Oleh Heri Apriadi
“Kejar! Kejar! Jangan biarkan lolos!”
“Tangkap!”
Jantungnya memacu dengan nafas tersengal, paru-parunya terasa hampir meledak. Kakinya yang lelah terus berlari menghindari setiap tangan yang ingin meraihnya. Berhenti berarti mati, dan itu sesuatu yang pasti di republik ini. Minimal tengkorak remuk atau hangus di mangsa api seperti yang diterapkan di surat kabar atau berita kriminal di televisi.
Kemarahan dan kebencian pada kehidupan yang tak pernah terasa adil membuat orang mudah menyarangkan mati pada sesiapa, tak terkecuali untuk copet gagal seperti laki-laki itu. Dia takut, dia marah, dia menangis, mungkin mati hanya tinggal menghitung waktu.
Siang itu Ibunya sakit, tergeletak di atas dipan beralas tikar pandan berlubang. Antara sadar dan tidak terus bergumam pelan La ilaha illallah – La ilaha illallah – La ilaha illallah. Antara gigil dan bibir yang membiru kering lafaz itu tak pernah henti.
Andai saja mereka punya uang, ya andai saja. Sebuah kesah yang selalu terhujam di dada laki-laki itu. Kata andai saja yang menjadi mimpi dan harapan yang tak kunjung nyata, seperti kehidupan yang lebih baik yang selalu dipintanya setiap habis shalat atau di malam-malam sendu yang ditemani tadarus air mata.
Sudah seminggu lebih ibunya terbaring lunglai layu tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Dia harus membawa ibunya ke rumah sakit. Tapi apa daya, hidup itu kejam. Terlalu kejam untuk orang jujur seperti dia. Mungkin dia harus menyaksikan ibunya mati di ruangan ini. Tidak, itu adalah mimpi terburuk yang tak kan pernah bisa dia terima. Ibu adalah keluarga satu-satunya yang dia miliki, yang menemaninya sejak ayahnya meninggal saat dia sedang membentuk di dalam rahim ibunya.
Bersama, mereka telah menjalani kehidupan yang berat dengan air mata dan tawa yang kadang dipaksakan. Selalu ada harapan selama mereka tak berhenti berusaha, itu yang dikatakan ibunya sambil terkekeh setiap kali cobaan menerpa. Tapi kali ini harapan itu seolah semakin redup saja nyalanya.
Siang itu pula keputusan itu dibuat, sebuah keputusan yang mungkin akan di sesalinya nanti jika dia mau berfikir. Tapi tak ada waktu untuk itu sekarang. Yang ada dalam fikirannya adalah dia butuh uang dan harus di dapat hari ini juga, dan tempatnya adalah di salah satu bis itu.
Dia bediri berdesakan di antara penumpang lain. Aroma asam bercampur dengan pahitnya gempuran asap rokok. Matanya liar menancap di saku-saku celana, dompet yang dia cari. Ada banyak, tapi tak mudah mengambilnya tanpa ketahuan. Dia pernah mendengar saat Bang Togar yang mengaku mantan copet membual di terminal.
“Mencopet itu ada ilmunya. Ada tiga hal yang harus dimiliki seorang copet profesional yaitu kejernihan pikiran, ketetapan hati, dan kecepatan tangan.”
Sayangnya dia tak punya ketiganya. Seandainya pikirannya jernih, tak mungkin dia memutuskan menjadi copet. Ketetapan hati jelas dia tak punya, sudah empat kali dia tidak jadi-jadi mengambil dompet mangsanya karena terus saja ragu-ragu. Sedangkan untuk kecepatan tangan, dia juga tak terlalu percaya diri soal itu. Satu-satunya hal yang membuat dia masih bertahan di bis itu adalah ibunya yang sakit keras dan butuh biaya berobat sekarang. Dia tak bisa mundur karenanya.
Akhirnya tanpa banyak berfikir lagi dia mengambil dompet milik penumpang yang berdiri di depannya, namun naas dia ketahuan.
“Copeeeeeet!” teriak sang korban.
Buru-buru dia berlari keluar dari bis yang kebetulan sedang berhenti di halte. Penumpang itu meneriakinya.
Sesaat dia sempat senang, namun langsung pucat saat tahu ada belasan orang yang mengikutinya. Beberapa diantaranya ada yang mengacung-acungkan balok. Dia berlari sekencang-kencangnya melewati gang yang berliku-liku sambil menghindari lemparan batu. Dia harus selamat, jika tidak bagaimana dengan ibunya.
Dia terus berlari, para pengejarnya masih setia membuntut di belakangnya. Nafasnya mulai putus-putus, peluh mengucur, mukanya putih pucat. Wajah ibunya membayang di matanya yang mulai pitam.
Laki-laki itu mencapai batas, kakinya tak kuat lagi, lututnya bergetar, jalan buntu di depan. Dia terperangkap, masa mengepung. Dia tak tahu harus berbuat apa, juga tak tahu bahwa di rumah ibunya tak lagi bergumam, tak juga bernafas. Lalu tiba-tiba entah dari mana cairan beraroma sangit mengguyur kepalanya, dalam sekejap api menyala, pekik mengapung, asap membumbung, lalu sepi.[]
Penulis adalah Heri Apriadi, Mahasiswa lulusan 2013 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris Unsyiah.
Comments
comments