Beranda Artikel Colorism, Bias Terhadap Warna Kulit

Colorism, Bias Terhadap Warna Kulit

Ilustrasi Colorism (Shella Agustia Putri/DETaK)
loading...

Artikel | DETaK

“Kok sekarang jadi iteman, sih?”, “Wah! sekarang kulit kamu makin putih dan cerah, cantik deh.”

Sering mendengar dua kalimat di atas dalam basa-basi sehari-hari? menurut kamu, kenapa ya warna kulit bisa menjadi dua kalimat yang saling bertolak belakang dalam makna dan tujuan? dua kalimat di atas seolah-olah menjustifikasi bahwa warna kulit terang lebih baik. Preferensi terhadap kulit terang dibanding kulit gelap ini telah menjadi akar dari “penyakit” yang disebut Colorism.

IKLAN
loading...


Colorism adalah anggapan terhadap suatu warna kulit lebih unggul daripada warna kulit yang lain. Colorism tidak hanya dilakukan terhadap orang-orang yang memiliki ras berbeda, tetapi juga kerap terjadi di antara orang-orang dari kelompok etnis atau ras yang sama.

Penulis dan aktivis Alice Walker adalah orang yang pertama kali menggunakan kata colorism, tertulis dalam bukunya In Search of our Mothers’ Gardens pada tahun 1983, Alice Walker mendefinisikan colorism sebagai “Prejudicial or preferential treatment of same-race people based solely on their color”. Dapat diartikan bahwa bias warna kulit dapat memengaruhi perlakuan seseorang terhadap orang lain, seperti konsep orang yang berkulit terang lebih istimewa, tanpa disadari menurunkan derajat warna kulit lainnya.

Colorism juga membawa kita kepada standar kecantikan di Indonesia yang memihak kulit putih atau cerah sedangkan mayoritas dari masyarakat Indonesia memiliki kulit kuning langsat hingga sawo matang. Hal ini “memaksa” orang-orang yang berkulit lebih gelap untuk mengikuti standar karena kulit putih atau terang dianggap “normal” dan orang lain yang gagal mencapai warna kulit putih dianggap tidak bisa merawat diri. Hal ini membuat banyak orang merasa tidak percaya diri dengan kulitnya sendiri.

Mengapa fenomena colorism dan stereotype cantik = putih atau terang tumbuh dan masih bertahan sampai sekarang? Jawabannya adalah akibat kolonialisme dan media.

Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Eropa untuk waktu yang lama, sehingga secara langsung dan tak langsung telah membentuk pemahaman bahwa warna kulit terang menandakan status sosial yang tinggi dan kulit gelap sebagai “primitif” atau lebih rendah. Hingga pascakolonialpun masyarakat masih menganggap warna kulit menentukan status sosial. Standar kecantikan lokal tidak lagi berlaku karena sudah terinternalisasi keyakinan bahwa lambang kecantikan adalah berkulit putih atau terang.

Penyakit colorism juga semakin sulit disembuhkan dengan adanya media yang terlalu “mengagungkan” kulit putih. Tidak jarang kita temukan iklan krim pemutih dan pencerah kulit di televisi dan berbagai platform media lain, serta iklan produk-produk kecantikan lainnya yang menggunakan model dengan kulit putih cerah, ditambah semaraknya Korean Wave yang membuat “obsesi” saat ini adalah memiliki kulit putih dan glowing seperti artis-artis Korea.

Di era sekarang ini, media menjadi hal yang punya peran besar dalam mempengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat. Bagaimana fenomena bias warna kulit bisa hilang jika representasi warna kulit lain sangat jarang ditampilkan?

Sulit untuk merubah pamahaman bahwa tidak ada warna kulit yang baik atau buruk dalam waktu yang singkat, tapi hari ke hari kesadaran masyarakat khususnya generasi Milenials dan Gen Z semakin meningkat dan sudah banyak aktivis, selebriti, artis, dan influencer menyuarakan perihal colorism di Indonesia.

Sesuai dengan semboyan kita yaitu Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, warna kulit juga menjadi bagian dari keberagaman yang Indonesia miliki. Semoga diskiriminasi terhadap warna kulit semakin berkurang di Indonesia.[]

Penulis bernama Shella Agustia Putri, mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum. Ia juga merupakan salah satu anggota magang di UKM Pers DETaK Unsyiah.

Editor: Cut Siti Raihan