Opini | DETaK
Dalam buku yang saya tulis berjudul “Kampus Undercover” saya menekankan agar pentingnya lembaga yudikatif kampus sebagai wasit sekaligus hakim bagi setiap sengketa Pemira baik tingkat fakultas maupun universitas.
Dalam teori Trias Politica-nya, Montesquieu membagi tiga lembaga pemerintahan yang bertujuan untuk saling mengawasi di antaranya adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
IKLAN
loading...
|
Di Indonesia, sudah tentu ketiga lembaga tersebut sudah ada sebagai pelengkap teori Trias Politica. Namun yang sangat disayangkan, tidak semua universitas di Indonesia mempunyai lembaga yudikatif dalam kampus.
Lembaga yudikatif sangatlah diperlukan dalam ranah mahasiswa. Ia juga berfungsi sebagai penengah bagi mahasiswa yang bersengketa baik sengketa pada bidang Pemira, maupun sengketa korupsi dalam organisasi mahasiswa dan kasus-kasus lainnya.
Ketiadaan lembaga yudikatif menjadikan oknum-oknum tertentu dapat melancarkan tindakan sewenang-wenang dan kecurangan seperti korupsi dalam Pemira dan organisasi kemahasiswaan.
Hal ini tentu saja karena mereka tahu tidak akan ada yang mengadili, dan hal yang paling berat yang dijatuhkan pada mereka hanyalah sanksi sosial berupa diskriminasi dari para mahasiswa yang mengetahui tindakannya.
Selain itu, dengan tidak adanya badan yudikatif kampus, maka demokrasi di kampus akan bergerak liar karena tidak ada hukum yang mengawal jalannya demokrasi.
Setiap DPM di universitas haruslah memikirkan wacana untuk mendirikan Mahkamah Mahasiswa (MM) untuk terwujudnya penegakan hukum (law enforcement), keadilan, dan kemanfaatan bagi para mahasiswa.
Itulah ketiga unsur yang harus dimiliki hakim mahasiswa dalam setiap keputusannya. Layaknya pengadilan di mahkamah Indonesia, mahasiswa juga harus melakukan simulasi yang sama persis dengan pengadilan yang sesungguhnya.
Untuk mendirikan MM ini tidak perlu adanya delegasi dari eksekutif dan legislatif untuk mengisi kursi MM agar kredibilitas agar tetap terjaga.
Rekrutmen untuk mengisi kursi yudikatif mahasiswa harus diberikan secara total kepada mahasiswa dari Fakultas Hukum dengan dibimbing oleh dosen-dosen hukum karena hanya mereka yang paham proses yudisial secara komprehensif baik tradisi hukum yang dibangun nantinya akan berkiblat kepada metode civil law ataupun common law.
Tentunya dalam hal ini kita harus menggunakan sistem civil law mengingat negara kita juga menganut sistem tersebut.
Proses rekrutmen dengan mandat diberikan kepada mahasiswa Fakultas Hukum beserta dosen sebagai pembimbing selain karena persoalan profesionalitas juga untuk menghilangkan politisasi lembaga yudikatif mahasiswa untuk tetap menjaga integritas dan kredibilitasnya.
Proses yudisial dilakukan seidentik mungkin dengan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara tidak tendensius kepada pihak manapun (equality before the law) dan memprioritaskan penegakan hukum (law enforcement).
Setiap undang-undang yang digunakan oleh Mahkamah Mahasiswa nanti akan dibuat oleh DPM sebagai representasi mahasiswa karena pada dasarnya hukum berfungsi sebagai perkakas, maka seorang perkakas harus menuruti kemauan dan permintaan dari konsumennya begitu pula undang-undang mahasiswa harus berisikan keinginan para mahasiswa dengan mengamati setiap permasalahan di dalam kampus baik permasalahan dalam organisasi maupun sengketa Pemira baik tingkat fakultas maupun universitas.
Undang-undang tersebut dimaksudkan menjadi hukum dan memberi efek jera kepada pelanggarnya. Sama halnya seperti hukum kita di Indonesia, tujuan dari adanya hukum selain untuk memberi efek jera kepada pelanggarnya juga untuk melindungi hak-hak mahasiswa dalam berorganisasi dari rampasan orang lain.
Hak yang dimaksud di sini berupa hak dalam organisasi seperti hak untuk mendapatkan dana operasional dalam menjalankan aktivitas organisasinya dan alokasi dana dalam kegiatan tertentu maupun melindungi hak politik mahasiswa dalam Pemira.
