Suara Mahasiswa| DETaK
Oleh: Cut Faradillasari
Ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki ke kampung ini, tapi ini akan menjadi hari pertama dari total 30 hari pengabdian yang akan kami habiskan. Seseorang pernah berkata kepada saya, “Sejatinya hidup adalah sebuah pengabdian. Mengabdi kepada Allah, orangtua, suami, dan hal lain yang kita cintai, salah satunya negeri.” Itulah semangat yang kami bawa, mari mengabdi, memperbaiki negeri. Bermodalkan niat mengabdi dan dua motor untuk tujuh orang, kami menempuh jarak kurang lebih dua km dari tempat tinggal untuk sampai ke kampong, yang kami sebut ‘Kampung sehangat mentari.’
“Sepi ya.” ucap Winda. “Iya, sejauh mata memandang tidak ada orang sama sekali.” sahutku. Kami naik lebih atas. Posisi kampung ini menanjak dengan jalan semennya yang penuh pasir. Di sekitar jalan tampak pohon-pohon kopi yang mengiringi langkah kami. Sesekali tampak pohon markisa dan pohon alpukat menyapa. Kampung ini terkenal dengan kekayaan hasil kebun berupa kopi, markisa, dan alpukat. Tidak ayal ketika pulang nanti masing-masing dari kami akan menyandang gelar ‘Juragan Alpukat’. Tapi faktanya anugrah itu tidak hanya ada di kampong kami. Hampir seluruh kampung di Kabupaten Bener Meriah memiliki hal yang sama, tanah subur yang ditumbuhi aneka buah-buahan. Kopi, salah satu yang paling terkenal di daerah itu.
“Orang-orang di sini mayoritas bekerja sebagai pekebun, dek. Jadi ya begini, sehari-hari kampung sangat sepi.” ujar banta, atau istilah resminya sekretaris kampung. Kami hanya saling pandang dan mengangguk sambil menyambut prasangka, ini akan menjadi 30 hari pengabdian yang sulit. Menjalankan program di kampung tanpa warga? Yang benar saja, pikir saya.
Ternyata prasangka kami salah. Jum’at minggu kedua kami ikut menghadiri pengajian rutin ibu-ibu di Balai Pengajian yang terletak di halaman mesjid. Kebetulan pula hari itu diadakan gotong royong mingguan. Jadilah para wanita mengikuti pengajian sedang lelaki gotong royong bersama bapak-bapak. Tema kajian hari itu adalah tentang tauhid. Semua warga yang hadir serius mendengarkan materi yang disampaikan oleh ustadz yang ternyata langsung datang dari kecamatan. Usai kajian barulah kami yang sedari tadi duduk, dipersilahkan untuk memperkenalkan diri. Hari itu kampung yang biasa sepi sangat ramai. Dan hari itu pula istilah ‘Kampung Sehangat Mentari’ muncul. Ya, warga kampung yang sibuk itu sangat ramah. Sambutan mereka kepada kami menepis hawa dingin 19 derajat celsius. Ragam pertanyaan terkait program menunjukkan antusiasme masyarakat atasnya.
Ketika satu persatu kami memperkenalkan diri dan program yang akan kami jalankan, mereka begitu antusias. Saya teringat salah satu ucapan Ibu Reje yang membuat kami sangat bahagia dan bangga, “Selagi adik-adik mahasiswa berada di sini, kita harus banyak-banyak belajar dari mereka. Mereka mendapat ilmu itu di bangku kuliah selama hampir 4 tahun. Kita seharusnya bangga mereka membagikan ilmu tersebut kepada kita. Jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan ini.” kami merasa terharu dan berharap bisa memenuhi harapan mereka. Ketika dipersilahkan mengucapkan beberapa kata, saya hanya bisa berkata, “Terima kasih sebesar-besarnya atas sambutan hangat yang membuat terharu, kami sangat bahagia. Harapan kami sederhana, setidaknya ketika nanti kami pulang ada sesuatu yang kami tinggalkan dan bermanfaat bagi kampung.” ucap saya.
Hari demi hari terlewati hingga hari ke-30 tinggal beberapa jam lagi. Kami sedang mempersiapkan perpisahaan yang cukup dadakan namun terasa berkesan, karena di hari itu, hari yang senyatanya bukan hari libur, kampung terutama Posko KKN kami ramai dihadiri warga. Kami tidak menyangka ditengah kesibukan menjalankan kewajiban sebagai pekebun, warga tetap datang ke acara perpisahan, membawa senyum haru yang akan menjadi kenangan tak terlupakan. “Terima kasih untuk adik-adik semua yang sudah membawakan banyak perubahan bagi kampung kami. Seperti PAUD yang semakin cantik, anak-anak yang semakin aktif. Mereka sangat semangat untuk datang ke sini belajar dengan kalian.” ujar banta. Di lain sisi Ibu Imam pun ikut memberi kata-kata perpisahan dengan deru air mata yang membuat terharu seisi ruangan. Saya juga ikut menangis karenanya. Saya teringat pernah membaca sebuah kutipan indah, “Tuhan menciptakan perpisahan agar kita bisa memaknai sebuah pertemuan.” Dan di sini pertemuan kami menjadi sangat berarti.
Di Kampung Blang Ara, kampung sehangat mentari. Tempatnya dingin, kadang bisa mencapai suhu 17 derajat celsius dan untuk suhu terpanas 21 derajat celsius. Jika sedang hujan, seluruh tempat tertutupi kabut. Sehari-harinya sepi, seperti biasa. Namun warganya begitu hangat, ramah, dan menghargai sesama. []
Penulis adalah Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, juga merupakan peserta KKN Periode ke-12, Bener Meriah, di bawah bimbingan Dr. Teuku Muttaqin Mansur, MH