juga merupakan lingkungan yang sangat penting untuk remaja belajar bersosalisasi. Lingkungan keluarga yang sehat dapat memunculkan perilaku positif pada remaja. Keluarga juga bertanggung jawab memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak.

Piaget dan Kohlberg nampaknya sependapat bahwa orang tua mempunyai peran besar bagi pembentukan dan perkembangan moral seorang anak. Orang tua wajib mempunyai tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, budi pekerti, bahkan nilai religius sejak dini kepada anak-anaknya sehingga akan membekas di dalam hati sanubarinya. Selain itu, orang tua juga wajib memberikan dukungan, perlindungan, dan bimbingan bagi para remaja untuk mengatasi munculnya kenakalan remaja. Sikap dan cara orang tua menangani remaja, metode pengasuhan dan kualitas relasi antar orang tua dengan remaja memberikan pengaruh besar terhadap munculnya permasalahan dalam perilaku remaja.

Berdasarkan data di lapangan yang dikumpulkan mengenai perilaku kenakalan remaja dari responden penelitian, peneliti mendapati bahwa terdapat sejumlah bentuk perilaku kenakalan remaja pada responden. Adapun bentuk perilaku tersebut berupa pulang larut malam, di mana hal ini direpresentasikan oleh 50% responden penelitian.

Selain itu, seluruh responden dalam penelitian ini mengakui kerap berinteraksi dengan lawan jenisnya, bahkan sebanyak 50% dari responden penelitian ini menyatakan bahwa mereka pernah menjalani hubungan percintaan dengan lawan jenisnya (pacaran). Adapun bentuk kenakalan remaja yang peneliti temukan dari survei ini adalah sekitar 25% dari responden dalam penelitian ini menyatakan pernah melakukan tindak kekerasan terhadap temannya. Peneliti juga menemukan bahwa sebanyak 25% dari responden pernah sesekali mencuri barang/uang milik orang tuanya.

Adapun bentuk-bentuk kenakalan remaja yang tidak peneliti temukan adalah seluruh responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka tidak pernah membolos sekolah atau kuliah. Seluruh responden juga tidak pernah terlibat atau melakukan tawuran. Dalam hal mengkonsumsi minuman keras atau merokok, seluruh responden dalam penelitian ini juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah sekalipun melakukan hal tersebut.

Dalam tingkatan yang lebih tinggi seperti menggunakan narkoba atau berhubungan seksual, peneliti juga mendapati bahwa seluruh responden tidak pernah melakukan hal-hal tersebut. Sehingga dari hasil survei ini kita dapat melihat bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terdapat pada responden hanyalah bentuk-bentuk kenakalan dalam skala ringan hingga sedang, di mana hanya setengah hingga seperempat responden yang pernah melakukan hal tersebut.

Selanjutnya, mengenai pola asuh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, di mana dalam hasil penelitian ini bentuk pola asuh tersebut lebih dominan pada gaya pengasuhan otoritarian dan otoritatif. Hal ini ditunjukan melalui beberapa ciri yang peneliti dapatkan, misalnya, seluruh orang tua yang menjadi responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka kerap kali mengajak anaknya berdiskusi ketika melihat anaknya mendapati masalah. Selain itu, seluruh orang tua dalam responden penelitian ini juga menyatakan bahwa mereka akan membebaskan anaknya dalam berhubungan dengan lawan jenis maupun dengan teman-teman sebayanya yang lain. Namun tentunya dalam batas tertentu, seperti hanya sebatas pertemanan saja.

Jika melihat ciri yang dipaparkan sebelumnya, maka ciri tersebut merupakan ciri yang mengarah pada bentuk pola asuh otoritatif. Orang tua berperan dalam memberikan dukungan pada anaknya, namun di sisi lain orang tua tetap memberikan kehendak atas keinginan anak secara mandiri.

Selain itu, ciri lain yang peneliti dapatkan mengenai pola pengasuhan berdasarkan hasil survei yang dilakukan adalah di mana hampir seluruh orang tua yang menjadi responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka tidak akan memberikan izin pada anaknya untuk pulang larut malam. Peneliti juga menemukan bahwa orang tua akan menerapkan kekerasan dan paksaan dalam mengawasi anaknya. Namun hal itu dilakukan dengan tujuan positif di mana anak diharapkan mau belajar dari kesalahan-kesalahannya.

Berdasarkan ciri yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat dilihat bahwa beberapa ciri yang diterapkan oleh orang tua yang menjadi responden dalam penelitian ini mengarah pada ciri pola asuh otoritarian. Hal ini ditunjukan dalam beberapa ciri seperti membatasi kegiatan anaknya hingga jam tertentu (sebelum larut malam), hingga menggunakan kekerasan atau paksaan dalam menindak kesalahan anaknya.

Dengan melihat hal tersebut, maka jika mengkaitkan dengan ciri dari pola asuh otoritarian di mana orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Maka terdapat kesamaan dalam beberapa ciri mengenai pola asuh otoriter yang peneliti dapatkan dalam hasil penelitian ini.

Berdasarkan hasil tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengasuhan memiliki dampak yang besar terhadap pembentukan perilaku remaja. Melalui pengasuhan orang tua dapat membentuk perilaku anak, baik yang mengarah pada dampak positif maupun mengarah pada dampak negatif seperti kenakalan remaja. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa secara garis besar orang tua yang menjadi responden dalam penelitian ini menerapkan gaya pengasuhan demokratis, para orang tua berusaha sebisa mungkin untuk melakukan komunikasi dua arah dengan anak mereka, berusaha untuk saling berdiskusi, bertukar pendapat, serta agar bisa mengkomunikasikan setiap permasalahan yang dialami anak-anaknya.

Namun kami juga menemukan ciri pola asuh otriter yang ditunjukan dalam ciri memberikan hukuman kekerasan jika anak melakukan kesalahan, hingga membatasi kegiatan anaknya. Akan tetapi, hal ini dilakukan dengan tujuan mencegah anaknya untuk tidak terlibat dampak negatif dari pergaulan yang dilakukan sang anak. Sedangkan dalam kaitanya dengan tingkat kenakalan remaja, kami menemukan bahwa banyak dari responden dalam penelitian ini yang melakukan berbagai tindakan yang mengarah pada kenakalan remaja, seperti pulang larut malam meskipun tidak diizinkan orang tuanya, di mana ini dilakukan oleh 50% responden.

IKLAN
loading...


Namun demikian, bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua responden terbukti ampuh dalam menekan tingkat kenakalan pada responden. Hal ini ditunjukan dari data yang menunjukkan seluruh responden tidak melakukan tindak perilaku yang berbahaya seperti tawuran, seks bebas hingga narkoba.

Penulis adalah Cut Sharwatul Husna dan tim, mahasiswa Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Indah Latifa