Matahari begitu terik, saat kedua tanganku berusaha menarik keranjang-keranjang besar yang berisi buah semangka, untuk dijual ke pasar. Bulan-bulan seperti ini memang masa panen bagi keluarga kami. Terutama aku dan abah. Bukan hanya panen buah semangka, tetapi juga inilah waktunya bagi kami untuk bias memperoleh uang.
Peluh yang melekat di tubuh seperti tak terasa, uang di depan mataku seakan menari-nari untuk segera dipetik dan dinikmati.
Matahari kian meninggi dan panas semakin menggigit. Kendaraan yang akan kami tumpangi belum juga datang. Bukannya tidak ada, bahkan banyak angkot yang lalu lalang di depan kami. Namun ramainya siswa SMU yang baru pulang sekolah membuat seluruh angkot penuh luber. Banyak siswa laki-laki yang bergelantungan seenaknya di pintu belakang angkot.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, “apakah mereka tidak berpikir dan memiliki rasa takut. Jika terjatuh bagaimana?” pikirku.
Sebenarnya, masih ada kendaraan lain yang lebih besar dan lebih murah ongkosnya, akan tetapi siang terik seperti ini sangatlah tidak nyaman bagi kami untuk naik kendaraan umum tersebut. Selain harus berdesak-desakan dengan penumpang lain, tentu kehadiran kami yang berpeluh keringat seperti ini akan membuat penumpang lainnya terganggu, terutama dengan aroma yang ditebarkan oleh tubuh kami.
Setengah jam menunggu, akhirnya kami dapat angkot juga, walau angkot sudah terlihat penuh. Mau tidak mau dan dengan sangat terpaksa kami naik juga. Takut terlambat sampai ke pasar, karena jika kesorean maka kami akan gagal menjual buah semangka tersebut.
Ada satu tempat duduk untuk Abah. Aku bergelantungan dipintu angkot. Seperti anak-anak SMU tadi. Lupa dengan yang namanya maut. Aku tersenyum.
Kegerahan yang yang sedari tadi kurasakan mulai berkurang. Hembusan angin telah menyegarkan tubuhku yang penat. Keringat mulai mengering. Aku semakin tidak sabar, dalam hati sudah terbayang uang hasil penjualan semangka.
Uang itu akan kubeli sandal. Sandalku yang lama sudah tidak layak pakai lagi. Abah juga berjanji, bila panen ia akan membelikanku sandal baru.
Namun hatiku was-was, aku sedikit khawatir. Khawatir dengan keranjang-keranjang semangka tersebut, karena sebagiannya terpaksa dimasukkan kedalam angkot. Ditaruh diatap angkot tidak memungkinkan lagi. Sudah tidak ada tempat. Jika dipaksakan bisa fatal.
Ketakutanku bukan karena keranjang yang diatas angkot, tetapi bagaimana jika para penumpang lainnya marah karena keranjang yang di dalam angkot mengganggu kenyamanan mereka. Otomatis angkot menjadi sempit akibat keranjang-keranjang tersebut. Buktinya, sebelum aku dan abah naik, aku semapt melihat dengan jelas, sebagian penumpang yang terpaksa melipat kakinya karena sempit. Belum lagi rona wajah mereka yang sepertinya marah dengan kehadiran abah. Meraka menutup hidung.
Nggak tau, apakah karena abah bau keringat ataupun memang bau badan yang tidak pernah memakai minyak wangi.
Abah seperti mengetahui kekhawatiran diriku. Ia menoleh kearahku, lalu menekurkan wajahnya. Ikut khawatir.
Ah.., andaikan bisa, aku ingin duduk disamping abah dan berkata sesuatu kepadanya. Tetapi aku tidak mampu…..
“Sudah, sudah……..aku mau turun saja!” tiba-tiba seorang penumpang berteriak dan marah. Membuyarkan lamunan kekhawatiranku.
Seorang wanita muda berjilbab dengan pakaian dinas kantoran. Ia terus mengomel, mungkin tidak tahan dengan sakit di kakinya yang terjepit dan berlipat akibat keranjang semangka kami. Puncaknya itu tadi, wanita itu berteriak!
Kulihat abah menarik keranjang lebih dekat kekakinya, agar wanita tersebut dapat menggerakkan kakinya.
“Maaf mbak……,” suara abah lirih.
Belum lagi abah selesai berkata, wanita itu memotongnya.
“Maaf.., maaf.. maaf!. Makanya, jika bapak mau bawa barang banyak jangan naik kendaraan umum, nyusahin orang lain”.
Abah terdiam.
“Lain kali jika mau naik angkot mikir dong!” sambung wanita tadi.
Aku hanya menatap abah yang terdiam. Ya Allah… andaikan aku dapat berbicara, tetapi aku tidak mampu…….
