Opini | DETaK
Pada kodratnya setiap manusia pasti membutuhkan interaksi dengan sesamanya, sama halnya dengan mahasiswa. Akhir-akhir ini kita sering kali mendengar istilah-istilah seperti genk atau zaman sekarang disebut “circle”. Kalau secara sederhananya circle itu artinya lingkaran pertemanan yang terdiri dari 3-9 orang, di mana mereka membentuk sebuah kelompok atas dasar adanya kesamaan pikiran, hobi, makanan, kesamaan dalam beropini, atau bahkan adanya kesamaan dalam membenci sesuatu, kalau istilah gaulnya ya pokoknya satu frekuensi deh.
Jika ditanya adakah pengaruh circle pertemanan bagi mahasiswa? Tentu saja ada. Circle pertemanan ini akan memberikan pengaruh yang bisa dikatakan cukup kuat terhadap bagaimana sikap kita, tingkah laku, emosi, dan bagaimana pola pikir kita terhadap lingkungan sekitar terutama kampus. Jika seseorang berada pada circle yang positif, maka ia akan berpikiran positif. Begitupun sebaliknya, mau tidak mau pola pikir negatif dari suatu circle juga akan mempengaruhi individu yang ada di dalamnya.
IKLAN
loading...
|
Tidak usah terlalu jauh, misalnya ketika kita mendapat tugas dari dosen. Jika suatu individu dalam kelompok tersebut memiliki sifat menunda-nunda maka individu lainnya cenderung akan memiliki pola pikir yang sama. Hal tersebut berdasar pada istilah yang disebut “satu rasa”. Belum lagi adanya istilah “healing” ke sana ke mari yang tentunya membutuhkan biaya dan waktu. Dalam circle pertemanan biasanya akan menuntut kita untuk turut ikut dalam acara yang dibuat oleh beberapa individu di dalamnya, yaaa padahal kita sedang tidak butuh itu. Namun lagi-lagi dengan adanya istilah “satu rasa” mengharuskan kita untuk ikut. “Ya elaah, sekali-sekali gak apa-apa lah…”
Saya tidak mengatakan bahwa healing itu tidak penting. Kadangkala itu perlu, mungkin saja dalam seminggu atau beberapa minggu terakhir Anda sedang dibebani tugas menumpuk, sehingga membutuhkan refreshing ke beberapa tempat yang nyaman. Yang salah itu adalah adanya suatu tuntutan untuk melakukan itu, padahal dirimu sedang tidak butuh itu. Mungkin saja Anda hanya butuh istirahat di kamar, menonton film yang diperankan oleh idolamu, atau membaca buku cerita kesukaanmu. Beberapa orang tidak sadar bahwa istilah “sesekali” yang dilakukan berkali kali akan menimbulkan budaya konsumtif dan boros serta meninggalkan rasa lelah yang tak berarti. Pertemanan seperti inilah yang akan berujung toxic friendship.
Menurut Victoria Andrea Muñoz Serra, toxic friendship adalah mereka yang mengatakan kata menjadi teman Anda, tetapi tindakannya akan menimbulkan rasa sakit, karena perilaku mereka bukanlah yang Anda harapkan dalam sebuah persahabatan. Singkatnya toxic friendship adalah “persahabatan yang beracun.”
Suatu hal yang menurut saya sangat disayangkan dari circle pertemanan yang toxic friendship adalah hilangnya jati diri sendiri karena selalu dituntut menjadi orang lain. Hal ini terjadi karena individu-individu yang berada di dalamnya tidak dapat menerima kita apa adanya. Sehingga bagi beberapa orang ia akan bertindak dan berpenampilan sesuai dengan opini orang-orang di sekitarnya dengan alasan takut nanti dijauhi teman.
Lalu bagaimanakah circle pertemanan yang positif? Apakah berteman dengan mahasiswa “ambis”? Atau berteman dengan mahasiswa yang dekat dengan dosen? Itu kembali kepada opini diri Anda sendiri, jika menurut Anda itu yang dinamakan circle positif. Namun di sini saya tidak akan membahas tentang itu. Circle yang positif bukan hanya tentang isi otak, tetapi bagaimana lingkungan pertemanan itu membuat anda memiliki karakter yang baik, membuat kita merasa bahagia, bagaimana lingkungan pertemanan itu dapat membuat bakatmu lebih baik, bagaimana circle pertemanan itu bisa menghormati privasimu, bagaimana circle itu akan menjadi support system ketika Anda memiliki ide-ide baru, dan bagaimana circle itu menghormati keputusan Anda ketika Anda mengatakan “tidak” atas sesuatu yang mungkin dapat membuatmu merasa tidak nyaman. Menurut saya itulah circle yang baik.
Oleh karena itu sangat penting bersikap selektif dalam circle pertemanan. Selektif dalam hal ini bukan berarti Anda akan membeda-bedakan teman, silakan berteman dengan siapa saja. Selektif dalam hal ini memiliki artian memilih dalam berbagai alasan pertimbangan, supaya dapat meminimalisir dampak ke depannya. Jadi, mulai saat ini stop bertanya apakah kamu punya circle atau tidak? Tetapi coba tanya pada diri kita sendiri apakah circle ini membuat saya lebih baik atau sebaliknya?[]
Referensi:
Reza, Iredho Fani. 2020. “Toxic Friendship In Islamic Psychology Perspective” diakses dari psikologi.radenfatah.ac.id/berita/detail/toxic-friendship-in-islamic-psychology-perspective, pada 17 Desember 2021.
Penulis adalah Siti Maryam Purba, mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Angkatan 2020. Ia juga merupakan salah satu anggota magang di UKM Pers DETaK Unsyiah.
Editor: Sahida Purnama