Museum Tsunami, Simbol Kenangan Masyarakat Aceh
Bangunan megah itu begitu perkasa. Dengan desain yang berbeda dari gedung biasa, dibangun di atas lahan seluas lebih kurang 10.000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Aceh, Kotamadya Banda Aceh. Jika dilihat dari udara, bangunan ini tampak seperti stadion sepakbola dengan diameter yang tak terlalu besar. Bangunan itu adalah museum tsunami Aceh, simbol kenangan masyarakat Aceh atas peristiwa tsunami yang meninggalkan luka lama di Aceh 6 tahun silam itu.
Museum ini dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap sebagai panitia proyek pembangunan, yaitu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum serta pedoman pengelolaan museum, Pemerintah Aceh sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum serta Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang Aceh yang membantu penyelenggaraan sayembara pra-rencana museum.
Perencanaan detail museum, situs dan monumen tsunami sudah dimulai sejak bulan Agustus 2006 dan pembangunannya sendiri menghabiskan anggaran dana sekitar Rp 140 Milyar, dengan rincian Rp 70 Milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jika dilihat ke dalam, museum ini berisi berbagai benda peninggalan, lukisan-lukisan tentang tsunami serta hal-hal lain yang berkenaan dengan peristiwa itu.
Sebelum pembangunan dimulai, panitia menyelenggarakan lomba desain museum dengan tema “Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)”. Lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus 2007 lalu itu berhadiah total Rp 275 juta. Juara I mendapatkan uang tunai Rp 100 juta, juara II Rp 75 juta, juara III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta dibagikan kepada peserta dengan desain inovatif sebagai apresiasi bagi mereka karena telah ikut berpartisipasi dalam sayembara tersebut. Sebanyak lima orang pemenang dengan desain inovatif masing-masing mendapatkan uang tunai sebesar Rp 10 juta. M. Ridwan Kamil, Dosen arsitektur dari Institut Tehnologi Bandung (ITB) akhirnya terpilih sebagai juara pertama dalam sayembara desain museum tsunami ini.
Desain gambar yang tertuang dalam karya M. Ridwan Kamil itu digambarkan dengan detail lantai pertama bangunan museum yang berbentuk ruang terbuka seperti rumah tradisional Aceh. Desain ini bermakna bahwa ruangan terbuka itu dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik dan jika terjadi banjir atau tsunami, maka laju air yang datang tidak akan terhalangi. Selain itu, dalam desain karya dosen ITB itu terdapat unsur tradisional, antara lain berupa tari Saman yang dimanifestasikan pada dinding luar bangunan eksterior. Sementara, denah bangunan merupakan analogi dari episenter gelombang laut (tsunami).
Desain museum tsunami ala Ridwan tampak dirancang untuk mengilustrasikan bencana alam dalam sebuah bangunan sekaligus mengekspresikan peristiwa air laut naik itu. Selain itu, tampilan eksterior karya tersebut juga menunjukkan keberagaman budaya heterogen masyarakat Aceh melalui pemakaian ornamen dekoratif unsur transparansi elemen dinding luar bangunan tersebut.
Sementara tampilan interiornya menampilkan rancangan tunnel of sorrow yang menggiring pengunjung ke suatu perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu. Desain museum ini juga memiliki Escape Hill, sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu antisipasi lokasi penyelamatan terhadap datangnya banjir atau tsunami. Kemudian juga ada The Hill of Light, suatu tempat di mana para pengunjung dapat meletakkan karangan bunga, semacam Personal Space dan juga ada Memorial Hill di ruang bawah tanah serta dilengkapi ruang pameran.
Lokasi Museum Tsunami Aceh ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda (dekat Simpang Jam), di seberang lapangan Blangpadang, persisnya di bekas kantor Dinas Peternakan Aceh sebelah Pemakaman Kuburan Belanda (Kerkhoff) dan berjarak kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh ini memiliki banyak fungsi, di antaranya sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami, sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami, sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami serta untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum Tsunami yang telah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono pada tanggal 23 Februari 2008 kabarnya juga terhubung dengan pusat penelitian tsunami di AS dan Jepang. Selain itu, museum ini ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa membayangkan seolah berjalan di antara celah air, di samping juga bisa melihat foto-foto korban, kisah-kisah mereka yang selamat, serta simulasi elektronik gempa di bawah laut yang menyebabkan munculnya gelombang setinggi 30 meter.
Sejak diresmikan, museum ini ramai dikunjungi masyarakat Aceh dan sekitarnya. Museum tsunami ini berdiri kokoh seperti mercusuar di Banda Aceh dengan bentuk kapal yang terdiri dari 4 tingkat dan dihiasi dekorasi bermotif Islam. Atapnya menggambarkan ombak, sedangkan di lantai pertama dipamerkan rumah tradisional Aceh yang dilengkapi dengan peralatan untuk bisa bertahan menghadapi tsunami.
DETaK | Rahmayani
Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=2053