Beranda Opini Pemburu Mental

Pemburu Mental

Ilustrasi. (Febby Andriani/DETaK)
loading...

Opini | DETaK

Ada cerita tentang kuda yang gagah, berlari dengan cepat dan sangat dikagumi, sehingga namanya selalu tersemat di segala sesuatu yang cepat yang diciptakan manusia. Tetapi, ketika kuda diikat dikekang, ia tak lagi punya kendali atas dirinya. Kecepatan dan kegagahannya tak berarti lagi ketika penuh tekanan, tak bisa meronta-ronta karena tak kuasa melawan.

Begitu juga harimau yang terkenal dengar dengan julukan “Si Raja Hutan”. Aumannya mampu menggetarkan seisi hutan. Namun, ketika ia berada di kota bahkan dengan sombongnya, dia bukan lagi siapa-siapa. Gelar “Raja Hutan” memang melekat padanya, tapi aumannya tak lagi sama. Gertakannya tak ditakuti oleh orang-orang karena terpenjara dalam kerangkeng yang tak dapat ia lewati.

IKLAN
loading...


Anjing, hewan yang sangat garang, menggonggong dengan khasnya, mengusir orang tak dikenal yang datang. Namun, ketika si anjing diberi tulang bahkan oleh orang asing ia pun akan jinak sejinak-jinaknya. Ia rela meninggalkan tuannya dan amanahnya hanya untuk tulang yang asalnya tak tahu dari mana.

Mahasiswa kini tak pokal lagi, tak mampu melawan ketika dikekang, padahal dia bukan kuda. Juga tak mampu mengaum seperti harimau padahal tidak dikerangkeng, ataupun tak mampu pokal lagi seperti anjing yang disodori tulang oleh maling. Apa kita para stakeholder kampus sudah diberi makan oleh pencuri-pencuri tidak bertanggung jawab? Semoga singa dan anjing kampus tersinggung.

Begitu kondisi kita saat ini di kampus tercinta. Kini kita tak gagah lagi seperti kuda, tak garang seperti harimau atau pokal seperti anjing yang meneriaki maling. Kini kekuatan bukan lagi alat untuk mempergagah diri, garang kini tak garang lagi, pokal kini kita tak pokal lagi, dengan permasalahan yang ada di kampus. Di masa pandemi kita semua terkena dampaknya tak peduli PNS atau pengusaha, tak peduli kaya atau miskin, semua sedang susah dengan kadar masing-masing. Saat ini semua kebutuhan serba di rumah saja, mulai dari kebutuhan pokok sampai paket internet untuk kegiatan pendidikan. Pada saat ini dengan gamblangnya kampus menebang orang-orang yang dirasanya tidak mampu, padahal semua orang merasakannya tanpa memikirkan kebutuhan kampus tak sebesar kegiatan normal. Semua kegiatan beristirahat dan dikembalikan ke rumah masing-masing mahasiswa. Birokrasi selalu memikirkan isi hatinya tanpa memikirkan isi hati orang banyak.[]

Penulis merupakan pedang pena kampus, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Teuku Muhammad Ridha