Aku pun hanya bisa diam. Tidak ingin menambah masalah dengan keadaanku yang seperti ini. Mau bagaimana lagi, karena kesalahan ada pada kami. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah nasib. Menjadi rakyat jelata.
Seorang bapak yang duduk tepat didepan abah ikut menampakkan kejengkelannya dengan menengdang keranjang semangka tersebut kekaki abah.
“Begini mbak, kakinya yang kanan dimiringkan sedikit biar tidak sakit dan tidak mengenai keranjang,” kata abah pelan sambil menarik keranjang didepan wanita tersebut.
“Dimiringkan kemana? Sudah sempit begini. Makanya kalo sudah tau nggak ada tempat, tadi ngapain naik!!”. Kata wanita tersebut dengan nada tinggi.
“Nyusahin orang saja, tau!!”
Abah menarik sedikit lagi. Tetapi akibatnya keranjang tersebut mengenai penumpang lainnya yang berada disamping abah sehingga mereka ikut marah.
Kulihat beberapa penumpang lainnya juga kesakitan. Aku semakin resah, seorang ibu dengan lipstik agak menyala ikut mengomel, kesal. Ya Allah maafkan kami. Ternyata kehadiran kami telah menyusahkan banyak orang. Ya Allah tolonglah, janganlah keberadaan kami menyusahkan orang lain.
“Sekali lagi, maaf ya ibu-ibu. Mbak-mbak….., saya mohon maaf jika keranjang ini telah menyusahkan ibu-ibu,” suara serak abah nyaris tidak terdengar.
Apa yang kukhawatirkan terjadi juga. Sakit di dalam hatiku semakin nyeri. Nyeri yang kembali mengoyak luka lama, ketika abah diusir oleh penumpang lain didepan mataku beberapa bulan lalu. Apakah karena penampilan kami seperti ini sehingga mereka begitu mudah dan seenaknya memarah-marahi abah. Seandainya mereka merasakan seperti apa yang kami rasakan saat ini. Tetapi sudahlah, sudah nasib rakyat jelata. Andaikan aku bisa berbicara…… tetapi aku tidak mampu. Bathinku semakin tersiksa. Sesak.
Aku segera memencet tombol bel. Turun.
Walau pasar yang kami tuju masih sekitar dua kilometer, aku tetap menarik keranjang-keranjang semangka tersebut dan mengeluarkannya dari dalam angkot. Abah tahu apa yang kulakukan. Ia turun dan ikut menarik keranjang tersebut. Supir angkot ikut menurunkan keranjang yang diatas.
Setelah habis keranjang diturunkan, supir angkot melihat para penumpangnya satu persatu. “Bapak, ibu, kakak, mbak dan adik-adik, jangan marah-marah gitu, dong. Kasihan, kan bapak ini dan anaknya”.
Sambil menunjuk kearah kami ia terus berkata “Tolong dan bantu mereka untuk mencari sepiring nasi. Hanya sekali setahun mereka panen seperti ini. Begitu sulitnya mereka mencari makan”.
“Hanya sekali dalam setahun kami panen, mbak. Ya… saat-saat musim kemarau seperti ini.” Abah menambahkan.
Kupinggirkan keranjang-keranjang tersebut kepinggir jalan. Angkot telah menjauh dari pandanganku.
Kupandangi punggung abah yang berpeluh mengangkat dan menggeser keranjang-keranjang tersebut. Air mataku terjatuh. Abah.
“Ba…ba..bah……,” suaraku tergagap.
Abah membalikkan tubuhnya, merangkulku. “Tenanglah Harist, kita tunggu angkot yang lain saja,” ucap abah menenangkan hatiku.
Ia memandangku. Meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Tegar seperti karang ditengan lautan. Kuat bagaikan gunung.
Tetapi tahukah ia, bahwa aku anaknya, telah terkoyak-koyak jiwanya dengan kehidupan manusia yang selalu ingin menang sendiri, menghina dan merendahkan yang lemah. Hidup dalam ketertindasan.
“Ba….bah……,” aku semakin erat memeluknya. Peluh kembali membasahi tubuhku bersatu dengan peluhnya. Abadi. Aku tidak ingin berpisah dengan abah.
“Bersabarlah, nak…..,”
Isakan tangisku semakin menjadi-jadi dalam pelukannya. Seandainya aku dapat berbicara dan tidak bisu, tentu aku akan membela abah ketika didalam angkot tadi. Tetapi apa daya. Aku hanya seorang anak yang bisu!!.
Seandainya hidupku seperti mereka. Hidup berkecukupan. Makan enak, tidur diatas kasur empuk. Punya uang untuk membeli apa saja. Tentu aku akan dapat membahagiakan abah. Tidak usah bekerja dalam terik panas yang menyengat tubuh, tidak berbasah dalam hujan. Betapa nikmatnya hidup seperti mereka.
Memories 1999
Martha Andival