Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 17: Pesta Emas

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 17: Pesta Emas

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan. (Wendi Amiria/DETaK)

Cerbung | DETaK

Pesta Emas adalah pesta adat yang sudah diselenggarakan rutin oleh Adipati Kota Gazastan sejak zaman dulu untuk memperingati keberhasilan prajurit Gazastan melakukan ekspedisi pengantaran emas hasil tambang ke ibu kota Patheon. Perayaan ini dilakukan dengan membuat pesta makan malam besar di aula Kastil Putih, dihadiri oleh seluruh keluarga Alaska, pembantu adipati, serta kebanyakan prajurit Gazastan.

Siapa yang paling sibuk di hari mendekati pesta? Tentunya bukan para prajurit. Kesibukan mereka telah selesai setelah mengirim barang. Keluarga Alaska? Mungkin saja… Mereka sibuk belajar etika dan memilih pakaian paling cocok buat pesta.

IKLAN
loading...


Tentu yang paling sibuk adalah para pelayan. Mereka harus bekerja dari bangun tidur. Tidak ada istirahat pagi atau sore, semuanya diisi dengan memasak, memasak, dan memasak. Jumlah masakannya juga cukup luar biasa, Luna bahkan tak percaya jika ini dipersiapkan hanya untuk sekali makan malam.

Untuk acara sebesar ini, kelompok pelayan bangunan utama saja tidak cukup membawa makanan, maka Xionglue meminta sebagian pelayan di dapur untuk ikut membantu ke aula, termasuk si gigi kelinci dan Luna.

Pukul 20:00, Luna masuk dalam barisan pelayan yang pergi ke aula utama. Mereka melangkah sambil membawa makanan, dilindungi barisan prajurit pembawa tongkat lampu hias berbentuk bunga tulip. Pintu aula terbuka, suara bising percakapan manusia langsung menyerang, meja-meja panjang dipenuhi para ksatria dan keluarga besar Alaska. Di panggung, adipati duduk bersama keluarganya. Di sudut, ada sekelompok pelayan sedang memainkan alat musik terompet, gitar, biola, dan piano. Luna dan rombongan mulai menyeberangi meja, meletakkan seluruh makanan dan tak membiarkan satu gelas pun kosong dari bir. 

Pesta pun dimulai! Luna dan rombongan, dengan perut yang masih kosong, berbaris tegap di pinggir ruangan sambil memandang orang-orang melahap rakus makan malam.

Sarah mendekati para grup pemusik, menikmati lagu mereka, tak menyadari keberadaan Luna di barisan para pelayan yang banyak tadi.

Malam semakin larut, hadirin semakin liar. Bir membuat mereka mabuk. Sebagian pelayan mulai diundang para prajurit untuk duduk di meja mereka untuk ikut makan dan ‘dimakan.’ Tentu ini sebuah hal yang membanggakan bagi para pelayan, menunjukan bahwa mereka cantik dan diinginkan oleh para lelaki. Si gigi kelinci menjadi yang paling senang dan binal.

Jantung Luna berdegup kencang, beberapa orang mulai melambai-lambai dan meliriknya.  Tak terkecuali si prajurit bermata sipit, Jun Quon, yang sudah menggandeng satu wanita di bahunya. Satu wanita saja tak cukup, dia penasaran pada gadis yang terlihat paling muda dan masih perawan itu.

Akhirnya Jun berdiri untuk mendekatinya, tak tahan lagi jika hanya menunggu. Melihat hal itu membuat tubuh Luna mulai kedinginan. Dia melihat sekitar, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Luna merasa sendirian di ruangan yang ramai ini. Jun mulai memeluknya dan membawanya paksa ke meja, Luna menjerit dan mendorong ksatria itu hingga terjatuh mengenai meja makan, beberapa piring terjatuh dan pecah. 

Semua orang terdiam, musik berhenti, seluruh mata menatap ke arah sumber kekacauan, termasuk Sarah yang masih berada di dekat pemusik. Tubuh Luna mulai kaku dan pucat.

“Bom!” adipati memukul meja dengan cukup keras. Dia berdiri dengan sorotan murka beserta dahi yang telah dipenuhi urat-urat hijau.

 “DASAR LAFITTERS! Apa yang telah kamu perbuat pada prajuritku! Perkosa saja si bajing—”

“SEDLER!” Sebuah teriakan lain menghentikan adipati. Seluruh hadirin tercengang, yang paling parah tentu saja sang pemilik nama. Selama Sedler Alaska menjabat sebagai adipati, tak pernah ada seorangpun yang berani membentaknya seperti tadi, apalagi di depan publik begini. Untuk beberapa saat dia terdiam, tak tahu bereaksi seperti apa.

“Dia masih berumur 14 tahun,” ucap suara itu, ternyata milik seorang wanita yang sedang berdiri di sebelahnya. “Belum saatnya dia melayani seorang prajurit. Tunggu sampai dia sudah cukup dewasa.”

Lalu wanita itu menatap Luna dengan berang, “PERGI KAMU DARI SINI!”