Konsekuensi bagi Mahasiswa yang melanggar juga harus memiliki batas, karena Mahkamah Mahasiswa tidak memiliki diskresi yang absolut seperti memberikan hukuman drop out (DO) kepada Mahasiswa yang melakukan pelanggaran.
Konsekuensi dari melanggar Hukum dapat diberikan berupa pencabutan hak politik dalam ranah kampus, membayar denda, pemberhentian jabatan yang sedang diemban, dan banyak yang lainnya.
Konsekuensi yang diberikan Mahkamah Mahasiswa kepada mahasiswa yang melanggar hukum juga harus dibahas secara detail dengan memperhatikan batas-batas antara wewenang rektorat dan wewenang Mahkamah Mahasiswa dalam memberikan hukuman.
Undang-undang yang dibentuk oleh DPM haruslah komprehensif, tidak boleh tumpang tindih dan DPM harus selalu memantau dinamika yang terjadi dalam kampus agar hukum yang dibentuk tidak tinggal dari peristiwa di lapangan.
Untuk kelanjutan proses kodifikasi agar terbentuk Mahkamah Mahasiswa beserta undang-undangnya, maka DPM dan mahasiswa Fakultas Hukum beserta elemen lainnya harus bekerja sangat intensif agar lengkapnya Trias Politica di universitas.
Di sini DPM menjalankan fungsi legislasinya yaitu fungsi untuk membentuk Undang-undang yang mengatur regulasi di ranah mahasiswa dan mengatur ruang gerak kebebasan Mahasiswa serta mengontrol perpolitikam kampus agar tidak bergerak liar dan bebas.
Politik kampus yang berjalan bebas tanpa adanya kontrol dan pengawasan hukum akan melahirkan kriminal seperti maraknya kecurangan dalam Pemira dan masifnya korupsi dalam tubuh organisasi tanpa adanya hukuman dan konsekuensi apapun.
Tentunya diharapkan semua pihak akan mendukung eksistensi dari Mahkamah Mahasiswa ini. Selain KPR, lembaga ini juga hadir sebagai katalisator dalam dunia politik kampus yang berfungsi sebagai tempat mahasiswa mencari keadilan beserta penegakan Hukum di ranahnya agar tidak terjadi carut marut dalam penyelesaian perkara.
Mahkamah Mahasiswa juga harus didukung oleh rektorat, maka persoalan finansial jangan dijadikan alasan untuk menolak lembaga yang satu ini karena itu adalah alasan yang sangat tradisional.
Jika semua orang berkomitmen dan mengedepankan nilai moral serta kejujuran demi kemaslahatan para mahasiswa, maka keuangan bukanlah hambatan untuk mendirikan Mahkamah Mahasiswa.
Akan lain cerita jika mahasiswa ingin mendirikan lembaga ini hanya berorientasikan materi maka misi untuk mendirikan lembaga ini hanyalah fatamorgana.
Mahasiswa harus mempunyai inisiatif untuk menciptakan suasana politik kampus layaknya atmosfer dunia politik nyata dengan segala kelengkapan instrumennya agar politik kampus tidak cacat dengan melihat berbagai kekurangan baik dari segi peraturan yang kemudian dilegislasikan.
Jika keuangan menjadi hambatan setiap langkah mahasiswa dalam pengadaan lembaga baru yang mengurusi suatu perkara, maka lakukanlah proses simplifikasi terhadap organisasi yang mengurusi beberapa masalah yang kompatibel dengan lembaganya.
Misalnya, Mahkamah Mahasiswa tentunya harus mempunyai tim penyidik untuk memeriksa perkara, kemudian diperlukan pula badan administrasi yang mengeluarkan surat bagi mahasiswa yang pernah berperkara dan mendapat hukuman di pengadilan mahasiswa yang kelak surat itu akan menjadi syarat bagi semua UKM sebagai dokumen pelengkap untuk merekrut anggota organisasi.
Untuk pengeluaran surat ini tidak perlu mendirikan UKM lain, cukup untuk bergabung dalam struktur Mahkamah Mahasiswa untuk memangkas pengeluaran anggaran dan usaha untuk menciptakan debirokratisasi administrasi.
Penulis adalah Rahmat Fahlevi, mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Syiah Kuala
Editor: Teuku Muhammad Ridha