Kerusuhan yang terjadi di gelanggang Unsyiah beberapa waktu lalu telah menimbulkan berbagai polemik, baik di kalangan mahasiswa itu sendiri maupun masyarakat. Aksi brutal yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Unsyiah ini membuat resah sebagian orang dan dinilai anarkis.
Sesuai dengan pasal 28 UUD 1945, setiap orang berhak dan bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Hal ini jelas menggambarkan negara Indonesia yang demokrasi. Namun, pantaskah bila aspirasi itu dilakukan secara anarkis? Apalagi hal tersebut dilakukan oleh manusia yang bergelar mahasiswa atau kelompok yang sering disebut sebagai kaum intelektual, kaum muda calon penerus bangsa.
Seperti halnya tindakan anarkis yang diperlihatkan beberapa mahasiswa siang itu, mengatasi masalah dengan otot dianggap lebih rasional daripada menyelesaikannya dengan otak. Mereka saling memegang senjata dan saling adu mulut sehingga pertikaian pun tak dapat dielakkan. Akibat bentrok tersebut beberapa fasilitas dan infrastruktur lainnya rusak.
“Itu kan cuma sidang, tidak mesti harus ada wujud amoral. Kalau mau main lempar-lemparan jangan bisanya lempar kursi, batu, atau balok, lempar saja pendapat. Sebenarnya semua itu bisa diselesaikan dengan musyawarah. Nah, kalau sudah seperti itu sudah bukan seperti mahasiswa lagi,” ujar drh. Fitriani, seorang staf pengajar MKDU Pendidikan Agama Islam di Unsyiah.
Selanjutnya ia menambahkan, namanya mahasiswa adalah intelektual muda yang harus dapat menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik dan tidak main hakim sendiri. Dalam agama sendiri diutamakan musyawarah. Hal itu dapat diteladani dari perjalanan Rasulullah yang mengutamakan musyawarah dan mufakat, bukan saling bentrok, apalagi merusak.
“Kalau tindakan yang dilakukan sudah merusak fasilitas berarti sudah banyak yang dirugikan dong!, diantaranya pihak rektorat bertambah kerugiannya karena harus memperbaharui fasilitas yang sudah ada. Selanjutnya kerugian secara tidak langsung ada pada diri sendiri,” tambahnya lagi.
Hal itu juga dibenarkan oleh salah seorang psikolog, Nursan Junita MA. Menurutnya, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Jika ada sesuatu yang tidak sepaham, sebaiknya dikomunikasikan terlebih dahulu bukan dengan cara menantang secara fisik.
“Hal ini menunjukkan bahwa ternyata mahasiswa kita masih belum cukup matang secara emosi karena kemampuan mengontrol diri masih sangat rendah dan belum mampu memproses informasi dengan baik dan belum bisa melihat akibat dari perbuatan mereka,” katanya kepada DETaK via SMS.
Nursan Junita menambahkan, memang benar saat ini mahasiswa sedang menuju proses pendewasaan diri dan akan banyak sekali tantangan yang akan dihadapi. Namun, disaat kejadian seperti inilah kematangan kita dilatih, kemampuan mengontrol diri, memilah informasi sehingga tidak mudah terbujuk dan selalu mengedepankan komunikasi dengan cara mengekspresikan secara verbal dan sikap yang benar bukan dengan cara berbuat anarkis karena kerugiannya akan lebih banyak. “Saya yakin ini dapat menjadi satu pelajaran yang sangat berharga dalam proses pematangan diri. Kekerasan bukan cara yang bijaksana, tetapi komunikasikan apa yang menjadi problem sehingga akan ada jalan keluarnya,” jelasnya.
Lain halnya dengan mahasiswa Jurusan Sejarah, Wardiati, dirinya tidak mengetahui peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu tersebut. “Saya tidak tahu kalau kemarin ada bentrok karena kita tetap kuliah, yang jelas kalau ada permasalahan jangan sampai dilaksanakan dengan tawuran,” katanya polos.
Nada serupa juga diungkapkan oleh Iros, mahasiswa yang kuliah di Fakultas Keguruan ini mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tahu persoalan bentrok itu karena pada hari kejadian ia tidak ada jadwal kuliah.
“Kami-kan sering kuliah di PGSD. Nah, Sabtu pagi kami lihat ada bekas-bekas benda terbakar di Musala Al Mudarits, seperti papan struktur, rak buku, dan, kertas-kertas lainnya. Sudah ngak zaman lagi mahasiswa main pukul-pukulan, bakar-bakaran, dan berkelahi, masa’ orang dewasa menyelesaikan masalah kayak anak kecil, malu dong! Kalau masih bisa diselesaikan dengan baik-baik kan enak, ambil jalan tengah saja daripada harus bentrok,” kata dara asal Aceh Selatan ini.
Lain halnya dengan Aisyah, mahasiswi yang kuliah Fakultas Pertanian, ia merasa bentrok yang terjadi beberapa waktu lalu itu disinyalir karena ada beberapa kelompok orang yang ingin mempercepat penurunan Mujib (Presiden Mahasiswa sekarang) dan mereka merasa ada sesuatu yang disembunyikan PEMA.
“Tujuan mereka melakukan tindakan seperti itu mungkin positif, ataupun karena mereka memang sudah tidak tahan lagi dengan kepemimpinan Mujib yang dinilai tidak transparansi,” ujar gadis kelahiran Kutacane 20 tahun lalu.
Saat DETaK menanyakan siapa ‘mereka’ yang dimaksud, Aisyah menjawab, “Saya tidak tahu pasti, mungkin saja UKM dan BEM karena saya tahunya juga dari orang lain. Dan saya melihat bentrok kemarin itu gak ada yang salah karena itu adalah hak mereka, seperti PEMA, LDK, UKM, dan BEM walaupun pada dasarnya mereka telah melakukan tindakan anarkis.” Tambahnya lagi.
DETaK | Rayhamizar