Luna segera meninggalkan ruangan itu, berlari dengan cepat tanpa membawa apa-apa. Semuanya terasa begitu cepat dan mencengangkan, tak pernah Luna alami sebelumnya. Jantungnya memompa semakin kencang, kakinya melangkah dengan gemetaran. Entah kenapa malam itu dia bisa berjalan begitu cepat melewati koridor yang gelap hingga sampai di depan pintu dapur, tanpa perlu dibantu oleh cahaya lilin sedikit pun.

Dia meraba pintu kayu dapur dan mendorongnya, ruangan itu sudah agak gelap dan sepi. Hanya tinggal beberapa lampu minyak di sudut. Luna mengambil roti tak beragi dan segelas air, lalu duduk di kursi, mengisi perutnya sebelum ke kamar. Dia makan dengan cepat namun tak satu pun gigitannya terasa. Wajahnya pucat pasi, tangannya masih kedinginan.

Sebuah suara kecil terdengar dari balik bayangan di ujung meja lain, “Hahaha.”

Ternyata di depan Luna, ada satu sosok bayangan wanita yang sedang menegak habis segelas bir di tangannya. Lalu wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah Luna, memperlihatkan wajah yang bersembunyi di balik bayangan itu. Xionglue, dengan matanya yang semakin sipit dan mulut menyeringai lebar, memperlihatkan gigi kuning yang patah sebagian.

Tiba-tiba Xionglue bangun, berjalan dengan oyong sambil memegang gelas birnya, berusaha meraih kursi yang berada di samping Luna, lalu duduk dan berbisik ke dekat wajahnya. “Bagaimana hidupmu di sini, Lafitters sialan?” Bau tajam alkohol dari mulutnya membuat Luna mual.

“Sengaja aku perintahkan kamu ikut untuk menghidangkan makanan di aula agar kamu mengerti tentang masa depan seorang pelayan… Sebanyak apapun buku yang telah kau baca, serajin apapun kamu bekerja, kau tetap hanya akan menjadi pelacur kastil, sialan! Masa depanmu adalah ranjang dan dapur.”

Tiba-tiba seringai Xionglue menghilang. Dia sedikit memutar kepala, dan menyelidiki wajah Luna seakan wajah itu baru pertama kali dilihatnya. “Ck..ck..ck, sayang sekali,” ucap Xionglue sambil menggeleng kepala. “Mungkin jika lebih cantik sedikit, kamu bisa diangkat jadi selir.”

“Dum!” Tangan Xionglue membanting gelas ke meja. “Tapi kamu tidak! HAHAHAHAHA.” Xionglue tertawa begitu keras sambil menadahkan kedua tangan ke atas, seakan ini malam kemenangan besar dalam hidupnya. 

Luna sama seperti manusia lain. Rasa lelah, panik, stres, dan kesal akhirnya meledakkan emosi yang tak lagi bisa ditahan. “KENAPA KALIAN SOMBONG SEKALI! Kalian pikir kalian lebih hebat dari para Lafitters? Tidak! Kalian lebih menyedihkan. Kami masih punya keluarga dan rumah. Kalian justru terpisah dari keluarga, tak punya rumah, tak boleh keluar dari Kota Gazastan, terjebak bekerja di sini seumur hidup. Kalian lebih menye—,” 

“Debak!”

Tangan Xionglue menggampar Luna, tak tahan lagi dengan mulut tajam itu. Mata sipit itu terbelalak, nafasnya terhengah-engah, keringat keluar dari dahinya, seakan baru saja teringat trauma masa lalu.

Luna memegang pipinya yang memerah, lalu berlari dan membanting pintu kamarnya. Langsung masuk ke dalam selimut, mencengkram bantal ke wajah sendiri. Malam ini dia menangis tersendat-sendat di kamar tanpa jendela itu.

“Keyakinan, impian, harapan, apakah itu semua hanya sekedar dongeng di dunia nyata ini? Apakah aku tidak boleh memiliki hal-hal itu? Lalu apa yang boleh kumiliki? Kenapa?! Mengapa dunia seperti ini?”

Dalam kegelapan kamar itu, terbitlah sebuah pancaran sinar dari ambang pintu. Sesosok gadis berdiri sambil memegang sebuah lampu minyak. Gadis itu menutup kembali pintu kamar, lalu melangkah pelan, ikut berbaring dan memeluk Luna.

Tangannya mendekap Luna yang masih bersembunyi di balik selimut, terdengar suara tangisan dari balik kain putih itu. Gadis itu mendekati sumber suara, merapatkan mulutnya pada selimut yang menutupi pipi Luna. Dia berbisik, “Mungkin kamu berpikir jika kamu sendirian di luar sana, tapi sebenarnya kamu tidak! Kamu tidak sendirian! Kita berdua terhubung, bukan karena darah, bukan suku, bukan tempat tinggal, tapi kita terikat dengan sesuatu yang tak bisa dibatasi oleh apapun.”

-Bersambung-

Note: Cerita ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email : [email protected].