Beranda Feature Sosok Tangguh Penjual Manisan Buah di Lingkar Kampus

Sosok Tangguh Penjual Manisan Buah di Lingkar Kampus

Ilustrasi. (Badriatul Istiqamah/DETaK)

Cut Siti Raihan | DETaK

Usia senja bukanlah hambatan bagi Nenek Rokayah untuk terus mencari nafkah dengan berjualan buah. Ia setiap hari mengayuh sepeda untuk mengitari area kampus, sambil menyunggingkan seulas senyum, tanda syukur kepada sang Ilahi.  

Nenek Rokayah, begitulah sapaan akrab untuknya. Usianya yang telah menginjak 72 tahun tidak meruntuhkan semangatnya untuk mencari nafkah dengan cara berjualan buah-buahan. Nenek Rokayah berasal dari Meulaboh, namun pada tahun 1986 ia mencari peruntungan untuk pindah ke Banda Aceh. Sejak saat itu, ia mulai menggeluti usaha berdagang. Menurutnya, berdagang itu merupakan salah satu pintu rezeki yang besar, dan dapat mengikuti jejak Rasulullah saw. di masa lalu yang juga seorang pedagang.

IKLAN
loading...


Perjalanan Merintis Usaha

Cuaca siang itu cerah, matahari bersinar terang. Langit tampak berwarna biru terang, awan tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Hari itu terasa panas, badanku juga sudah mulai bercucuran keringat, aku mulai mengambil sembarang buku untuk mengipasi gerahnya kulitku ini. Aku sedang berada di dalam ruang kelas saat kulihat Nenek Rokayah sedang berjualan buah di dekat pintu program studi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Lama aku mengamatinya, hingga aku memberanikan diri untuk berbincang dengannya.

Aku sudah cukup lama menahan rasa penasaran terhadap kisah hidup nenek penjual buah ini. Di saat orang lain yang seusianya hanya duduk di rumah, dirinya masih semangat berjualan dengan mengayuh sepeda andalannya. Sebelum memulai percakapan, aku lebih dulu memilah buah-buahan yang akan aku beli. Kulihat, hari ini jualan Nenek Rokayah masih banyak, mungkin karena masih siang. Dengan berbaik hati, Nenek Rokayah memilihkan buah mangga terbaik untukku. Senyum manis terukir di wajahnya sambil menyerahkan satu plastik mangga segar dan bumbu garam ke hadapanku.

Aku membalas senyumnya, sambil mengajukan beberapa pertanyaan terkait perjalanan usahanya yang membuatku takjub. Ternyata Nenek Rokayah telah berjualan di sekitar kampus Unsyiah dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry selama 23 tahun.

“Udah 23 tahun. Awalnya nenek jualan mie bakwan. Tapi, setelah tsunami nenek jualan mangga jambu ini,” ujarnya padaku.

Nenek Royakah sedang berjualan di FKIP Unsyiah. (Cut Siti Raihan/DETaK)

Nenek Rokayah masih setia mendengarkan pertanyaanku. Sorot matanya terlihat sendu, tangannya sibuk bekerja merapikan dagangannya yang terpampang rapi dalam keranjang di atas sepeda. Sesekali tangannya mengelap peluh yang mengalir di wajahnya. Raut wajah nenek serius, sangat jelas terlihat bahwa ia sedang memutar kembali rekaman perjalanan hidupnya saat awal memulai usaha jualannya.

Pada awal merintis usaha, Nenek Rokayah memulai dengan berjualan mie bakwan. Namun lama-kelamaan akibat situasi perekomian yang semakin sulit, akhirnya ia memutuskan untuk beralih ke usaha lain, yakni berjualan buah. Saat itu, anak-anaknya masih tinggal bersamanya dalam satu atap sehingga sebelum memulai berjualan, ia akan dibantu oleh mereka.

“Udah pada tinggal masing-masing, ada yang ke Pekan Baru, ada juga yang ke Medan. Nenek punya 12 anak, tetapi sudah meninggal tiga waktu mereka bayi, sekarang tinggal sembilan orang. Tapi sekarang yang tinggal sama nenek tinggal anak bungsu. Cucu nenek juga udah banyak ada 30 lebih lah,” tutur nenek saat ditanyai tentang keluarganya.

Saat ini dirinya hanya tinggal berdua dengan anaknya yang bernama Ita-anak bungsu nenek kelahiran tahun 1992. Mereka berdua saat ini menetap di daerah Rukoh. Setiap hari Ita dan dirinya akan membagi masing-masing wilayah tempat berjualan di lingkar kampus. Modal yang dikeluarkan untuk satu keranjang buah adalah Rp1.000.000,- yang berisi 60 kg macam-macam buah. Jika nenek dan Ita serempak berjualan berarti total ada dua keranjang yang dijual setiap harinya.

“Alhamdulillah, setiap hari habis. Nenek jualan mulai jam 1 atau siap zuhur kalau habisnya cepat, pulang jam 6,” ungkap nenek.

Keranjang Nenek Rokayah selalu diisi bermacam-macam buah, seperti mangga, jambu, dan salak, kadangkala juga diisi dengan berbagai macam jenis keripik. Kalau sedang musim buah kedondong atau cermai, maka ia akan menjual kedua buah itu juga. Proses pembuatan buah-buahan ini dimulai pada malam hari setelah isya, dibantu oleh anak bungsunya, Ita. Bahan-bahan untuk berjualan buah ini dibeli di pasar Lambaro. Kata nenek kepadaku, mereka sudah memiliki langganan tetap di sana.

“Kalau mau tanam sendiri padahal bisa, tetapi gak ada lahan. Tapi untuk buah-buah ini yang belanja si kakak (Ita),” tutur nenek seraya tertawa melihat ke arah Ita.

Si bungsu, Ita, terlihat malu-malu saat diajak bercanda oleh Nenek Rokayah. Ita hanya tersenyum manis sambil sesekali nimbrung dalam percakapan saat Nenek Rokayah bingung dan sulit mengingat tentang beberapa hal. Berdasarkan jawaban Ita, Nenek dan dirinya saat ini hanya berjualan di tiga fakultas Unsyiah dan di lingkar kampus UIN Ar-Raniry.

“Kalau terlalu banyak nanti tidak ada yang jaga barang dagangannya,” kata Ita.

Alasan dirinya memilih untuk berjualan di wilayah kampus karena jarang ada orang yang mau berkeliling untuk berjualan di daerah kampus. Nenek Rokayah melihat hal ini sebagai suatu peluang usaha yang bagus.

“Pertamanya langsung ke kampus-kampus, Unsyiah dan UIN. Ide untuk jualan buah ini muncul sendiri, mungkin rahmat dari Allah. Begitu juga dengan mie bakwan sampai sekarang belum ada yang bikin.”

Matahari semakin terik saat Nenek Rokayah hendak pamit untuk pindah berjualan di tempat lain. Ia lalu meminta izin untuk beranjak dari tempat itu kepada kami, sambil menyunggingkan senyum khasnya. Lantas kakinya cekatan mengayuh sepeda. Hingga bayangannya hilang di kelokan jalan. []

Editor: Sri Elmanita S.