Beranda Artikel Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser pada Masa Kolonial Belanda

[Kilasan] Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser pada Masa Kolonial Belanda

Ilustrasi. (Shella Agustia Putri/DETaK)

Shella Agustia Putri | DETaK

Aceh dikenal dengan kekayaan alam yang luar biasa, pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya salah satu warisan dunia yang terdapat di Aceh, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua yang ada di Indonesia, yang pertama kali ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada 6 Maret 1980 melalui SK Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/II/1980.

Menilik lebih jauh ke masa lalu, pada era pemerintahan kolonial Belanda, ternyata keberadaan Gunung Leuser sudah menjadi perhatian masyarakat setempat untuk melestarikannya. Berikut riwayat singkat perkembangan Taman Nasional Gunung Leuser pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda memberikan izin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn, untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Hasilnya Van Heurn menyatakan: (1) Di beberapa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar; (2) Pemuka- pemuka adat setempat menginginkan agar pemerintah kolonial Belanda peduli terhadap kelestarian pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.

Van Heurn memfasilitasi para wakil pemuka adat (para Datoek dan Ulee Balang) untuk mendesak pemerintah kolonial Belanda agar memberikan status kawasan konservasi (Wildife Sanctuary). Pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Komisi Belanda untuk perlindungan alam berisi usulan suaka alam di pantai barat Aceh seluas 928 ribu ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh di bagian utara.

Realisasinya terjadi pada 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan pemerintah kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Tapaktuan” yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu. Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai 1 Januari 1934. Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarikan kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik pidana penjara maupun pidana denda).

Dalam salah satu paragraf Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut.

“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nasi, Meuke’, Labuhan Hadji, Manggeng, Lho Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala pandang-pandang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, menggangoe sarang dari binatang-binatag itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”.

Kemudian berdasarkan ZB No. 317/35 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142,8 ribu ha. Selanjutnya berturut-turut berdasarkan ZB No. 122/AGR tertanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka Margasatwa Kluet seluas 20 ribu ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan pantai barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.[]

Referensi:
Thamrin Z, H.M & Edy Mulyana. 2009. Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah. Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh.

#30HariKilasanSejarah

Editor: Indah Latifa