Rossdita Amallya [AM] | DETaK
“Kami kira itu kapal bantuan ternyata kapal bawaan. Kampung kami jadi laut semua, kami awalnya 6000 orang jadi tinggal 1000.“
Bencana tsunami yang terjadi pada 2004 silam menjadi sejarah besar bagi Aceh dan seluruh dunia. Kedahsyatan hantaman gelombang air laut yang diperkirakan setinggi 30 meter itu meluluhlantakkan Aceh dan juga meninggalkan berbagai jejak yang akhirnya dimonumenkan untuk mengenang kejadian tersebut. Salah satunya adalah Kapal Apung Lampulo.
IKLAN
loading...
|
Kapal nelayan seberat 20 Ton itu dibawa oleh gelombang tsunami yang kemudian berhenti di atas rumah salah seorang warga Kampung Lampulo. Kini, kapal tersebut dibiarkan di sana dan dijadikan sebagai destinasi wisata sekaligus rekam jejak dahsyatnya tsunami Aceh. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota, hanya memakan waktu sekitar 15-20 menit saja.
Saya datang ke lokasi bersama teman baik saya menggunakan sepeda motor. Selama perjalanan menuju lokasi, mata kami sudah dimanjakan oleh pemandangan kapal-kapal nelayan yang terparkir rapi di pinggir Sungai Krueng Aceh yang berada sisi kanan jalan. Kapal dengan berbagai ukuran dan warna itu terlihat sangat cantik saat terkena bias cahaya matahari ketika sore.
Sesampainya di lokasi, tampak area parkir masih sepi. Mengingat destinasi wisata satu ini memang baru dibuka Kembali semenjak pandemi merebak, jadi pengunjung tidak seramai biasanya. Tidak ada biaya masuk, jadi kami bisa langsung masuk ke lokasi dan melihat bukti dari dahsyatnya tsunami itu.
Saya langsung dibuat kagum oleh kapal tersebut, saya benar-benar melihat kapal itu ada di sana, berdiri tegap di atas rumah yang sudah setengah hancur itu. Saya beserta teman saya langsung masuk ke dalam rumah. Di salah satu ruangan rumah, terdapat papan dengan ribuan nama-nama korban dari tsunami yang dulu merupakan warga dari Kampung Lampulo. Papan tersebut berada di dua sisi kanan dan kiri ruangan, saling berhadapan satu sama lain, berwarna hitam dengan nama-nama korban yang berwarna kuning keemasan terukir rapi di sana.
Setelahnya, kami naik ke lantai dua rumah yang kini dijadikan galeri foto. Di sana, ada 4 papan mading dengan beberapa foto tertempel di kedua sisinya. Foto yang tertempel di sana adalah potret kondisi Aceh saat tsunami dahulu, ada juga potret Kapal Apung Lampulo yang diambil setelah tsunami, puing-puing rumah tampak masih berserakan di bawahnya. Selain itu, ada banyak juga potret dari Kapal Apung Lampulo ini tertempel di dinding. Keluar dari galeri foto, kami sampai di area balkon rumah tersebut yang masih cukup kokoh.
Kami memutuskan untuk turun dan pergi ke area di mana kami bisa melihat kapal dari dekat. Ada sebuah tangga melingkar di atas rumah, di ujung tangga tersebut ada tempat untuk melihat kapal dari jarak yang lebih dekat. Dari atas sana, tidak hanya dapat melihat kapal, kami juga dapat melihat pemandangan Kampung Lampulo. Angin berhembus lembut menerpa wajah kami, langit biru terang, serta penampakan matahari yang sudah berada di ufuk barat, semuanya dapat kami lihat dari sini.
Kapal tersebut terlihat lebih bagus dari pada foto yang saya lihat di internet. Warna merah, putih, serta hitam yang mendominasi kapal tampak lebih terang, terkesan seperti baru dicat ulang. Bagian atas kapal tidak hancur lagi, terlihat seperti baru diperbaiki. Kapal tersebut tampak baru dan sangat bagus.
Setelah puas berada di sana, kami kembali turun ke halaman rumah. Sungguh beruntungnya kami saat memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Wak Kolak. Wanita berusia 72 tahun itu merupakan salah satu korban selamat dari tsunami yang menyelamatkan diri dengan naik ke atas kapal yang berada di atas rumah tetangganya yang ia kenal baik itu.
“Jadi kapal ini, alhamdulillah menyelamatkan 59 orang dalam kapal ini, termasuk ibu dan juga pemilik rumah. Sekarang yang punya rumah udah pindah. Saya kan dulu jualan sarapan pagi di pelabuhan ikan, di sinilah gempa, sudah gempa saya pulang ke rumah. Sampai di rumah ada suara ledakan, dulu kan ada konflik GAM, di sini balik lagi lah saya ke pelabuhan sampai di sana air naik. Maka saya sudah pasrah, rupanya ada yang panggil saya pulang disuruh saya naik ke lantai dua rumah Ibu Abasiah (pemilik rumah). Kami naik semua ke lantai dua datanglah kapal, kami kira itu kapal bantuan ternyata kapal bawaan. Kampung kami jadi laut semua, kami awalnya 6000 orang jadi tinggal 1000,” cerita Wak Kolak pada kami.
Bersama 59 orang lainnya, Wak Kolak beserta sang pemilik rumah bertahan dari terjangan tsunami di atas kapal. Selain menjadi saksi bisu dari tsunami, kapal ini juga merupakan penyelamat bagi Wak Kolak beserta 59 orang lainnya yang selamat dari terjangan tsunami. Kapal Apung Lampulo akan selalu menjadi kenangan serta situs bersejarah bagi masyarakat Aceh dan Kampung Lampulo.[]
Editor: Sahida Purnama